Kinshasa, Denyut Kota di Kongo

By , Senin, 26 Agustus 2013 | 11:24 WIB

Sejak saat itu, patung karya Freddy Tsimba telah dipamerkan di Afrika dan Eropa, di Cina, dan Washington, D.C. Belum lama ini, dia mendapatkan izin tinggal bagi seniman dari pihak berwenang di Strasbourg. Di sana, dia mendirikan sebuah patung setinggi enam meter untuk mengenang sekian banyak pengungsi Eropa Timur baru-baru ini. Hasil penjualannya menutup biaya bahan bakar obor las, gudang, sendok, dan persenjataan bekasnya.

Di negara lain, seniman yang memiliki sifat kemanusiaan seperti Tsimba yang gigih pasti mengundang perhatian, ketenaran, dan penghargaan profesional. Mobutu, dengan kekuasan diktatornya yang habis-habisan menjarah harta negaranya, sangat men­dukung para seniman Kinshasa, terutama yang mempropagandakan namanya.

Namun, pe­nerus sang diktator, Laurent Kabila (yang menggulingkan Mobutu pada 1997) dan Joseph Kabila (yang menggantikan ayahnya setelah terbunuh pada 2001), tidak memedulikan para seniman ini. Tujuan pendirian kementerian seni masih tidak jelas hingga sekarang.

Dana dua sekolah seni Kinshasa sebagian besar diperoleh dari iuran orang tua murid. “Pemerintah tidak memiliki visi,” kata Joseph Ibongo Gilungula, direktur Museum Nasional Kongo di Kinshasa. Dengan tertawa getir, dia membicarakan museum yang dipimpinnya: “Alasan apa yang bisa kita ke­mukakan? Faktanya, 40.000 karya seni dibiarkan telantar di dalam gudang.”!break!

Dan, untuk menjadi seniman seperti Tsimba, Anda melakukan apa yang dilakukan Kinois. Anda menerima kenyataan bahwa pemerintah hadir hanya untuk mengambil, bukan memberi. Anda berimprovisasi. Anda mewujudkan seni dengan keyakinan tinggi sehingga orang tua Anda dapat dibujuk untuk mengirimkan Anda ke Akademi Seni Rupa.

Anda mempelajari keahlian mengelas dengan berkumpul bersama peng­­rajin logam yang diam-diam tinggal di bekas pabrik onderdil mobil yang sudah bangkrut. Anda menemukan bahan yang diperlu­­kan dan inspirasi Anda dari jalanan.

Imbalan berupa uang yang Anda dapatkan, diperoleh dari klien kaya-raya di luar Kongo. Anda hidup setiap hari dengan menggunakan kecerdikan dan kemandirian. Anda menjalani paduan kehidupan perkotaan ala Darwin dan kedaerahan suku-suku yang bergejolak, dengan risiko berkesenian yang dihadapi Freddy Tsimba, yakni mengundang salah tafsir.

“Ada saja orang yang menghubungkan pekerjaan saya dengan setan,” ujarnya mengakui. “Mereka merasa seni saya mirip dengan karya setan. Kerabat saya sendiri menganggap saya seorang penyihir. Saya tidak lagi makan bersama keluarga, karena takut mereka berusaha meracuni saya.”

Berkomunikasi dengan roh, bagi Kinois, bukan hanya merupakan sumber penyembahan setan, melainkan juga sumber kekuatan. Kinois percaya bahwa roh orang mati dapat mengubah hidup seseorang. Saya me­rasakannya pertama kali pada suatu malam di lingkungan Matonge, pusat musik Kinshasa.

Di malam hari, jalanan Matonge gegap gempita disemarakkan melodi dari berbagai tempat dan ramainya pengunjung pesta yang bergembira. Saat melewati tempat kecil yang penuh sesak, kita dapat mendengar dentum­an drum yang bertalu-talu, lagu yang bergemuruh—dan, tentu saja, sensualitas lesu tarian rumba, yang mengarungi perjalanan cukup jauh dari Kuba ke Kinshasa pada 1930-an dan ‘40-an melalui para pelaut Afrika Barat dan buruh Karibia, serta rekaman yang dijual para pedagang Eropa. Semuanya langsung dipraktikkan oleh Kinois di masa penjajahan sebagai irama ungkapan hati.

Pada suatu malam, saya menemui Tsimba di klub La Porte Rouge di Matonge untuk melihat band klub, Basokin. Klub ini sebenarnya sebuah garasi, diterangi oleh rangkaian empat bohlam yang menggantung di langit-langit, dengan mobil diparkir di dalam, sehingga hanya menyisakan sedikit ruang yang cukup untuk panggung darurat dan setengah lusin meja plastik. Pedagang asongan hilir mudik menjual bir Kongo, brochette sapi panggang, dan kacang.

Para anggota band, semuanya lelaki, berbaris di panggung: tiga vokalis, dua pemain gitar listrik, seorang pemain gitar bass, tiga pemain tom-tom, dan penabuh perkusi yang dengan rajin menabuh botol bir kosong dengan tongkat­­­nya selama pertunjukan.