Obral Hutan Hujan

By , Senin, 24 Juni 2013 | 11:59 WIB

“Namun, mereka tidak akan meng­halangi suku Kichwa dan Waorani yang ingin menetap di sepanjang jalan ini.”

Ini pernah terjadi sebelumnya, jelasnya, ketika perusahaan minyak membangun Jalan Maxus ke Yasuní pada 1990-an. Mereka menyiapkan langkah untuk memblokade akses pen­datang luar, tetapi suku pribumi yang tinggal di dalam taman memindahkan desa mereka ke tepi jalan itu, dan mulai berburu hewan untuk dijual di pasar gelap.

“Dengan banyaknya orang yang nanti pindah ke sini, akan ada permintaan besar untuk daging hewan buruan. Ini berarti nasib buruk bagi burung dan hewan besar. Dampak sosialnya tidak bagus. Kisah lama terulang kembali.”!break!

Saat kami melanjutkan perjalanan ke hilir, medan berubah melandai sehingga me­nyerupai rawa belantara dataran rendah yang dipenuhi palem açaí. GPS menunjukkan bahwa kami telah masuk Blok ITT, pusat kontroversi minyak ini. Kami menepi di tepian yang rendah, tempat papan bercat-tangan menandai kampung kecil suku Kichwa, Yana Yaku.

Tetua desa César Alvarado keluar dari rumah­­nya yang beratap rumbia dan bercerita kepada kami tentang kedatangan pihak per­usahaan minyak waktu dia masih kecil. Ge­lombang pertama datang naik helikopter yang terbang rendah di atas pohon buriti tinggi di luar desa sebelum mendarat, kisahnya.

Kemu­dian, datanglah tongkang yang sarat dengan unit perumahan untuk pekerja, serta traktor yang membuka hutan dan mengangkut alat pengeboran besar. Alvarado, 49 tahun, membawa kami me­nyusur­i jalan berlumpur melewati gubuk-gubuk kasar Yana Yaku.

Dia ingin mem­per­lihatkan kepada kami apa yang dilakukan para pe­kerja yang dulu datang kemari, serta satu-satu­nya monumen yang mereka tinggalkan. Kami sampai di tanah terbuka yang teduh dan me­nemukan pemandangan me­nakjubkan.

Bentuk­nya mirip patung, salib abstrak yang terbuat dari pipa, katup, dan siku. Monumen hampir 4,5 meter itu tampak berkarat dan lumut­an. Namun, jelas belum dilupakan orang. Inilah sumber kehebohan Blok ITT-Yasuní—bekas sumur eksplorasi ladang minyak Tipu­tini. Melalui sumur-sumur semacam inilah, pemerintah mengetahui bahwa Blok ITT menyimpan lebih dari 20 persen cadangan minyak Ekuador, sekitar 850 juta barel minyak mentah Amazon.

Bagaimana jika para pekerja da­tang kembali? Akankah Alvarado men­dukung mereka memompa minyak? “Kami meng­inginkan kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat,” katanya. “Jika me­reka merawat lingkungan, kami akan men­dukungnya.”

Sebaliknya, bagi kebanyakan orang Waorani, masa depan seperti itu tidak terlihat me­narik. Pada suatu pagi yang mendung dan lembap, saya berangkat dari kota Coca bersama pemandu pribumi naik truk menuju selatan ke jalan yang disebut Jalan Auca.

Jalan yang dibangun Texaco tahun 1970-an untuk mengangkut anjungan pengeboran ke ladang minyak dan memasang jalur pipa itu membelah bekas tanah adat Waorani, tepat di tengah. Pelanggaran ini diperparah perusahaan itu dengan menamai jalan itu Auca, sebutan musuh terhadap suku Waorani, yang berarti “buas”.!break!

Kami menuju jembatan di Sungai Shiripuno, pintu masuk ke Zona Larangan, tempat setidaknya dua kelompok Waorani, Taromenane dan Tagaeri, hidup memisahkan diri dari dunia modern. Menyusuri jalan aspal berliku dengan ke­cepatan tinggi, kami melewati lereng bukit gundul dan ranchos, ladang, yang menjadi saksi serbuan tak terbendung pemukim haus-lahan, setelah pembangunan jalan itu 40 tahun yang lalu.