“Banyak biksu dari Tibet dan India datang,” jelas Ahok—sapaan akrab Abdul Haviz, pemuda warga Desa Muarajambi. Kami sedang melepas penat di kediamannya yang hanya beberapa puluh meter dari tepian Sungai Batanghari dan percandian Muarajambi.
Sehari-hari, Ahok aktif dalam pelestarian percandian Muarajambi bersama sejumlah pemuda lainnya. Di antara sekian banyak biksu Tibet yang berkunjung, Ahok mengingat seseorang yang membawa misi khusus. “Ia datang ke rumah ini, meminta agar saya mengantarnya berjalan kaki mengunjungi candi yang satu ke candi lainnya. Setelah selesai di percandian, ia meminta agar diantarkan ke Muara Batanghari,” kisah Ahok. Biksu itu bernama Tasila Tenzin Dakpa. Ia salah satu pembantu pemimpin spiritual Tibet.
Ahok lalu membawa Tasila ke daerah Muarasabak dekat Muara Batanghari. “Saya sempat memotretnya,” kata Ahok sembari membuka satu berkas foto digital pada layar komputernya.
Saya melihat sosok biksu berjubah merah tua membelakangi kamera. Ia mematung di ujung dermaga kecil tempat masyarakat menambatkan sampan. Wajahnya menghadap ke muara. Lanjut Ahok, “Setelah cukup lama, Tasila berpaling kepada rekannya yang menunggu bersama saya di belakang, mengatakan, ‘Ya, di sini tempatnya’.”
Ternyata, biksu Tasila menyelidiki apakah benar Muarajambi dan Batanghari yang dikunjungi oleh Atisha pada awal abad ke-11. Beberapa waktu lalu, saya mencoba menghubungi alamat surat elektronik Tasila dalam kartu nama yang ditinggalkannya untuk Ahok. Saya ingin mewawancarainya, namun tak kunjung berbalas.
Menurut Bambang Budi Utomo, di kompleks Muarajambi yang luas totalnya lebih dari 2.000 hektare telah ditemukan lebih dari 80 reruntuhan bangunan dari batu bata merah. Percandian ini diperkirakan mulai dibangun dan digunakan sebelum, selama, dan setelah masa Sriwijaya.
Kini, jaringan parit dan kanal—dahulu dibuat untuk menghubungkan candi satu dengan lainnya—masih dapat disaksikan. Pada masa silam, orang berkunjung dari candi ke candi dengan perahu. “Kanal-kanal itu juga terhubung dengan Batanghari menuju laut,” jelas Bambang.
Para cendekiawan meyakini, setidaknya mulai abad ke-10, pusat Sriwijaya berpindah dari Palembang ke Jambi di sekitar Batanghari. Pada masa ini pula nama Sanfotsi mulai digunakan oleh Bangsa Cina untuk menyebut Sriwijaya.
Setelah mengunjungi Muarajambi, saya diperkenalkan oleh Ahok kepada Roy Mardianto, seorang peminat sejarah yang tinggal di Kota Jambi. Roy dan teman-temannya mendirikan Yayasan Padmasana. Lembaga swadaya ini berinisiatif mengumpulkan koin-koin Cina dari sekitar muara Batanghari.
“Koin-koin ini kami peroleh dari masyarakat yang menemukan dan menyimpannya,” jelas Roy. Koin-koin itu kemudian diidentifikasi satu demi satu dan diklasifikasikan. Sejauh ini, Yayasan Padmasana telah mengumpulkan lebih dari 2.000 keping koin dan baru setengahnya berhasil diidentifikasi.
Roy dkk menemukan bahwa koin tertua berasal dari kurun waktu antara 118 SM hingga 617 M (abad ketujuh). “Yang seperti itu ada lima keping, dikenal sebagai koin Wu Zhu,” katanya.
Koin yang terbanyak berasal dari masa Kaisar Li Yuan (618-626), pendiri Dinasti Tang (618-907). “Terdapat 141 keping koin dari masa Li Yuan. Sedangkan terbanyak kedua dari masa Kaisar Shen Tsung, 129 koin. Koin dari abad ke-13 juga cukup banyak,” catat Roy. Shen Tsung adalah kaisar Cina yang berkuasa pada 1067-1085. Ia termasuk Dinasti Sung (960-1279).