Melalui tata suara yang kotor dan bergema, musik dimulai lambat-lambat dengan hentakan drum lembut dan lantunan gitar yang lesu. Penyanyi utama, seorang lelaki paruh baya berkemeja sutra imitasi, yang menyebut dirinya Mi Amor, melantunkan beberapa suku kata. Kemudian, dua vokalis lain bergabung bersamanya—menyanyikan lagu polifonis dengan suara parau dari kelompok etnis Songye, yang menjadi inspirasi nama band-nya.
Lagu terus berlanjut: para penyanyi mengumandangkan lirik, dentuman drum semakin keras, suara gitar semakin melengking membangun intensitas yang nyaris tak disadari. Hal itu berlangsung selama delapan menit hingga para penari bermunculan dan perlahan-lahan berjalan menuju panggung. Penari itu berjumlah empat orang, semuanya wanita, masih muda, bertelanjang kaki.!break!
Malam ini mereka mengenakan rok sederhana dan tanktop; beberapa hari kemudian, mereka mengenakan gaun kesukuan kuning dan merah yang sangat indah. Peran para penyanyi kini menyurut menjadi penyanyi latar yang bergumam dan mengerang, sedangkan para penari berputar-putar dengan kencang menjadi pusaran mengikuti improvisasi petikan gitar yang sangat cepat.
Para wanita muda itu berdiri di hadapan penonton dan mulai menampilkan paduan tarian seks dan proses melahirkan: dari pinggang ke bawah, melakukan gerakan tak terduga, dari leher ke atas, benar-benar tak sadarkan diri. Para penonton terpaku dalam keadaan seperti sedang berhalusinasi.Kemudian, tiba-tiba saja lampu mati dan raungan gitar membisu.
Generator yang menyediakan listrik untuk La Porte Rouge telah menyedot tetes terakhir bahan bakarnya. Basokin lenyap dalam kegelapan, sementara seseorang langsung meraih wadah plastik dan berlari menyusuri jalan untuk mengambil bahan bakar. Setengah jam kemudian, klub malam terang benderang kembali, band naik ke atas panggung dengan tenang dan spiral suara serta gerakan baru selama 20 menit kembali mengisi garasi dan, saya yakini, kota sekitarnya.
Beberapa hari kemudian, saya menemui penyanyi Mi Amor untuk minum bir di Matonge. Jalanan dibasuh cahaya matahari yang tidak begitu terik. Pemimpin band itu, seperti Freddy Tsimba, tampak ramah dan sangat serius menekuni dunia seninya. Dia menceritakan bahwa Basokin telah tampil selama 30 tahun.
Dua di antara para penari adalah putri para musisi. Sejak 1987, Basokin bermain di La Porte Rouge setiap Senin, Rabu, dan Jumat. Mi Amor dan salah seorang anggota band adalah pegawai negeri, sementara yang lain, ujarnya menjelaskan, “bekerja di sektor informal,” dengan kata lain, seperti sebagian besar Kinois, mereka bekerja serabutan untuk memperoleh penghasilan, termasuk persenan dari penonton.
“Semua anggota band berasal dari suku yang mewakili budaya Songye, dan yang kami coba lakukan adalah melestarikan tradisi rakyat,” cerita Mi Amor. “Lagu-lagu rakyat itu statis, tidak dinamis. Kami mengganti beberapa kata dan mengganti alat musik tradisional seperti xilofon dengan instrumen modern seperti gitar. Tapi, lagu-lagu kami berbicara tentang kembali ke nilai-nilai tradisional yang mulai hilang.
Musik itu sendiri, ujar sang penyanyi, dimaksudkan untuk membangkitkan hal supranatural—landasan spiritualitas Songye, dipenuhi dengan ilmu sihir dan penghormatan untuk orang mati. “Ketika para penari bergabung dan kami berimprovisasi, itu adalah kombinasi kekuatan,” katanya. “Kami menyapa para pinisepuh Songye yang telah tiada. Seolah-olah kami kembali berada di desa kami, berbicara dengan orang-orang di alam baka, dan mereka mendengarkan.”
Seorang produser dan manajer musik berkebangsaan Belgia, Michel Winter, mengunjungi Kinshasa berkali-kali. Dari tempat terpencil, ia membawa artis berbakat seperti Konono No 1 dan Staf Benda Bilili. Winter menemukan Basokin pada 2002, dan sejak saat itu mereka telah mengadakan tur di seluruh Eropa. “Bagi saya, Basokin sungguh luar biasa, menghipnotis,” kata Winter. !break!
“Mereka tidak dibayar mahal, padahal sangat berani, bermain tiga kali seminggu. Kinshasa penuh dengan pemimpi gila seperti Basokin dan kelompoknya, yang tak henti-hentinya berlatih setiap hari. Saya rasa tidak ada tempat lain di Bumi yang seperti itu.”
Mungkin kita terlalu membesar-besarkan daya pikat keajaiban kota itu. Kita menyihir Kinshasa, seperti yang dilakukan Yoka, menjadi sesuatu yang “seksi dan tak terduga, seperti seorang wanita.” Atau, memandangnya sebagai lanskap tempat tinggal “para pemecah batu dan seniman melarat, yang menghadapi kemalangan dengan senyuman, menerimanya dengan gayanya sendiri.”