Anjing Perang

By , Senin, 19 Mei 2014 | 10:21 WIB

Di jalan setapak itu, dia berbelok dari area yang kerap dilewati dan mendaki tanjakan pendek. Dia mengambil satu langkah, lalu satu lagi. Ketika itulah bumi berguncang, dan ledakan membahana memekakkan telinganya.

Ketika membuka mata, Jose sudah terkapar. Yang dapat dilihatnya hanya langit. Dia ter­lempar sejauh enam meter kembali ke wadi. Dia tahu betul apa yang terjadi, namun tidak bisa memahaminya. Mulutnya penuh tanah, dan tubuhnya menjerit, seolah-olah terbakar. Dia tidak bisa bernapas. Mulrooney yang pertama menghampirinya dan memotong rompinya. Jose terus mengulang, “Aku gagal. Apa kakiku masih ada?” Kemudian: “Di mana Zenit?” Mulrooney menjawab, “Kau tidak apa-apa, kau akan baik-baik saja.”

Ada prosedur untuk menangani seseorang yang terkena ‘got’—istilah mereka untuk kejadian seperti ini. Para marinir mengamankan area; paramedis memasang T-POD—pembalut tekan di pinggang untuk menghentikan per­darahan—pada Jose; Buyes memanggil heli­kopter; dan semua orang berjuang untuk me­ngalahkan “waktu emas”, kurun waktu yang di­upayakan dalam memindahkan prajurit yang terluka dari medan perang untuk meningkatkan peluangnya bertahan hidup.

Tetapi, helikopter terdekat tengah me­nerbangkan marinir lainnya yang juga cedera dan butuh waktu dua jam untuk tiba. Jose telah kehilangan banyak darah, namun entah bagaimana tetap sadar, memanggil-manggil Zenit. Anjing itu, yang berjarak enam meter dari ledakan, menyadari bahwa ada yang salah. Zenit ada di samping Jose. Anjing itu terbaring berbantalkan kaki depannya sendiri. Dia tetap diam di situ ketika paramedis berusaha menyelamatkan Jose sebelum helikopter tiba. Menurut protokol, pawang beserta anjingnya harus dinaikkan ke helikopter dan dipindahkan dari lokasi ledakan. !break!

Seberkas cahaya di kejauhan—Jose mengingatnya. Dia ingat saat dirinya melayang menghampiri cahaya itu, didorong keletihan yang mendera. Dia berada di helikopter. Dia ingat saat merasakan Zenit di dekatnya. Dia ingat saat memikirkan ketiga adiknya, tunangannya, lalu adiknya yang telah meninggal. Dia ingat saat dirinya berpaling dari cahaya itu, mengusir kantuknya, kemudian kembali memasuki tubuhnya.

Dia terbangun di Jerman, dan sepuluh hari kemudian terbangun lagi di rumah sakit Walter Reed. Dia harus menjalani 12 operasi, dipindahkan ke Naval Medical Center di San Diego. Kedua kakinya diamputasi di atas lutut. Dia tertidur hingga 20 jam sehari selama sebulan. Dia terbangun dengan tubuh gemetar, memanggil Zenit, dan teringat bahwa N103 tidak menemaninya pulang, tetapi ditugaskan kembali bersama seorang pawang baru, juga berdasarkan protokol.

“Saya marah,” kata Jose. “Dan iri. Saya tidak pernah menyalahkan Zenit atas apa yang telah terjadi. Kami tim. Jika ada yang bersalah, sayalah orangnya. Saya hanya menginginkan anjing saya.”

Dengan kata lain, sepertinya, mereka berdua merupakan alat, hingga yang satu tidak berfungsi lagi. Di Afganistan, Zenit dikembalikan ke Kamp Leatherneck, untuk segera mengikuti uji coba validasi dengan pawang lain dan menjalani patroli hingga lebih dari 50 kali bersama unit-unit lain. Ia pernah sekali lagi menemukan bom rakitan.

Di rumah, bulan-bulan setelah operasi, Jose menunggu luka-lukanya sembuh, kemudian berolah raga untuk menguatkan badan dan yang tersisa dari kakinya. Dia diberi kaki palsu tanpa sendi lutut agar dapat mempelajari cara menyeimbangkan badan dan berdiri—dan membiasakan diri terhadap tekanan di kakinya. Beberapa waktu kemudian dia menerima kaki palsu bersendi lutut agar dapat belajar untuk berjalan lagi.

Pemulihan fisik adalah satu hal; pemulihan mental adalah masalah yang benar-benar berbeda. Istri Jose, Eliana, yang dinikahinya enam bulan setelah kecelakaan, mengingat beberapa hari yang sangat gelap: Jose, pada usianya yang ke-24, duduk di kursi roda di dalam rumah dengan tirai tertutup, berusaha berdamai dengan kehidupan barunya. “Saya berubah dari pejuang gagah berani menjadi pemuda berkursi roda,” kata Jose. “Mengubah pikiran tidak semudah membalikkan telapak tangan. Saya yakin itu.”

Sementara itu, Jose berniat mendapatkan Zenit kembali. “Ia bagaikan perisai usang saya,” katanya. “Semua goresan punya cerita. Dan tanpanya semua terasa salah.” Bukan hanya Jose yang merasakan kehampaan itu. Beberapa pawang yang cedera berhasil mengadopsi anjing mereka setelah binatang-binatang itu dibebastugaskan. Pawang-pawang lainnya mulai meminta anjing mereka walaupun binatang itu masih aktif bertugas.

Tidak ada program militer formal untuk menyatukan kembali anjing dengan pawang mereka yang cedera, dan beberapa pawang menganggap proses ini rumit sekaligus membuat frustrasi justru ketika mereka membutuhkan kejelasan. Jose sendiri harus menelepon banyak pihak dan menyiapkan banyak dokumen, kemudian tersiksa menunggu selama berbulan-bulan.

Akhirnya Zenit dikirim ke Marine Corps Air Ground Combat Center di California. Beberapa bulan berlalu, dan akhirnya, pada Juni 2012, setelah Korps Marinir menyetujui permohonan adopsinya, Jose dan istrinya bermobil selama tiga jam menuju pangkalan. Dengan kursi rodanya, dia menghampiri Zenit. Anjing itu menjilatinya hingga basah. “Saya tak bisa berhenti tersenyum,” kata Jose. “Selama berhari-hari. Sebenarnya sekarang pun saya masih tersenyum. Ini seolah-olah menjadi awal sebuah kehidupan baru.” !break!

Senja menyelimuti San Diego. Jose duduk di tepi kolam di rumahnya, minum bir, beristirahat dari kaki palsunya, melemparkan bola tenis pada Zenit. Jose tidak main-main dalam me­manjakannya. Bulu hitam kelam mengilap anjing German Shepherd itu berkilauan di bawah sinar matahari saat ia dengan riang mengejar setiap bola, lalu mengembalikannya kepada Jose, yang segera menepuk-nepuk dan memujinya, “Anjing pintar.”

“Untuk waktu yang lama, saya terus menyesali hari itu,” kata Jose. “Saya terus memikirkan ke­mungkinan lain yang bisa saya ambil. Sepertinya ranjau itu terletak jauh dari area yang disisir Zenit atau dikubur terlalu dalam. Mereka selalu mengatakan bahwa tidak seekor anjing pun bisa 100 persen akurat.”

Selama lebih dari setahun sejak peristiwa wadi, Jose belajar untuk berjalan menggunakan kaki barunya. “Dia selalu penuh canda dan sangat bersemangat,” kata ahli terapi fisiknya, Dawn Golding.

Dia belajar berlayar dan bermain ski, dan telah menjelajahi Colorado dan Alaska. Dia bekerja sebagai koordinator patroli polisi militer, sejak pukul empat pagi hingga satu siang. Istrinya yang tengah hamil muda me­nyambutnya di rumah, dan mereka membawa Zenit ke pantai. “Ia mitra diam saya,” kata Jose. “Ia menjembatani tiga dunia: saya sebelum Afganistan, saya ketika di sana, dan saya sesudahnya. Saya pernah bercanda, kalau dia mati, saya akan mengisinya dengan kapas dan menaruhnya di ranjang. Tetapi, sungguh, saya tak bisa mem­bayangkannya. Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan kalau hal itu benar-benar terjadi.”

Jose—seorang saudara, suami, dan calon ayah—merentangkan lengan dan melempar bola, yang membubung ke langit malam. Sebelum bola itu memantul untuk kedua kalinya, Zenit telah menggondolnya, lalu berlari mengembalikannya kepada tuannya.