Obral Hutan Hujan

By , Senin, 24 Juni 2013 | 11:59 WIB

Andrés Link menyandang ranselnya dan keluar menembus pagi dingin dan lembap. Fajar belum lama menyingsing, dan hutan itu sudah ramai dengan berbagai bunyi-bunyian berulang ki-ki-ki-ki burung pelatuk, pekikan monyet tupai yang berkejaran dari cabang ke cabang. Kerih panjang nan aneh berkumandang di kejauhan, menyayup, ke­mudian terdengar lagi.

“Dengar!” Link mengatakan, sambil memegang lengan saya dan memasang telinga. “Monyet titi. Kedengaran? Ada dua ekor, bersahut-sahutan.”

Hiruk pikuk ini merupakan musik latar sehari-hari Link saat ia melalui tempat yang mungkin memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di Bumi. Link, ahli primata dari Universidad de los Andes, sedang meneliti monyet Ateles belzebuth, dan dia sedang me­nuju tempat menggaram yang berjarak setengah jam berjalan kaki, tempat kelompok itu sering berkumpul.

Pohon ara dan kapuk raksasa dengan akar banir besar menjulang hingga ke tajuk. Dahannya yang bercabang-cabang ter­bungkus anggrek dan bromelia yang menghidupi semua komunitas serangga, amfibi, burung, dan mamalia. Ara-akar tumbuh melilit di batang-batang tersebut.

Kami menuruni lereng ke dalam hutan yang bertaburan pohon socratea yang tampak aneh, biasa disebut orang “pinang berjalan”, dengan akar tunjang setinggi satu meter yang memungkinkan pohon ini bergeser sedikit untuk mendapatkan cahaya dan zat hara.

Ini salah satu dari jutaan adaptasi evolusi yang berlangsung di sekeliling Tiputini Biodiversity Station (TBS), fasilitas yang dikelola Univer­sidad San Francisco de Quito di hutan perawan seluas 650 hektare di pinggir Taman Nasional Yasuní, yang meliputi hampir 9.800 kilometer persegi habitat hutan hujan nan lebat di Ekuador bagian timur.

“Sekalipun tinggal di sini seumur-umur, selalu ada kejutan setiap hari,” kata Link. Ada sepuluh spesies primata di dalam hutan sekitar TBS, sementara jenis burung, kelelawar, dan kataknya lebih banyak daripada hampir semua tempat lain di Amerika Selatan.

Lokasi Yasuní mendorong keanekaragaman ini. Taman nasional ini terletak di pertemuan Andes, khatulistiwa, dan wilayah Amazon, sebuah tempat sempurna untuk berkumpulnya komunitas tumbuhan, hewan amfibi, burung, dan mamalia di Amerika Selatan. Hujan deras turun hampir setiap hari sepanjang tahun, dan perubahan musimnya tidak terlalu kentara. Sinar matahari, suhu udara, dan kelembapan tidak berubah.!break!

Wilayah Amazon ini juga dihuni dua suku pribumi, Kichwa dan Waorani, yang tinggal di permukiman yang tersebar di sepanjang jalan dan sungai. Kontak damai pertama antara suku Waorani dan misionaris Protestan terjadi pada akhir 1950-an.

Saat ini, sebagian besar masyarakat Waorani melakukan aktivitas perdagangan dan bahkan pariwisata dengan dunia luar, demikian pula musuh bebuyutan mereka dahulu, suku Kichwa. Namun, ada dua kelompok Waorani yang menolak ber­hubungan dengan orang asing. Mereka lebih me­milih mengembara di hutan dataran tinggi yang disebut Zona Intangible—Zona Larangan—yang dibuat untuk melindungi mereka.

Sayangnya, zona ini, yang sebagian masuk wilayah selatan Yasuní, tidak meliputi seluruh tanah adat mereka. Para prajurit nomaden itu beberapa kali menyerang pemukim dan pembalak, baik di dalam maupun di luar zona itu.

Jauh di bawah tanah, Yasuní menyimpan kekayaan lain yang menimbulkan ancaman besar terhadap sistem ekologi di permukaan: ratusan juta barel minyak mentah Amazon yang siap ditambang. Selama bertahun-tahun, konsesi minyak diberikan untuk wilayah di dalam taman itu, karena keuntungan ekonomi yang diperoleh dari Yasuní lebih dipentingkan daripada upaya pelestariannya.

Setidaknya ada lima konsesi aktif yang meliputi bagian utara taman nasional itu. Bagi negara miskin seperti Ekuador, tekanan untuk mengebor minyak nyaris tidak terbendung. Setengah dari pendapatan ekspor negara itu kini berasal dari minyak, hampir semuanya ditambang di provinsi-provinsi bagian timur di Amazon.

Dalam proposal yang pertama kali diaju­kan tahun 2007, Presiden Rafael Correa menawarkan untuk membiarkan 850 juta barel minyak di wilayah timur laut Yasuní yang dikenal sebagai Blok ITT (singkatan tiga ladang minyak yang ada di sana: Ishpingo, Tambococha, dan Tiputini).

Sebagai imbalan atas pelestarian hutan belantara itu, dan men­cegah 410 juta metrik ton emisi karbon dari bahan bakar fosil memasuki atmosfer, Correa mengharapkan kompensasi sebesar 34 triliun rupiah. Menurutnya, uang itu akan digunakan untuk membiayai proyek energi alternatif dan pembangunan masyarakat.!break!

Prakarsa ITT-Yasuní menjadi sangat po­puler di Ekuador. Jajak pendapat nasional secara konsisten menunjukkan meningkatnya kesadaran terhadap Yasuní sebagai pusaka ekologi yang harus dilindungi.

Sayangnya, tanggapan internasional ter­hadap inisiatif tersebut hangat-hangat tahi ayam. Sampai pertengahan 2012, baru ada sekitar 1,9 triliun rupiah yang dijanjikan. Me­nanggapi hal itu, Correa mengeluarkan beberapa ultima­tum. Dengan mogoknya prakarsa tersebut dan Correa memperingatkan bahwa waktunya hampir habis, kegiatan pe­nambangan minyak terus meluas di bagian timur Ekuador, bahkan sudah masuk ke dalam wilayah Yasuní.

Setengah jam setelah berangkat dari labora­torium TBS, Andrés Link tiba di sebuah mu­lut gua yang rendah di dasar jurang nan curam. Inilah tempat menggaram yang dicari­nya, tetapi pagi ini tidak ada monyet di sini.

“Mereka takut dengan hewan pemangsa,” katanya, sambil mendongak menatap langit berawan di balik tajuk hutan. “Saat mendung seperti ini, monyet tidak mau turun.” Para monyet itu mungkin waspada terhadap jaguar atau elang harpy. Tetapi, ancaman yang ada di benak Link lebih besar dan berdampak panjang bagi margasatwa: pertambangan minyak.

Pada malam harinya di laboratorium TBS, saya duduk di teras bersama direktur pendiri, Kelly Swing, membicarakan perubahan yang diamatinya seiring semakin dekatnya kegiatan pertambangan minyak. “Kami jelas merasa terdesak,” kata Swing, sambil menatap keluar ke rimba yang semakin gelap.

Fasilitas produksi terdekat hanya berjarak 13 kilometer ke arah timur laut di konsesi yang dikelola perusahaan minyak negara, Petroamazonas. Para ilmuwan menyampaikan kepadanya bahwa mereka sering mendengar derum generator saat berada di hutan, dan helikopter yang terbang rendah semakin sering membuat hewan yang mereka teliti panik.

Swing khawatir kegagalan prakarsa ini jadi pukulan telak bagi upaya konservasi, dan menciptakan gelombang penambangan minyak yang bisa menyapu hingga ke bagian selatan Yasuní, bahkan sampai Zona Larangan.

“Seiring waktu, konsesi minyak ini akan men­jadi seperti batu loncatan,” katanya. “Se­telah semua blok berproduksi, meningkat pula tekanan untuk mengembangkan blok yang tersisa di timur dan selatan.”!break!

Pemerintah Ekuador bersikukuh bahwa pe­nambangan minyak dapat dilakukan secara bertanggung jawab, bahkan di habitat yang sensitif. Mereka mengatakan bahwa praktik saat ini sudah sangat maju dibandingkan dengan metode yang sangat mencemari yang dipakai pada 1970-an dan 80-an.

Pada masa itu, raksasa minyak AS Texaco dituduh meninggalkan lokasi tercemar yang menyeret Chevron, perusahaan induk Texaco, ke dalam gugatan bernilai triliunan rupiah yang di­ajukan masyarakat adat. Namun, kegiatan pe­nambangan minyak memiliki konsekuensi yang jauh lebih besar bagi lingkungan kaya-spesies seperti Yasuní, ujar Swing, mulai dari jutaan serangga—banyak yang pasti belum diketahui manusia—yang mati terbakar setiap malam oleh kobaran gas buang.

Di hutan yang mengalami dampak pe­nambangan minyak, mungkin 90 persen spesies di sekitar lokasi tambang akan mati, katanya. “Kita harus mempertanyakannya: Apakah hal ini bisa diterima?”

Beberapa hari kemudian saya bersama tim ahli biologi dari Wildlife Conservation Society (WCS) naik ke perahu di tengah gerimis kecil untuk melakukan perjalanan ke arah timur menyusuri Sungai Tiputini. Pohon Cecropias berbatang putih berjajar di pinggir sungai berliku yang menjadi sebagian batas utara taman nasional yang berbentuk C-terbalik itu.

Di atas kami, cabang pohon kapuk yang tinggi penuh dengan sarang burung oropendola yang mirip sarang tempua. Tidak terdengar tanda keberadaan manusia lain di sungai itu. Demikianlah kesannya, sampai kami membelok dan bertemu tong­kang panjang bermesin yang berlabuh di tepi sungai. Tempat itu penuh dengan pekerja yang mengenakan helm proyek dan sepatu bot tinggi.

Tanahnya yang merah terbuka penuh jejak truk pengangkut tanah. Saat saya mengangkat kamera untuk mengambil gambar, sepasang tentara di kapal tongkang berteriak: “Dilarang memotret!”Para petugas berhelm dan baju overal biru hanya diam membungkam saat kami me­lintasi lumpur dan naik ke kapal tongkang itu.

Untungnya, ada seorang pria tinggi besar yang mengulurkan tangan gempalnya dan menyambut dengan hangat. “Saya salah satu orang jahatnya,” katanya dalam bahasa Inggris sambil tertawa, bahkan sebelum dia memperkenalkan diri. Robin Draper, 56, sepertinya sama terkejutnya oleh kemunculan tiba-tiba kami sebagaimana kami dikejutkan oleh kegiatan ini.

“Kami sudah di sini selama berminggu-minggu, dan perahu kalianlah yang pertama menggolaki sungai ini,” ujarnya.!break!

Draper, berasal dari Sacramento, California, adalah pemilik sekaligus operator tongkang yang bernama Alicia itu, dia mendapat kontrak kerja dari Petroamazonas. Perusahaan minyak negara tersebut jelas mengerahkan ke­kuatan penuh untuk membuka Blok 31.

Beberapa tahun yang lalu, pemerhati ling­kung­an memuji-muji saat Petroamazonas meng­hentikan perusahaan minyak lain, Petrobras, membangun jalan tersebut. Namun, konsesi itu kemudian diserahkan kembali kepada Petroamazonas. Kini, 14,5 kilometer jalan ke selatan dari Napo ke Sungai Tiputini telah selesai, kata Draper. Bahkan, buldoser telah merangsek jauh ke dalam hutan di seberang Sungai Tiputini.

Ini langkah yang pasti mengundang kontro­versi, karena merupakan pelanggaran baru terhadap taman nasional. Para pengkritik juga menyatakan bahwa 45 juta barel kandungan minyak yang diketahui di Blok 31 tidak sebanding dengan investasi besar-besaran di konsesi tersebut. Alasan pembukaan Blok 31 yang sebenarnya, menurut mereka, adalah untuk menyiapkan prasarana bagi sasaran akhir di Blok ITT yang bersebelahan.

Hal ini membahayakan kredibilitas Prakarsa ITT-Yasuní maupun margasatwa dan kelompok pribumi terasing yang mengembara di hutan dataran tingginya. Laporan terbaru me­nunjukkan kemungkinan adanya aktivitas per­usahaan minyak di daerah yang wajib dilindungi pemerintah tersebut.

Meskipun Draper tidak punya pendapat soal itu, dia mengatakan bahwa Petroamazonas melakukan yang terbaik untuk meminimalkan gangguan di daerah tersebut. Namun, dia tidak yakin. “Niat mereka memang baik,” katanya. “Namun, dalam pandangan saya, seharusnya jalan ini tidak usah dibuat sama sekali.”

Kembali ke sungai, saya bertanya kepada Galo Zapata, salah satu ahli biologi WCS di perahu kami, bagaimana dampak jalan baru itu terhadap hutan hujan ini. “Saya yakin per­usahaan ini akan melakukan yang terbaik untuk mengontrol akses terhadap jalan ini,” katanya.

“Namun, mereka tidak akan meng­halangi suku Kichwa dan Waorani yang ingin menetap di sepanjang jalan ini.”

Ini pernah terjadi sebelumnya, jelasnya, ketika perusahaan minyak membangun Jalan Maxus ke Yasuní pada 1990-an. Mereka menyiapkan langkah untuk memblokade akses pen­datang luar, tetapi suku pribumi yang tinggal di dalam taman memindahkan desa mereka ke tepi jalan itu, dan mulai berburu hewan untuk dijual di pasar gelap.

“Dengan banyaknya orang yang nanti pindah ke sini, akan ada permintaan besar untuk daging hewan buruan. Ini berarti nasib buruk bagi burung dan hewan besar. Dampak sosialnya tidak bagus. Kisah lama terulang kembali.”!break!

Saat kami melanjutkan perjalanan ke hilir, medan berubah melandai sehingga me­nyerupai rawa belantara dataran rendah yang dipenuhi palem açaí. GPS menunjukkan bahwa kami telah masuk Blok ITT, pusat kontroversi minyak ini. Kami menepi di tepian yang rendah, tempat papan bercat-tangan menandai kampung kecil suku Kichwa, Yana Yaku.

Tetua desa César Alvarado keluar dari rumah­­nya yang beratap rumbia dan bercerita kepada kami tentang kedatangan pihak per­usahaan minyak waktu dia masih kecil. Ge­lombang pertama datang naik helikopter yang terbang rendah di atas pohon buriti tinggi di luar desa sebelum mendarat, kisahnya.

Kemu­dian, datanglah tongkang yang sarat dengan unit perumahan untuk pekerja, serta traktor yang membuka hutan dan mengangkut alat pengeboran besar. Alvarado, 49 tahun, membawa kami me­nyusur­i jalan berlumpur melewati gubuk-gubuk kasar Yana Yaku.

Dia ingin mem­per­lihatkan kepada kami apa yang dilakukan para pe­kerja yang dulu datang kemari, serta satu-satu­nya monumen yang mereka tinggalkan. Kami sampai di tanah terbuka yang teduh dan me­nemukan pemandangan me­nakjubkan.

Bentuk­nya mirip patung, salib abstrak yang terbuat dari pipa, katup, dan siku. Monumen hampir 4,5 meter itu tampak berkarat dan lumut­an. Namun, jelas belum dilupakan orang. Inilah sumber kehebohan Blok ITT-Yasuní—bekas sumur eksplorasi ladang minyak Tipu­tini. Melalui sumur-sumur semacam inilah, pemerintah mengetahui bahwa Blok ITT menyimpan lebih dari 20 persen cadangan minyak Ekuador, sekitar 850 juta barel minyak mentah Amazon.

Bagaimana jika para pekerja da­tang kembali? Akankah Alvarado men­dukung mereka memompa minyak? “Kami meng­inginkan kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat,” katanya. “Jika me­reka merawat lingkungan, kami akan men­dukungnya.”

Sebaliknya, bagi kebanyakan orang Waorani, masa depan seperti itu tidak terlihat me­narik. Pada suatu pagi yang mendung dan lembap, saya berangkat dari kota Coca bersama pemandu pribumi naik truk menuju selatan ke jalan yang disebut Jalan Auca.

Jalan yang dibangun Texaco tahun 1970-an untuk mengangkut anjungan pengeboran ke ladang minyak dan memasang jalur pipa itu membelah bekas tanah adat Waorani, tepat di tengah. Pelanggaran ini diperparah perusahaan itu dengan menamai jalan itu Auca, sebutan musuh terhadap suku Waorani, yang berarti “buas”.!break!

Kami menuju jembatan di Sungai Shiripuno, pintu masuk ke Zona Larangan, tempat setidaknya dua kelompok Waorani, Taromenane dan Tagaeri, hidup memisahkan diri dari dunia modern. Menyusuri jalan aspal berliku dengan ke­cepatan tinggi, kami melewati lereng bukit gundul dan ranchos, ladang, yang menjadi saksi serbuan tak terbendung pemukim haus-lahan, setelah pembangunan jalan itu 40 tahun yang lalu.

Permukiman miskin orang Kichwa dan mestizo (komunitas ras campuran)berserakan di sepanjang jalan-jalan kecil yang masuk ke Jalan Auca. Di sebuah tikungan tajam ke kanan yang jalan­­nya kemudian menghilang tertutup semak rimbun, kami belok kiri dan mengikuti jejak ban mendaki bukit curam.

Saya mendengar bahwa baru-baru ini ada suku Indian terasing yang terlihat di tempat operasi penambangan minyak, di luar zona khusus mereka. Tidak lama kemudian, kami melalui simpang siur jalan kecil yang menghubungkan sumur minyak dan stasiun pompa yang semakin me­luas.

Setelah mengepot di sebuah putaran U, sampailah kami ke hutan lebat yang me­nandai ujung jalan ini. Di sebelah kanan depan, anjungan pengeboran baru menjulang di balik pagar kawat. Tanda di pintu gerbang menunjukkan bahwa itu lokasi sumur minyak Nantu E. Di sebelah kiri, kumpulan gubuk beratap rumbia berdiri di dalam hutan—desa Yawepare suku Waorani.

Anjing kampung menyalak mengelilingi kami saat kami turun dari truk. Seorang pria kekar yang mengenakan celana pendek dan baju kaus ketat menanyakan apa tujuan saya. Setelah mengetahui bahwa saya bukan dari perusahaan minyak, ia mengajak kami berbicara di balai desa tidak jauh dari situ. Namanya Nenquimo Nihua.

Dia sedang men­jabat sebagai kepala desa selama dua tahun. “Ini daerah berbahaya,” Nihua memper­ingat­kan. Ketegangan terus meningkat sejak pekerja minyak datang beberapa bulan lalu untuk menggarap sumur minyak di dekat desa mereka.

Penduduk desa di sini khawatir bahwa suara bising yang ditimbulkan mesin dan kendaraan berat dapat memancing kekerasan dari kelompok terasing di hutan sekitarnya. Kelompok-kelompok terasing itu merasa tanah mereka menyusut. “Mereka terusir dari hutan,” katanya. “Kami tidak ingin terjadi konflik dengan mereka. Kami ingin mereka merasa tranquilos, damai.”

Nihua mengaku bahwa beberapa anggota suku nomaden itu sebenarnya masih kerabat­­nya. Meskipun memiliki hubungan kekerabatan, banyak pemukim Waorani yang takut diserang kelompok Taromenane dan Tagaeri.

Namun, kelompok nomaden itu juga merupakan sumber kebanggaan, simbol perlawanan suku, dan pengingat akan adat leluhur mereka. Nihua mengatakan bahwa dia dan keluarganya sering meninggalkan kapak dan parang di hutan untuk diambil kerabat mereka.

Mereka berkebun untuk mencukupi makanan dan melakukan ronda bersenjata untuk berjaga-jaga kalau ada pengganggu yang berniat buruk. “Kami membela hak kami di sini,” kata Nihua, dengan dada membusung. “Tidak boleh ada lagi pengeboran minyak. Tidak boleh ada lagi pendatang baru. Tidak boleh ada lagi pembalak.”!break!

Setelah hampir tiga minggu bepergian dengan truk, kapal, dan pesawat perintis di Yasuní, saya menuju ibu kota Quito, di pe­gunungan Andes. Saya mendapat ke­sempatan untuk berbicara langsung dengan Presiden Correa tentang kesulitan Prakarsa ITT-Yasuní.

Correa, 49 tahun, langsung menuju inti pem­bicaraan. Tawaran Prakarsa ITT-Yasu­ní, katanya, masih berlaku. “Kami se­lalu me­ngatakan bahwa jika kami tidak men­dapat­­kan dukungan yang diperlukan bagi prakarsa ini dalam waktu yang wajar, kami ter­paksa mengeksploitasi minyak tersebut, dengan tanggung jawab lingkungan dan sosial semaksimal mungkin.

” Prakarsa ini menimbulkan dilema, lanjut­nya. “Ekuador negara miskin. Kami kekurangan banyak hal, yang paling cocok bagi kami adalah meng­eksploitasi sumber daya tersebut.”

Di akhir wawancara, Correa terdengar seperti orang yang sudah mengambil ke­putus­an. “Saya ingin negara kami mengeksploitasi sumber daya alam kami, karena itulah yang dilakukan semua negara di dunia,” demikian pernyataannya. “Kami tidak mau menjadi pengemis yang duduk di karung emas.”