Kinshasa, Denyut Kota di Kongo

By , Senin, 26 Agustus 2013 | 11:24 WIB

Lihatlah seniman itu. Dia muncul dari gudang yang luasnya tidak lebih besar daripada sel penjara. Seniman itu tinggal dan bekerja di gudang ini. Usianya 32 tahun, dengan gaya rambut Mohawk, anting-anting emas, sepatu bot koboi, sabuk Dolce & Gabbana, dan kemeja sutra warna tembaga.

Namanya Dario, dan dia ingin menunjukkan kepada kami, “Sayalah raja di kawasan ini.”Kawasan yang dimaksudkan adalah Matete: sempit, miskin, dan berbahaya. Daerah ini dikenal karena banyak atlet dan pencurinya. Di samping gudang Dario, seorang wanita tua duduk di atas tanah dan menjual tumpukan arang.

Di ujung jalan yang satu, terhampar pasar acak-acakan tempat para pedagang men­jajakan palu, pisang, dan rokok. Di ujung jalan yang lain, polisi berusaha menahan seorang wanita uring-uringan yang menarik-narik baju­nya.

Kami berada di jantung Kinshasa yang ber­degup kencang, ibu kota Republik Demokratik Kongo—dan di sini indeks kualitas hidup seperti tingkat gizi per kapita dan kualitas air menunjukkan bahwa lingkungan ini tidak mampu menopang kehidupan warganya. Namun, sesungguhnya, Kinshasa adalah kota yang sangat hidup.

“Silakan masuk,” ujar Dario menawarkan. Tidak ada tempat tidur di dalam gudang. Dinding bangunan ini dipenuhi dengan lukisan­­nya, sesuatu yang tidak kita harapkan dari le­laki yang pertama kali saya temui di sebuah kontes sape. Sape adalah sebuah acara kumpul-kumpul, tempat kaum lelaki Kinois­—sebutan untuk warga Kinshasa­—memamerkan pakaian mahal yang mereka peroleh dengan cara masing-masing.

Dari gerombolan orang miskin yang aneh ini, dia melompat menghampiri saya, me­­nunjuk dadanya dan berseru, “Celana Yohji Yamamoto! Sepatu El Paso! Topi Kassamoto-ku harganya 455 euro!” Dan seterusnya hingga akhirnya saya mengetahui bahwa selain seorang sapeur atau penggemar berat mode, Dario pernah belajar di Akademi Seni Rupa di Kinshasa. “Saya sudah melukis sejak berusia sepuluh tahun,” katanya.

Lukisan Dario tampak menawan, penuh mim­pi tetapi sekaligus sendu. Lukisannya meng­hadir­kan pemandangan jalan yang be­rantakan dan kerasnya kehidupan sehari-hari—pemandangan kota yang sibuk namun ceria, kota yang melahirkan beberapa seni­man terbesar Afrika.

Banyak di antara mereka—seperti pelukis Pierre Bodo dan Chéri Samba, musisi Papa Wemba dan Koffi Olomide, pematung Bodys Isek Kingelez dan Freddy Tsimba—terkenal di seluruh dunia. Dario sendiri mungkin tidak akan pernah setara dengan nama-nama itu.

Namun, inilah komitmen hidupnya, me­nemu­kan keindahan dalam perjuangan hidup. Saya memintanya untuk melukis sesuatu untuk saya dan menjelaskan apa yang saya bayangkan. Kami menyepakati harganya, termasuk uang muka senilai Rp1 juta untuk peralatan melukis. Saya menyerahkan uang tunai, yang diam-diam diselipkannya ke dalam kitab Injil di atas rak.

“Saya tidak punya uang,” katanya. “Tetapi, orang seperti saya tidak pernah putus asa. Kami adalah pejuang. Kami mati dengan terhormat.”!break!

Lihatlah kota seni ini. Kinshasa bergejolak bagai­kan lautan primordial di atas hamparan daerah tropis seluas 650 kilometer persegi di tepi selatan Sungai Kongo. Sekitar sepuluh juta orang tinggal di sini. Dan, setiap tahun, setengah juta orang menambah populasi Kinshasa. Kita tidak tahu bagaimana mereka dapat bertahan. Bahkan, gandum untuk roti pun diimpor dari luar negeri.

Akibatnya, menurut salah seorang veteran penasihat bantuan kemanusiaan yang berbasis di Kinshasa, “Kita dapat membeli makan­an dengan harga lebih murah di Amerika dari­pada di sini. Ini adalah salah satu populasi yang paling kekurangan gizi di Afrika, bahkan mungkin di seluruh dunia.” Seluruh air di kota ini berasal dari Sungai Kongo dan anak sungai­nya, yang juga menjadi muara semua limbah kota ini. Hanya beberapa jalan yang diaspal. Se­kolah tidak terjangkau bagi sebagian besar Kinois.

Meskipun berstatus sebagai ibu kota negara ter­besar kedua di seluruh Afrika, Kinshasa adalah contoh kota yang sangat tidak teratur. Seperti yang diungkapkan se­orang pejabat AS dengan hati-hati, setiap ke­menterian pemerintahan “pada dasarnya cukup mandiri”—dengan kata lain, sebagian besar dana yang dimilikinya diperoleh dari penyuapan dan pemerasan. Hal ini terutama berlaku di ke­polisian, yang, menurut penasihat bantuan kemanusiaan itu, “seratus persen dapat disogok. Setiap orang berdalih dengan alasan yang sama: untuk membiayai kehidupannya.”