Anjing Perang

By , Senin, 19 Mei 2014 | 10:21 WIB

Kopral Marinir Jose Armenta berada di tendanya malam sebelum terkena ledakan ranjau di Afganistan. Dia memberi makan dan minum Zenit, anjing German Shepherd berbulu hitam. Lalu, dia membawanya keluar dan melatihnya di bawah sinar yang meredup di gurun antah berantah berselimut debu.

Ini momen paling membahagiakan bagi mereka. Jose memerintahkan Zenit duduk, yang dipatuhi si anjing. Kemudian Jose berlari sejauh 50 meter dan menyembunyikan sebuah mainan karet di dekat tembok lempung, menimbunnya dengan tanah. Mengikuti perintah Jose, Zenit sontak berlari, mencari-cari ke sana kemari, mengibaskan ekornya. Berbagai perintah diikuti aksi tepat oleh si anjing, dengan tujuan akhir yang selalu sama—menemukan mainan. Besok, saat berpatroli, tujuan mereka bukan mencari mainan, melainkan bom rakitan, salah satu senjata Taliban yang paling brutal dan efektif dalam melawan pasukan Amerika.

Selama tiga bulan terakhir, Jose ditempatkan di Pangkalan Patroli Alcatraz, di pinggir kota bernama Sangin di Provinsi Helmand, tanpa pernah memperoleh “temuan”. Kendati dia selalu optimistis—senyum lepas selalu tersungging di wajahnya—nihilnya temuan mulai melelahkannya. Begitu pula suhu 37oC, yang terasa kian menyengat berkat peralatan seberat 35 kilogramnya.

Saat itu, Agustus 2011, misi di Sangin adalah mengamankan Bendungan Kajaki yang berketinggian 97,5 meter agar Taliban tidak meledakkannya, membanjiri Lembah Helmand. Para marinir dari Third Recon, dalam kelompok-kelompok beranggotakan belasan orang, bergantian mematahkan aksi musuh, memetakan kantong-kantong aktif pejuang Taliban. Jose dan Zenit pada praktiknya diminta mendampingi semua misi. Setiap kali meninggalkan pangkalan, dia dan Zenit berjalan di depan bersama marinir yang membawa detektor logam. Ini menjadikan mereka target pertama saat Zenit menyisir seluruh area untuk mencari aroma nitrat, sebagai pertanda keberadaan bom rakitan di bawah tanah.

Di tempat ini khususnya, ancaman adalah hal nyata. Sangin dipenuhi bom rakitan. Banyak pejuang musuh bersembunyi di balik tembok lempung tebal. Di sinilah angkatan bersenjata Inggris, sebelum ditarik seluruhnya dari Sangin pada 2010, kehilangan lebih dari seratus prajurit. Sejak itu, Sangin menjadi kuburan bagi banyak prajurit Amerika, dan di sana jugalah sekian banyak tentara AS mengalami cedera berat yang menyebabkan cacat permanen.

Kerisauan inilah yang coba ditepis oleh pawang anjing perang: risiko yang berkaitan dengan penemuan bom dan ke­mungkinan me­lewatkannya. Di pangkalan kadang terdengar ledakan di kejauhan, dipicu oleh kambing atau penduduk desa yang kurang waspada. Kadang-kadang, penduduk yang panik membawa bocah bersimbah darah ke Alcatraz untuk meminta pertolongan medis. Dan kabar terbaru tentang dua orang pawang, Jeremy dan Jasco, yang berasal dari satu grup keberangkatan dengan Jose, tidak enak didengar. Keduanya terkena ledakan dan kehilangan kaki. Jose punya pendapat jelas tentang ini: Dia lebih memilih mati daripada kehilangan anggota tubuh atau organ vital. Dia lebih suka mati daripada men­jadi manusia cacat. Maka, sebagaimana dua tahun terakhir, Jose melakukan yang perlu dilakukan untuk menepis rasa takut itu: Melatih anjingnya, menjalankan tugasnya, memasrahkan semuanya pada takdir. !break!

Keesokan paginya, 28 Agustus, Third Recon mengetahui bahwa Taliban telah bergerak. Alcatraz berada di tanjakan di tengah ladang jagung, tidak jauh dari wadi—sungai kering—dan intel yakin bahwa bom rakitan telah ditanam di sekeliling tempat itu. “Ledakan terjadi setiap hari. Kami menyadari bahwa ini adalah tindakan yang sangat berisiko,” ujar Sersan Ryan Mulrooney.”

Maka, untuk pertama kalinya sejak ditugaskan ke Afganistan, Jose mengenakan “celana dalam antiledak”, pakaian dalam berbahan Kevlar untuk mengurangi risiko kerusakan alat kelamin. Ia juga mengenakan helm berkamera, berharap dapat mendokumentasikan temuan pertamanya. Kemudian dia memasang infus untuk Zenit agar anjing itu tetap terhidrasi di udara yang panas.

Tim mereka keluar pada pukul 10 pagi. Jarak orang yang berada di depan dan belakangnya, adalah lima hingga tujuh meter. Jose menduga suhu saat itu telah mencapai 49°C. Marinir itu perlahan-lahan menuruni bukit, dan ketika mereka tiba di jalan raya 611, Jose merasakan adrenalinnya mengalir deras. Mulutnya terasa kering saat dia memerintah Zenit, mengarahkan setiap gerakan anjing itu.

Timnya berbelok ke ladang jagung untuk menghindari jalan, hingga mereka tiba di wadi, yang sejajar dengan jalan raya. Dalamnya 2,5 meter dan lebarnya tiga meter. Jose memandu Zenit dari satu tepi ke tepi lainnya. Mulrooney, yang memegang detektor logam, berseru, “Sepertinya ada satu di sini.” Jose menghampiri, menatap gundukan tanah yang memperlihatkan seutas kabel, lalu tersenyum dan berkata kepada Mulrooney, “Yup.” Komandan tim diberi tahu. Jose terus maju, melihat ranjau lain, dan berseru. Mencurigai adanya pola, dia memerintah Zenit menjelajahi sisi lain wadi, tempat anjing itu terpaku, mengibaskan ekor, dan sibuk mengendus. Perubahan perilaku menandai lokasi. Setelah hampir seratus hari mencari, tim mereka akhirnya menemukan bom rakitan.

Jose menyadari bahwa dia harus tetap tenang agar Zenit bisa berkonsentrasi, tetapi bagaimana mungkin? Komandan diberi tahu lagi. Jose dan Zenit terus menyisir wadi di tengah panas mematikan. Matahari menyengat para prajurit yang berjalan perlahan dalam formasi, mengikuti jejak yang telah terbentuk, menggunakan krim cukur untuk menandai titik yang aman. Mereka menemukan bom rakitan ketiga. Dasar sungai dipenuhi ranjau—tetapi di manakah yang berikutnya? Dia dan Zenit-lah yang bertanggung jawab mencarinya. !break!

Zenit—anjing German Shepherd berbobot 35 kilogram dengan kecintaan menggebu-gebu pada permainan ambil bola—lahir pada hari Halloween, 31 Oktober 2007. Ia dibiakkan oleh seorang kontraktor swasta di Eropa, yang memberikan nama uniknya. Setelah menjalani rangkaian panjang tes kesehatan, Zenit dibeli oleh angkatan bersenjata AS setelah ulang tahun pertamanya, dan dikirim ke tempat penampungan di Pangkalan Angkatan Udara Lackland, San Antonio. Di sana, anjing-anjing pekerja dilatih oleh Skuadron Pelatihan 341. Anjing-anjing itu menjalani jadwal yang padat setiap hari, hanya dilepaskan pada jam-jam tertentu untuk makan dan minum, berolah raga, dan berlatih. Selama masa pelatihan inilah pihak marinir mengevaluasi peran yang sesuai untuk si anjing: patroli, pendeteksi, atau pelacak. Walaupun angkatan bersenjata menolak untuk berbicara tentang anjing-anjing itu secara individu, catatan menunjukkan bahwa Zenit berada di penampungan Lackland selama 13 bulan. Karena anjing memiliki rentang perhatian pendek, setiap ilmu hanya diajarkan selama satu atau dua jam sehari, dengan beberapa sesi yang hanya berlangsung tiga hingga lima menit. Pada akhir pelatihan, Zenit memperoleh sertifikat deteksi ranjau dan patroli.

Namun, ketika Zenit yang telah berumur dua tahun akhirnya dipasangkan dengan Jose di Okinawa, Jepang, pada 2010, anjing ini bisa dibilang masih sangat mentah. Jika dibandingkan dengan penugasannya bersama anjing sebelumnya, Jose merasakan tekanan ekstra untuk berhasil bersama Zenit.