Di hutan yang mengalami dampak penambangan minyak, mungkin 90 persen spesies di sekitar lokasi tambang akan mati, katanya. “Kita harus mempertanyakannya: Apakah hal ini bisa diterima?”
Beberapa hari kemudian saya bersama tim ahli biologi dari Wildlife Conservation Society (WCS) naik ke perahu di tengah gerimis kecil untuk melakukan perjalanan ke arah timur menyusuri Sungai Tiputini. Pohon Cecropias berbatang putih berjajar di pinggir sungai berliku yang menjadi sebagian batas utara taman nasional yang berbentuk C-terbalik itu.
Di atas kami, cabang pohon kapuk yang tinggi penuh dengan sarang burung oropendola yang mirip sarang tempua. Tidak terdengar tanda keberadaan manusia lain di sungai itu. Demikianlah kesannya, sampai kami membelok dan bertemu tongkang panjang bermesin yang berlabuh di tepi sungai. Tempat itu penuh dengan pekerja yang mengenakan helm proyek dan sepatu bot tinggi.
Tanahnya yang merah terbuka penuh jejak truk pengangkut tanah. Saat saya mengangkat kamera untuk mengambil gambar, sepasang tentara di kapal tongkang berteriak: “Dilarang memotret!”Para petugas berhelm dan baju overal biru hanya diam membungkam saat kami melintasi lumpur dan naik ke kapal tongkang itu.
Untungnya, ada seorang pria tinggi besar yang mengulurkan tangan gempalnya dan menyambut dengan hangat. “Saya salah satu orang jahatnya,” katanya dalam bahasa Inggris sambil tertawa, bahkan sebelum dia memperkenalkan diri. Robin Draper, 56, sepertinya sama terkejutnya oleh kemunculan tiba-tiba kami sebagaimana kami dikejutkan oleh kegiatan ini.
“Kami sudah di sini selama berminggu-minggu, dan perahu kalianlah yang pertama menggolaki sungai ini,” ujarnya.!break!
Draper, berasal dari Sacramento, California, adalah pemilik sekaligus operator tongkang yang bernama Alicia itu, dia mendapat kontrak kerja dari Petroamazonas. Perusahaan minyak negara tersebut jelas mengerahkan kekuatan penuh untuk membuka Blok 31.
Beberapa tahun yang lalu, pemerhati lingkungan memuji-muji saat Petroamazonas menghentikan perusahaan minyak lain, Petrobras, membangun jalan tersebut. Namun, konsesi itu kemudian diserahkan kembali kepada Petroamazonas. Kini, 14,5 kilometer jalan ke selatan dari Napo ke Sungai Tiputini telah selesai, kata Draper. Bahkan, buldoser telah merangsek jauh ke dalam hutan di seberang Sungai Tiputini.
Ini langkah yang pasti mengundang kontroversi, karena merupakan pelanggaran baru terhadap taman nasional. Para pengkritik juga menyatakan bahwa 45 juta barel kandungan minyak yang diketahui di Blok 31 tidak sebanding dengan investasi besar-besaran di konsesi tersebut. Alasan pembukaan Blok 31 yang sebenarnya, menurut mereka, adalah untuk menyiapkan prasarana bagi sasaran akhir di Blok ITT yang bersebelahan.
Hal ini membahayakan kredibilitas Prakarsa ITT-Yasuní maupun margasatwa dan kelompok pribumi terasing yang mengembara di hutan dataran tingginya. Laporan terbaru menunjukkan kemungkinan adanya aktivitas perusahaan minyak di daerah yang wajib dilindungi pemerintah tersebut.
Meskipun Draper tidak punya pendapat soal itu, dia mengatakan bahwa Petroamazonas melakukan yang terbaik untuk meminimalkan gangguan di daerah tersebut. Namun, dia tidak yakin. “Niat mereka memang baik,” katanya. “Namun, dalam pandangan saya, seharusnya jalan ini tidak usah dibuat sama sekali.”
Kembali ke sungai, saya bertanya kepada Galo Zapata, salah satu ahli biologi WCS di perahu kami, bagaimana dampak jalan baru itu terhadap hutan hujan ini. “Saya yakin perusahaan ini akan melakukan yang terbaik untuk mengontrol akses terhadap jalan ini,” katanya.