Kinshasa, Denyut Kota di Kongo

By , Senin, 26 Agustus 2013 | 11:24 WIB

Kita pasti menduga bahwa lambat laun akan terjadi anarki akibat benturan kemiskinan yang terus meluas dan kegagalan pemerintah untuk mengatur negara. Namun, keyakinan dunia Barat pada lembaga pemerintah, hukum, dan infrastruktur tidak dapat diterapkan di gabungan kota metropolitan dan desa ini, yang terbentuk tanpa rencana yang jelas. Begitu pula cerita tentang Kinshasa, kisah duka, penindasan, dan tanpa harapan, kisah yang kerap ditemui di benua Afrika.

Setelah memperoleh kemerdekaannya pada 1960 dari penjajah Belgia, dan setelah ditipu dan dirampok oleh diktator Mobutu Sese Seko, masyarakat Kongo sudah lama membuang harap­an bahwa lembaga sipil dan pemimpin terpilih akan mewujudkan janjinya. Ajaibnya, di Kinshasa, mereka belum membuang harap­an. Sebaliknya: Kinshasa adalah kota wira­usaha yang hiruk pikuk, tempat semua orang memper­dagangkan barang apa pun yang tersedia, pakar tanpa sertifikat, pencipta di tengah kekacauan, seorang seniman di gudang.

Saya mencari seorang penulis setempat yang pernah menulis artikel tentang kotanya, “Kin­shasa adalah sebuah kota yang murid sekolah­nya tidak belajar, pekerjanya tidak be­kerja, menterinya tidak mengatur.” Nama penulis itu Lye M. Yoka. Dia direktur umum Institut Nasional Seni dan menyeringai ketika saya membacakan kutipan ini kepadanya.

“Kekuatan Kinshasa dapat ditemukan di dua tempat,” katanya. “Pertama, dalam belanga kebinekaannya: terdapat sekian banyak suku di kota, tetapi tidak ada pertikaian antara suku-suku lokal di ibu kota.” Memang terjadi perang antara pemimpin militer, katanya, tapi “masyarakat adat tidak pernah terlibat dalam perang saudara.”

Sumber kedua kekuatan kota ini, ujarnya me­lanjutkan, adalah “daya cipta dan improvisasi yang begitu luar biasa. Bagi orang luar, kota ini terlihat kacau-balau. Bagi saya, tidak. Kami telah mengembangkan sebuah sistem informal. Dan, dalam sistem infor­mal ini, terdapat keteraturan. Kami meng­­gunakan apa yang kami miliki dan me­negosiasikan segalanya.”

Yoka, tentu saja, sedang menggambarkan hakikat kepekaan artistik. “Seniman sudah di­kenal tidak pernah bergantung pada pe­merintah,” katanya. “Kegiatan seninya menjadi cara menghadapi permasalahan kesehariannya, dan sarananya untuk bermimpi. Inilah Kinshasa, kota seni, tempat yang mem­buat penderitaan berubah menjadi inspirasi.!break!

Saya dapati Freddy Tsimba sedang berdiri sekitar satu meter di belakang pintu besi bergelombang. Ia menggunakan obor asetilen untuk mengelas sebuah golok pada patung wanita hamil yang seluruhnya terbuat dari sendok. Tsimba membayar anak-anak jalanan Kinshasa, shege, untuk mencari sendok bekas di jalanan untuknya. “Mereka tidak tahu apa yang saya lakukan di sini—mereka hanya mengira bahwa saya orang gila pengoleksi sendok,” katanya.

“Terdapat banyak sekali sendok [di Kinshasa], tapi sayangnya, tidak ada yang bisa dimakan [dengan sendok itu].” Tsimba menjelaskan bahwa patung ini me­lambang­kan wabah pemerkosaan di Kongo timur. “Lihatlah, wanita ini merentangkan tangan­nya,” katanya. “Dia melindungi anak-anak di dalamnya. Dia melawan tentara. Dia berusaha sebaik mungkin. Golok, tentu saja, meng­ekspresikan kekuasaan dan kekerasan.”

“Apakah ada yang pernah bertanya mengapa Anda tidak fokus pada citra yang lebih positif?”Sambil tertawa, Tsimba menjawab, “Para seni­man senior—yang suka melukis wanita ber­pantat besar sedang menari dan orang sedang minum-minum—tidak menyetujuinya. Namun, sebagian besar warga Kongo memang menderita, dan itulah yang saya wakili. Saya tidak ingin menyanjung para penguasa. Saya lebih memilih untuk fokus pada apa yang se­sungguhnya terjadi.”

Lelaki luwes dan menawan dengan rambut ala Rastafarian ini mengantar saya menyusuri jalanan berdebu di Matonge, lingkungan yang telah dihuninya seumur hidup selama 45 tahun. Kami melewati dasar sungai yang lebar penuh sampah. Tsimba mengajak saya masuk ke dalam gudangnya. Di dalamnya terdapat 50-an patung: beberapa patung wanita hamil, banyak di antaranya dengan kaki direntangkan dan tangan ditempelkan ke dinding.

Dunia bawah tanah yang dipenuhi korban tampak mengilap, terbuat dari sendok, golok, dan peluru. “Saya bertemu dengan seorang wanita Kongo timur di sini pada 1998, korban perkosaan yang sedang hamil,” ujar Tsimba. “Saya ber­tanya apakah dia akan mempertahankan ke­hamilannya. Dia menjawab, ‘Ya, anak ini tidak bersalah.’ Hal itu menjadi inspirasi saya.

Saya tunjukkan patung itu kepadanya ketika sudah selesai. Wanita itu sungguh bersemangat, bahkan senang sekali, karena ada orang yang me­nyampaikan cobaan hidup yang dihadapinya kepada dunia. Dia berkata, ‘Ya, beginilah pen­deritaan saya.’ Saya menjual patung itu dan menggunakan uangnya untuk membayar biaya rumah sakit dan pakaian untuknya, sehingga dia dan bayinya dapat pulang ke Goma.”