Kinshasa, Denyut Kota di Kongo

By , Senin, 26 Agustus 2013 | 11:24 WIB

Kita membesar-besar­­kannya dengan humor dan sindiran. Namun, sang penulis mengakui bahwa “sistem informal” ini sama sekali tidak ideal. “Saya tidak menyesali kota kami,” katanya. “Kami berada di era modern, dan ada sejumlah standar modern yang perlu diadaptasi.”

Karena pameran kewirausahaan kompulsif Kinshasa yang mentah dan kaya dapat me­mudar dengan cepat. Hal seperti ini pernah saya rasakan dan dengan mudah dapat terjadi pada Anda: Bayang­kan­lah Anda berada dalam sebuah SUV yang meluncur, dan tiba-tiba seorang pria melompat ke pijakan kaki untuk keluar-masuk mobil.

Dia menggedor jendela. Dia mengatakan bahwa mobil Anda telah menabraknya dan menuntut ganti rugi. Pemandu Anda menyangkalnya dan mem­percepat laju kendaraan. Pria itu terus bertahan, sekian kilometer, sampai memberi sinyal bagi Anda untuk menepi. Jika pemandu Anda ke­betulan tidak memiliki nomor ponsel kepala polisi, seperti yang kami alami, Anda akan meringkuk beberapa jam di dalam bui sampai akhirnya bersedia mengeluarkan uang yang cukup banyak agar bisa bebas.

Atau: Anda mengemudi pada sore hari menuju lingkungan terpencil Ndjili untuk menonton sebuah band. Kemudian, lalu lintas ber­henti. Mobil seseorang berhenti di tengah jalan. Dan sekarang semua kendaraan berbelok ke samping, berusaha mencari jalan keluar, sehingga menutup semua jalan keluar dan ke­tertiban lalu lintas berubah menjadi neraka lalu lintas yang berdenyut tanpa pengaturan polisi. Penumpang membanjiri jalan.

Para ibu meng­gendong bayi. Anjing. Tubuh orang dan debu menghalangi cahaya. Klakson ber­sahut-sahutan. Orang-orang berteriak dan meng­hantam mobil dengan tinju. Anda tenggelam dalam kerumunan manusia yang terus bertambah banyak, dan tidak ada jalan untuk menyelamatkan diri.Entah bagaimana Anda berhasil menyelamat­kan diri, karena Anda beruntung dan dapat membayar sopir yang terampil.

Anda bukanlah salah satu dari puluhan ribu anak jalanan, banyak yang dibuang oleh orang tua yang menganggap nasib buruknya sebagai Kinois pasti disebabkan oleh kehadiran penyihir dalam keluarga. “Dalam masyarakat tradisional, setiap kali seorang anak kehilangan orang tua, dia secara otomatis dipelihara oleh anggota keluarga­nya yang lain,” kata Henry Bundjoko Banyata. Dia seorang profesor sejarah seni yang tinggal di Kinshasa.

Saat berusia 12 tahun, di desa tempat ke­lahirannya, ia diminta untuk mempraktikkan peng­obatan tradisional, menjadi dukun. “Tetapi, sejak krisis ekonomi yang melanda Kinshasa di bawah pimpinan Mobutu, beberapa keluarga, karena kurangnya sarana, membuang anak-anak­nya. Atau keluarga itu bergabung dengan gereja untuk meminta perlindungan terhadap roh jahat, dan pendeta di gereja menegaskan bahwa anak-anak ini adalah penyihir.

Di desa, kita tidak menemukan praktik semacam itu. Seperti hilangnya rasa hormat kepada orang tua dan lingkungan—hal itu pun diabaikan di ibu kota. Di sini, kami telah kehilangan nilai-nilai tersebut.”!break!

Lihatlah kota imajiner itu. Gerbangnya roda berwarna-warni. Di balik roda itu, jalanan bagaikan pita membentang melintasi Taman Firdaus, dan berakhir di kota metropolis yang menyeruak dari lautan. Gedung pencakar langit tampak cemerlang dan sangat proporsional, persilangan antara Dubai dan Legoland.

Be­berapa bangunan menampilkan lambang produk komersial seperti pasta gigi atau bir; lain­nya menampilkan tempat: Libia, Amerika Serikat, Himalaya. Kota ini bersih, sangat asli. Juga benar-benar kosong. Pencipta model kota yang terbuat dari kardus-dan-kaca yang indah ini adalah Bodys Isek Kingelez. Dia menjulang tinggi di atas model itu, tampak sangat bangga. Ia seorang Kinois paruh baya yang berpakaian serba merah, dari kacamata hingga sepatu kulitnya.

Ujar sang seniman, “Arsitek dan pembangun di seluruh dunia seharusnya mencoba belajar dari sudut pandang saya, sehingga dapat membantu generasi mendatang.”  Saat berdiri di hadapan sang seniman yang mengisolasi diri dan modelnya yang bagai­kan karnaval, kita harus maklum bahwa dia tidak benar-benar didorong oleh altruisme.

Sebalik­nya, dia mewakili keberanian manusia untuk menyusun ulang dan menciptakan kembali. Menjadi Tuhan, seperti yang dinyatakan Kingelez: “Ketika Tuhan menciptakan dunia, maka Sulaiman-lah yang menciptakan bangun­an besar pertama di dunia. Sekarang, saya hanya mengikuti ciptaan Tuhan.

Suatu visi muncul di benaknya, begitu kata seniman itu, pada 1979 saat sedang mengajar ekonomi di Kinshasa. “Saya mendapatkan wahyu—seolah-olah saya jatuh sakit,” kenang­nya. “Suara itu berkata, ‘Banyak yang harus kaulakukan. Cari gunting, lem, dan kertas.’ Saya bertanya, ‘Apa yang dapat saya lakukan dengan semua ini?’ Roh itu berkata kepada saya, ‘Mulai saja. Kau akan melihatnya sendiri.’

Saya mengurung diri di rumah tanpa makanan sedikit pun. Model kecil itu selesai dalam dua minggu. Seorang anggota keluarga saya datang berkunjung dan melihatnya. Dia berkata, ‘Kau harus menjualnya!’”

Sejak itu, dia memamerkan dan menjual model karyanya di seluruh Eropa dan AS. Sekarang, Kingelez yang hebat tinggal di sebuah kompleks berdinding tinggi, meskipun dia me­nyatakan memiliki 30 rumah yang tersebar di seluruh kota. Rumahnya kecil dan salah satu ruangan dikhususkan untuk menyimpan kaca dan perlengkapan seni lain senilai Rp300 juta yang diimpor dari Eropa.

Bagian lain di rumah­nya diisi puluhan koper yang berisi sekian banyak pakaian. “Setiap pakaian hanya saya kena­kan sekali setiap enam bulan,” ujarnya men­jelaskan. “Bagi saya, berpakaian dengan baik adalah bagian dari kekuatan manusia. Kadang istri saya merasa terintimidasi oleh begitu banyaknya koper. Perempuan adalah makhluk lemah.

Logika yang saya miliki sejak lahir kadang sulit diterima orang lain. Bahkan anak-anak saya tinggal di dalam kompleks dan jarang keluar. Orang-orang di sekitar sini berkata, ‘Mengapa mereka hidup seperti orang kulit putih, tidak pernah berjalan-jalan keluar?’ Tapi, orang Eropa yang berkunjung, mereka merasa nyaman di kompleks saya. Kata mereka, ‘Kau sama putihnya seperti kami.’”!break!

Kingelez benar-benar muak pada Kinshasa, kota yang didiaminya, tapi tidak turut andil dalam pembangunannya. “Kinshasa adalah kota yang dipenuhi musisi yang keranjingan wanita, tapi tidak melakukan apa pun untuk kepentingan masyarakat,” katanya.

“Inilah sebab­nya mengapa Kongo akan tetap miskin. Saya sangat membenci semua kebisingan ini, musik ini. Kita tidak bisa memikirkan masa depan apabila musik yang ingar-bingar ini terus diputar. Jika sepanjang malam kita terus berteriak-teriak, melompat, dan menari, maka di pagi hari kita tidak dapat melakukan sesuatu yang berharga.”

Kebencian Kingelez tentang kemunduran Kinshasa tidak diragukan lagi diperburuk oleh pengabaian kota atas dirinya. “Di sini, di Kinshasa, saya tidak pernah mengadakan pameran apa pun,” ujarnya mengakui. “Terus terang, tidak seorang pun tahu siapa saya atau apa yang saya kerjakan.”

Di balik kegeramannya, egonya sedikit terluka. Namun, Bodys Isek Kingelez se­sungguh­nya salah paham. Dia tidak berbeda dari kotanya. Bahkan, dia mencerminkan sikap para Kinois—dan merupakan puncak kota ini: Seorang Picasso Afrika dengan optimisme yang berani sehingga tidak membutuhkan siapa pun, apa pun, hanya tekad yang sangat gigih bersama kertas dan plastik bekas untuk membangun surga di Bumi, kerajaan modelnya.

Di dalam gudang karya seninya, Dario menyodorkan lukisan yang saya pesan. Potret anjing saya, Bill, dengan bingkai kayu—penafsiran yang cukup baik, dengan beberapa keunikan yang tidak biasa: Bill tampak berdiri di tepi Sungai Kongo.

Saya membayar harga yang telah disepakati, tetapi urusan saya dengan Dario belum selesai. Dia mengajak saya ke suatu tempat. Me­ngena­kan sepatu koboinya, dia menyusuri jalan­an berpasir yang terik di pasar Matete. Dia berhenti di sebuah pintu besi, mengetuk. Seorang wanita Kongo bertubuh besar mengenakan anting bundar emas mengizinkan kami masuk.

Dua pemain gitar akustik dan dua penabuh drum sedang memainkan sebuah lagu. Dario, ternyata, juga seorang musisi dan ini adalah band-nya. “Saya persembahkan lagu ini untuk Kongo,” ujarnya di teras, “yang dilanda perang, pen­derita­an, dan kelaparan. Negara saya.”

Dan saat musik terus bermain, Dario mulai menyanyi, “Afrika adalah matahari yang ter­balik”—sang seniman bersenandung tanpa rintangan, dengan berani, dan seperti yang kami ketahui bersama, tak terbendung.

Penulis Robert Draper dan fotografer Pascal Maitre sering mengirimkan tulisan bersama-sama dari Afrika untuk majalah ini.