“Raja Chenla itu masih muda, haus kekuasaan. Suatu hari ia duduk di istananya yang dikelilingi air tawar laksana Sungai Tigris. Kalau melalui sungai, jarak dari istananya ke laut sekitar sehari perjalanan. Saat itu, di depan sang raja duduk perdana menteri. Mereka berbincang tentang kerajaan lain yang diperintah oleh maharaja, tentang kemegahannya, penduduknya yang banyak, dan pulau-pulau dalam kendalinya.”
“Raja Chenla berkata kepada perdana menteri, ‘Aku punya satu keinginan: Aku ingin melihat kepala maharaja, raja Zabag, di atas piring.’” Sang perdana menteri menjawab, “Oh, Raja. Hamba tidak berharap paduka memiliki keinginan seperti itu. Rakyat kita dan rakyat Zabag tidak pernah membenci satu sama lain. Kerajaan itu letaknya jauh, bukan tetangga kita.”
Sang Raja Chenla murka. Ia tidak menggubris. Ia mengulanginya lagi di hadapan para jenderal dan bangsawan. Jadilah keinginan itu tersebar dari mulut ke mulut hingga sampai ke telinga maharaja Zabag. Sebagai reaksi, maharaja memanggil menterinya. “Mengacuhkan penghinaannya akan menyakiti diriku sendiri, merendahkan derajatku, dan merendahkan diriku di hadapannya,” kata maharaja.
Maharaja meminta menteri untuk menyiapkan armada dan merahasiakan perbincangan ini. Seribu kapal dipersenjatai. Maharaja mengumumkan rencana inspeksi ke negeri-negeri bawahan. Berita tersebar dan para penguasa lokal bersiap menerima kunjungannya.
Begitu semua siap, maharaja dan pasukannya berlayar. Bukan inspeksi, melainkan ke Chenla. Dari laut, ia menyusuri sungai, tiba di ibu kota Chenla, masuk ke istana, dan menahan rajanya.
“Engkau mengungkapkan keinginan untuk melihat kepalaku di atas piring. Aku hanya melakukan kepadamu sesuai dengan apa yang ingin kau lakukan kepadaku,” tulis Sulaiman. “Kepala raja Chenla itu dipenggal atas perintah maharaja. Ia menginstruksikan perdana menteri setempat untuk mencari raja baru, kemudian kembali ke negerinya tanpa mengambil apa-apa.”
Dalam The Ancient Khmer Empire terbitan Transactions of the American Philosophical Society (1951), cendekiawan Lawrence Palmer Briggs menduga, raja Chenla yang dipenggal adalah Mahipativarman. Bisa jadi, tulisnya, Jayawarman II memang dibawa ke Jawa oleh maharaja Sriwijaya setelah penyerbuan ke Chenla. Tujuannya, mempersiapkan sang calon raja itu untuk memimpin negerinya. “Jawa”, sekali lagi menurut Lawrence, belum tentu Jawa sekarang.
Kendati demikian, bisa pula “Jawa” dalam prasasti Sdok Kok Thom memang Jawa yang sekarang. Hal ini masuk akal jika Sriwijaya-Sailendra adalah suatu aliansi di masa itu. Atau, apabila Sailendra adalah dinasti yang berkuasa sekaligus di Sumatra dan Jawa.!break!
Mau lewat bayar pajak
Dalam kronik Dinasti Sung (960-1279) disebutkan suatu negeri di laut selatan yang bernama San-fo-tsi. Oleh para ahli, kerajaan ini diperkirakan sama saja dengan Shih-li-fo-shih pada masa dinasti sebelumnya, Dinasti Tang.
Melalui arsip Dinasti Sung, tergambar bahwa sejak abad kesembilan Sriwijaya mencapai puncak kejayaan berkat penguasaan Selat Malaka dan hubungan baik dengan India dan Cina. Hal ini pun direkam oleh para penulis Arab. Pada 846, misalnya, ahli geografi Ibnu Khurdadhbih mencatat, raja Sriwijaya setiap hari melemparkan satu batang emas ke kolam. Emas-emas itu akan diangkat ketika sang raja wafat, lalu dibagi-bagikan kepada keluarga raja dan para panglima perang. Sisanya untuk rakyat.
Sriwijaya tidak berkeberatan memberikan upeti kepada Cina sebagai adikuasa saat itu, agar mereka leluasa mengontrol jalur perdagangan. Kapal-kapal asing di perairan Sriwijaya dikenakan cukai. Disebut-sebut, salah satu strategi Sriwijaya adalah menggandeng para nomad di laut, juga para perompak.