Kedua surat maharaja yang dikutip Fatimi tidak menyertakan nama pengirimnya. Namun, seandainya memang Dapunta Hyang telah berkorespondensi dengan Khalifah Mu’awiyah I sebelum 682, bukankah berarti catatan tertua tentang Sriwijaya sebenarnya terselip dalam arsip Dunia Arab?!break!
Piagam batu Wat Sema Mueang
Belasan biksu duduk mengitari satu meja panjang sambil bercakap-cakap perlahan. Mereka sedang menikmati sarapan dalam aula, rutinitas harian yang kedua setelah berkeliling kota untuk menerima sedekah dari masyarakat. Sekarang pukul delapan pagi dan matahari bersinar cerah. Beberapa genangan air terbentuk di halaman luar, sisa guyuran hujan tadi malam.
Dinding aula tempat para biksu sarapan hanya separuh terbuat dari beton—tingginya sekitar satu setengah meter. Dinding bagian atas berupa teralis kawat. Selain untuk sirkulasi udara, teralis itu tampaknya dibuat agar orang dari luar dapat melihat ke dalam dan sebaliknya.
Aula ini terletak dalam kompleks Wat Sema Mueang, kuil (wat) yang dianggap tertua di Provinsi Nakhon Si Thammarat, Thailand bagian selatan. Kuil ini terus direnovasi, tampak baru.
Di bagian tengah kompleks terdapat bangunan seluas kamar, berpintu kaca. Di dalamnya dijajarkan arca Buddha dan patung beberapa biksu yang berjasa bagi kuil ini. Di depan bangunan inilah diletakkan piagam batu yang ditandai para ahli sebagai prasasti Wat Sema Mueang.
Piagam batu ini tegak dalam lindungan kaca persegi. Terbuat dari batu pasir, tingginya 104 sentimeter, lebar 50 sentimeter, dan tebal sembilan sentimeter. Kedua sisi batu ini dipahat dengan aksara Pallawa dan Bahasa Sanskerta. Persis di sebelah prasasti terdapat pelat logam bertulisan keterangan dalam Bahasa Thai.
Begitu tiba, saya dan Jo—sapaan pendek Patthanant Ketkaew, rekan kerja di Thailand—segera berbagi tugas. Saya mencermati kondisi fisik batu prasasti dan guratan-guratan aksaranya. Tampaknya prasasti ini replika. Terlalu halus.
Jo memusatkan perhatian pada baris-baris informasi pada pelat logam. Jari telunjuknya terus menelusuri kata demi kata. Mulutnya berkomat-kamit. Sesekali terdengar suaranya yang lirih, mengeja tulisan yang banyak bagiannya dimakan karat. Saya melirik ke arah para biksu. Sedari tadi rupanya mereka makan dan mengobrol sambil memperhatikan kami.
“Sepertinya agak rumit,” kata Jo tiba-tiba. Oh, ya? Ceritakanlah. Ia tak menghiraukan. Baru setelah merasa selesai, Jo bercerita: keterangan lokasi penemuan prasasti ini membingungkan.
Alkisah, pangeran (namun bukan putra mahkota) Damrong Rajanubhab yang pertama meneliti piagam batu ini dan menamainya “Prasasti Nomor 23”. Pada 1920-an, George Coedes, direktur National Library di Bangkok, mengira prasasti ini dari Wat Sema Mueang. Padahal penemuannya di Wat Wiang di Surat Thani, provinsi tetangga Nakhon Si Thammarat. Saat terjemahannya dicetak dalam Bahasa Thai, entah bagaimana namanya menjadi “Prasasti Wiang Sa”—mengacu ke distrik di Surat Thani.
Saat membahas dalam naskah berbahasa Prancis, George Coedes tetap menyebutnya prasasti Wat Sema Mueang. Ia berkilah, ada seorang biksu tua yang mengenali prasasti itu sebagai, “Milik kuil kami di Wat Sema Mueang.”