Telaah paling mutakhir, atau kemungkinan ketiga, diangkat oleh Ninie Susanti. “Terdapat kemungkinan bahwa Chola melindungi kepentingan para pedagang Tamil yang beroperasi di sekitar Selat Malaka,” kata Ninie kepada saya. “Prasasti berbahasa Tamil tersebar di Srilangka, Burma, Thailand, Cina, dan Sumatra. Kemungkinan, para pedagang Tamil telah menetap di wilayah sekitar Selat Malaka sejak abad kesembilan,” jelasnya.
Hipotesis ini didukung oleh Bambang Budi Utomo. “Terdapat prasasti berbahasa Tamil dari daerah Barus, Sumatra Utara, bertarikh abad ke-11. Isinya pendirian serikat dagang para pedagang Tamil. Mungkin saja serangan itu dipicu oleh pajak terlalu tinggi yang dibebankan Sriwijaya kepada para pedagang Tamil,” jelasnya.!break!
Kota lima kambing
Serangan Chola melemahkan Sriwijaya yang sebelumnya telah terganggu peperangan dengan Jawa dan kesulitan ekonomi. Sriwijaya diperkirakan telah menjadi kota pelabuhan tunggal namun tetap mengirimkan utusan ke Cina membawa nama Sanfotsi. Mereka memberikan kesan tidak terjadi apa-apa, demi kepercayaan Cina.
Pada 1079, raja Sriwijaya melakukan pemugaran suatu kuil Tao di Kanton, Cina. Kisahnya diulas dalam piagam batu yang ditemukan pada musim semi 1957 di kota pelabuhan itu.
“Pada masa pemerintahan Chih-ping antara 1064-1067, Raja Sanfotsi, Yang Mulia Ti-hua-ka-lo memerintahkan utusan untuk membawa kapalnya ke kota ini. Namanya Chih-lo-lo. Begitu tiba, ia melihat kuil ini hancur dan terabaikan. Ia pulang, melaporkan kepada rajanya. Pada 1067 raja mengutus Si-li-sha-wen untuk memulai perbaikan gerbang utama kuil.”
“Pada tahun kedua pemerintahan Yuan-fong (1079) proyek selesai. Sejak itu kapal-kapal Sanfotsi berlayar tanpa takut akan bahaya seperti yang dirasakan sebelumnya.” Demikianlah inti prasasti di “Kota Lima Kambing”—sebutan Kanton yang digunakan dalam prasasti.
Dalam kongres MIPI (Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia), Oktober 1962 di Yogyakarta, guru besar sejarah dan ilmu hukum Mohammad Yamin menjelaskan prasasti ini. “Tingginya 1,6 meter dan lebarnya satu meter lebih. Dibuat oleh pengurus kuil bernama Ho Sun-te (Ho-tek-sun) saat pembangunan kembali kuil Tien-ching pada 1079. Terdiri dari 700 kata lebih dan selain terdapat di sana-sini kata-kata yang kurang nyata, semuanya masih dalam keadaan utuh,” tulisnya.
Dua tahun berselang, pada 1964, ahli sejarah Asia Tenggara, Tan Yeok Seong, juga membahas prasasti ini. Kuil yang dipugar, catat Tan, adalah kuil Tao yang pada 1950-an masih terletak di Kuang Cho North Road di Kanton.
Tan lantas membuat analisis. Raja Sriwijaya Tihuakalo sebenarnya orang yang sama dengan Rajendra Deva Kulotungga dari Chola. Hal ini juga diyakini ahli sejarah Slamet Muljana. Tihuakalo adalah Kulotungga, raja Chola yang mulai berkuasa di India pada 1070. Sebelum naik takhta di negeri sendiri, ia sempat ditugaskan memimpin Sriwijaya yang telah ditaklukkan.
Di Kanton, saat kuil selesai, Tihuakalo tetap dianggap raja Sanfotsi walaupun telah sembilan tahun naik takhta di Chola. Sebabnya, keinginan Tihuakalo untuk memugar kuil tersebut muncul pertama kali pada kurun waktu 1064-1067 ketika ia menetap di Sriwijaya.
Dalam Shung Shih (sejarah Dinasti Sung), disebutkan, “Chu-lien (Chola) dikuasai orang dari Sanfotsi.” Tan memiliki analisis menarik: sejak 1070 Tihuakalo memerintah Chola sekaligus Sriwijaya—negeri bawahannya. Kemungkinan, urusan Chola di Asia Tenggara dikendalikan dari Palembang sedangkan ibu kota domestik Sriwijaya sebagai negeri bawahan ada di Jambi.
Karena itu catatan Cina menyebutkan, pada 1082 tiba dua pucuk surat dari Sanfotsi. Pertama, dari Raja Sanfotsi Jambi. Kedua, dari putri raja yang diserahi kekuasaan mengawasi urusan negara Sanfotsi. “Kedua pemerintahan berkuasa berdampingan,” demikian tulis Tan.
Pada abad ke-11 hingga ke-13, nama Sriwijaya sesekali masih direkam kronik Cina. Bagaimanapun, Sriwijaya tak kunjung bangkit lagi seperti pernah dirintis Dapunta Hyang Sri Jayanasa.!break!
Gambar dari titik-titik
Selama seratus tahun terakhir, banyak cendekiawan mencoba menjawab pertanyaan ini: mengapa Sriwijaya sedikit saja meninggalkan bangunan atau prasasti? Baiklah, ada beberapa. Namun, selain isinya sukar diinterpretasi, jumlahnya terlalu sedikit bagi kita untuk merangkai sejarah kerajaan ini dengan lebih terang.
Para ahli tiba pada kesimpulan senada: Dapunta Hyang dan para penerusnya sibuk mengurusi perdagangan dan “lupa bercerita” lewat prasasti. Lepas dari abad ketujuh, Sriwijaya berselimut kabut. Hanya tampak sesekali. Samar.
Pada abad kedelapan hanya ada satu prasasti Sriwijaya. Pada abad kesembilan juga satu. Abad ke-10 nihil. Abad ke-11, prasasti terkait Sriwijaya kembali ramai namun tiba-tiba kita dikabarkan, kerajaan ini sedang menuju kehancurannya.
Selama dua tahun terakhir, saya membaca hampir semua literatur yang dapat diakses dan mungkin terkait Sriwijaya, Sri Vijaya, Sri Vishaya, Si Wichai, Sribuza, Sribhoga, Shihlifoshih, Sanfotsi, Swarnadwipa, Swarnabhumi, Zabag, dan lainnya. Lebih dari 1.000 naskah ilmiah digoreskan puluhan ahli dari belasan negara, berbagai disiplin ilmu. Kerajaan ini tak banyak mencatat sejarahnya sehingga kita harus berusaha mengenalnya dari naskah kuno bangsa asing.
Para sarjana memilah-milah mana saja kabar dari naskah kuno yang sungguh mengacu kepada Sriwijaya. Semua kabar itu, ditambah prasasti, candi, arca, serta warisan lainnya, ibarat titik-titik yang tertera pada kertas putih yang lebar.
Kita dapat menarik garis, menghubungkan titik-titik itu sehingga terbentuk gambar. Inilah yang terjadi. Titik-titik data digunakan untuk menggambar rupa kerajaan ini. Namun, berbeda cendekiawan mungkin berbeda pula gambarnya.
Mengenai asal mula dan pusat Sriwijaya, cukup banyak “gambar” berupa hipotesis: Semenanjung Malaka, Thailand selatan, Jambi, Riau, Palembang, bahkan Jawa pada suatu kurun waktu terkait Sailendra. Dari banyak hipotesis, sebagian besar ahli menyetujui pendapat George Coedes: Sriwijaya berpusat di Palembang, setidaknya periode awal. Jambi—dan mungkin Kedah—diduga pusat-pusat setelah era Palembang.
Kendati demikian, dunia ilmu pengetahuan tidak pernah berhenti. Gambar-gambar baru terus dirangkai dari titik-titik yang sama. Titik-titik baru lalu ditambahkan. Terkadang, gambar lama yang sudah dilupakan justru dihiasi lagi.
Tahun lalu, Takashi Suzuki, doktor ekonomi dari Jepang yang 30 tahun mendalami topik Sriwijaya berdasarkan minat pribadi, kembali membuka wacana. Ia menulis buku The History of Sriwijaya under the Tributary Trade System of China terbitan Mekong Publishing. Kesimpulan Takashi begini: Sriwijaya berpusat di Chaiya.
Pendapat Takashi merupakan pengembangan dari teori Quaritch Wales pada 1930-an. “Ditelaah dari setiap aspek, Palembang sebenarnya salah satu negeri bawahan Sriwijaya dan tak pernah menjadi pusatnya,” tulis Takashi.
Melalui naskah-naskah Cina, ia menggambar interpretasi berbeda dari yang selama ini dikemukakan para ahli. Dalam jawaban pertamanya kepada saya melalui surat elektronik, Takashi mengetik kalimat ini: “Blak-blakan saja, peranan Palembang dalam Sriwijaya dan penyebaran Buddhisme masa itu terbatas. Saya khawatir teori dan hipotesis saya berdasar bukti-bukti, agak melukai perasaan masyarakat Indonesia.”
Ia meyakini, pengetahuan tentang Sriwijaya dirangkai dari interpretasi keliru atas titik-titiknya. “Dalam peta jalur pelayaran I-Tsing, pada 1896 Takakusu keliru meletakkan Shihlifoshih. Seharusnya di sebelah utara khatulistiwa, di Semenanjung Malaka. Chaiya pelabuhan penting sejak masa Kerajaan Funan,” katanya. “Mengenai pasukan berjalan kaki, 1.312 orang dalam prasasti Kedukanbukit, mereka juga datang dengan perahu, mendarat di suatu tempat lalu berjalan kaki sehingga terkesan sebagai infanteri.”
Kalau Shihlifoshih di Chaiya, mengapa I-Tsing mengitari Semenanjung Malaka? Bukankah lebih cepat jika menempuh rute darat dari Chaiya ke Takua Pa di pesisir barat lalu naik kapal ke India?
“Saya pun bertanya-tanya,” jawab Takashi. “Dari Chaiya, I-Tsing naik kapal raja ke selatan ke Moloyu, lalu memutar arah ke utara menuju Kedah, dan seterusnya. Kapal itu memiliki keperluan dagang. Mungkin I-Tsing berpikir, naik kapal raja adalah pilihan paling aman.”
Penggunaan nama Sanfotsi oleh Dinasti Sung, tercatat mulai 904 hingga 1178, menurut Takashi, “Mengindikasikan bahwa nama itu berarti Tiga Wijaya. Pelabuhan utama Sanfotsi ada tiga: Jambi paling selatan di Selat Malaka, sedangkan Kedah paling utara di selat yang sama. Chaiya bertanggung jawab untuk perdagangan dengan Teluk Siam dan Indocina.” Satu lagi, tegasnya, “Swarnadwipa adalah daratan yang berada di kedua sisi Selat Malaka, bukan hanya Sumatra.”
Takashi jelas membuat gambar lain dari titik-titik yang sama dengan yang dilihat para ahli sejak era George Coedes. Mungkin kita semua bisa kembali ke situasi tahun 1920-an.
Bagaimanapun, memang masih banyak celah yang dapat dipertanyakan, dari yang kita ketahui tentang Sriwijaya. Ketika membaca Chufanchi karya Chau Ju-kua saya pun heran. Pada bagian tentang Sanfotsi, Chau menyebutkan negeri itu terdiri dari 15 negeri bawahan. Dua di antaranya Po-lin-fong (Palembang) dan Si-lan (Srilangka)!
Masih banyak—tepatnya banyak sekali—yang perlu diterangkan dan dibuktikan. Inilah dinamika ilmu pengetahuan.
— Reynold Sumayku adalah Photo Editor National Geographic Indonesia. Kisah ini adalah bagian kedua yang membahas Kerajaan Sriwijaya. Bagian pertama telah dimuat dalam edisi Oktober 2013.