Koin-koin tersebut salah satu indikasi hubungan dagang dengan Cina sejak sebelum, selama, dan setelah masa Sriwijaya. Sayangnya, hal ini belum didukung oleh temuan dan bukti dengan metode arkeologis.
Kepala Balai Arkeologi Palembang, Nurhadi Rangkuti, dalam kesempatan berbeda mengatakan kepada saya bahwa peninggalan di Delta Batanghari berusia lebih muda. “Kebanyakan justru dari abad ke-11 dan ke-12,” jelasnya.!break!
Untuk kaisar dan ayah
Pada 988, seorang utusan dari Sriwijaya datang ke Cina dan menetap dua tahun. Di pelabuhan Kanton, ketika berniat pulang ia mendengar kabar negerinya diserang Jawa. Ia lantas mengurungkan niat untuk pulang. Tinggal selama setahun lagi. Beberapa tahun kemudian, sang utusan sempat berlayar hingga ke Campa. Karena di sana tidak ada kabar apapun tentang Sriwijaya, ia kembali lagi ke Negeri Atap Langit.
“Kemudian, utusan itu memohon agar kaisar Cina mengeluarkan pengumuman bahwa negerinya berada di bawah perlindungan kaisar,” ucap Ninie Susanti, pengajar arkeologi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Ninie mengatakan kepada saya, pada masa itu Sriwijaya dan Jawa seringkali berperang. “Saat itu Mataram Kuno sedang diperintah oleh raja Dharmawangsa Tguh dan pusat pemerintahannya berada di pesisir utara Jawa Timur,” lanjut ahli arkeologi yang banyak meneliti prasasti Jawa ini.
Mungkin sebagai reaksi setelah bertikai dengan Jawa, Sriwijaya mempererat hubungannya dengan Cina dan India memasuki abad ke-11. Pada 1003 seperti dicatat Chau Ju-kua, utusan Sriwijaya mengabarkan, suatu candi Buddhis—diduga Muaratakus di Riau—didirikan di negerinya.
“Di sana akan didoakan agar kaisar panjang umur,” tulis Chau. Lalu ia melanjutkan, “Sebuah harapan diungkapkan, agar kaisar berkenan memberikan nama untuk candi itu, juga sebuah lonceng sebagai berkat, untuk dipasang di sana. Kaisar mengabulkan. Beliau memberikan nama Chong-tien-wan-shou untuk candi itu dan menghadiahkan sebuah lonceng.”
Hanya berselisih tiga tahun, diplomasi serupa juga ditempuh dengan India. Apabila pada abad kesembilan hubungan dengan Kerajaan Pala diperkuat (prasasti Nalanda), maka pada awal abad ke-11, hubungan dengan Chola yang diperteguh. Kerajaan Chola berlokasi di daerah Tamil Nadu sekarang, di India selatan.
Raja Chola saat itu yakni Rajaraja I menerbitkan prasasti yang kini disimpan di Leiden, Belanda. Tarikhnya sekitar 1006. Prasasti yang ditulis dalam dua bahasa, Sanskerta dan Tamil, itu mengisahkan pembangunan wihara Cudamanivarmavihara di Nagipattana (Nagapattinam). “Yang dibangun dengan nama ayahnya oleh Marawijayotunggawarman yang mulia... yang lahir dalam Wangsa Sailendra, raja Sriwijaya, yang menyelenggarakan pemerintahan Kedah,” begitu sebagian isinya.
Marawijayottunggawarman, raja Sriwijaya yang membangun wihara, menggunakan nama ayahnya—Cudamaniwarman—untuk menamai bangunan suci itu. Cudamaniwarman sendiri adalah raja dalam naskah Durbodhaloka karya Dharmakirti yang dialihbahasakan oleh Atisha.
Prasasti lain yang ditemukan di kuil Karonasvamin di Nagapattinam pun memberitakan, utusan raja Sriwijaya dari Kedah memberikan hibah. Peristiwanya antara 1014 atau 1015, pada masa pemerintahan Rajendra Chola I, anak Rajaraja I yang baru naik takhta. “Sri Mulan Agattisvaran, utusan raja Sriwijaya, mengatur pendirian gerbang kuil Tirukkaronamudaiya di Nagapattinam,” demikian bagian intinya.!break!