Anjing Perang

By , Senin, 19 Mei 2014 | 10:21 WIB

Tidak semua anjing militer cocok untuk dibawa bertempur. Sebagian di antaranya loyo pada suhu yang panas, atau terlalu bersemangat saat mendengar tembakan atau ledakan. Se­bagian lainnya terlalu setia, terlalu malas, terlalu suka bermain. Masing-masing anjing memiliki dunia sendiri yang terkadang unik. Tetap saja, jenis-jenis tertentu biasanya lebih baik daripada yang lain di medan perang, misalnya anjing German Shepherd, Labrador Retriever, dan terutama Belgian Malinois, yang terkenal gagah berani, terkendali, dan tahan panas.

Tetapi, kesuksesan satu jenis anjing di lingkungan yang satu tidak menjamin ke­suksesan di lingkungan lainnya. Sejarah me­nyebutkan bahwa setiap situasi perang me­merlukan jenis anjing dan taktik berbeda. Selama Perang Dunia I, kedua pihak yang bersengketa menjadikan puluhan ribu anjing sebagai kurir. Dalam Perang Dunia II, Marinir AS mengirim anjing ke kepulauan di Pasifik untuk mengendus posisi Jepang. Di Vietnam, sekitar 4.000 ekor anjing memimpin patroli hutan, menyelamatkan sangat banyak nyawa.

Ketika perang melawan Afganistan dan Irak memanas, angkatan bersenjata AS memiliki sekitar 2.500 anjing pekerja militer.

Ikatan sepanjang hayat antara anjing dan tuan­nya merupakan intisari dari kekaguman kami terhadap tim-tim ini: Ketergantungan manusia pada keunggulan indra binatang—anjing 100.000 kali lebih awas penciumannya daripada manusia. Keseriusan pawang bertolak belakang dengan kegembiraan si anjing yang menganggap perburuan dengan permainan adalah sama. Keikhlasan dan kesetiaan pawang dan anjingnya dalam membahayakan diri—yang satu secara sadar dan yang lain tanpa sadar, untuk menyelamatkan nyawa orang lain.

Secara umum, birokrasi militer menganggap anjing pekerja sebagai alat, sesuatu yang dipahami Jose ketika pertama kali melihat nomor identitas Zenit—N103—yang ditato di telinganya. Setelah sesi pelatihan mereka di Okinawa, Jose selalu mengembalikan Zenit ke tempat penampungan sebagaimana protokol yang berlaku, dan dia tahu bahwa dirinya harus tetap bertindak sebagai alfa dalam hal sikap dan tindakan. “Anjing bisa disamakan dengan batita,” kata Ahli Persenjataan Marinir Sersan Kristopher Knight, yang melatih Jose dan Zenit di Yuma Proving Ground, Arizona. “Mereka harus diperintah. Mereka harus tahu bahwa kebutuhan primer mereka—oksigen, makanan, air—dipenuhi. Dua beta tidak akan pernah berhasil. Salah satunya harus menjadi alfa, dan peran itu harus dipegang oleh si pawang.”

Sesungguhnya, hingga peristiwa di Afganistan pada suatu hari di bulan Agustus 2011 itu tiba, Jose akan mengulang siklusnya. Jika Zenit menginjak bom rakitan dan terbunuh, Jose yakin dirinya tidak akan menitikkan air mata. Hubungan mereka profesional dan harus tetap demikian. Jika Zenit mati dalam ledakan, Jose akan memulai lagi dari awal dengan anjing lain. !break!

Jose Armenta tumbuh menjadi sosok tegar karena tidak ada yang mudah baginya. Keluarganya tinggal di East Los Angeles, tempat orang tuanya terlibat dengan geng dan berpisah ketika dia masih kecil. Ibunya, yang berdarah Puertoriko, sebisa mungkin mengasuh anak-anaknya; ayahnya, yang berasal dari Meksiko, datang dan pergi. Salah satu ingatan awal masa kecil Jose adalah kecelakaan mobil yang membunuh adik perempuannya. Umurnya lima tahun saat itu; adiknya empat tahun. Sewa rumah mereka kerap terlambat dilunasi, dan kadang-kadang keluarganya pindah begitu saja ke rumah lain, sekolah lain—semuanya ber-15. Dia selalu menjadi anak baru, orang luar. Saat duduk di SMA, dia tinggal di garasi rumah, ditemani musik heavy metal.

Tetapi, pemberontakan Jose yang paling ekstrem sekalipun masih relatif jinak: mem­bolos, minum bir, merokok, bermain video game. Hidup di dunia keras yang berisi anggota geng dan orang-orang yang ingin menjadi anggota geng, baku tembak, jual beli narkoba, membuatnya ingin melarikan diri. Yang di­dambakannya adalah kebalikannya: Dia ingin menjadi marinir.

Pada Juli 2007, di usianya yang ke-18, dia men­daftarkan diri dan diterima di Camp Pendleton. Jose, yang tumbuh dewasa tanpa pegangan dan agama, segera jatuh cinta pada tradisi dan ritual kuat dunia militer. Setelah lulus dari kamp pelatihan, dia memilih pelatihan polisi militer, dan akhirnya dikirim ke pangkalan AS di Okinawa. Sebagai bintang kelas, dia juga diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan sebagai pawang anjing di Lackland.

Jose selalu mencintai anjing. Selama masa kecilnya yang penuh masalah, anjing menjadi penyeimbang. Dia pernah memelihara Dalmatian, Pit Bull, dan campuran Peking-Chow-Chow bernama Bandit. Tetapi, Jose mengerti bahwa anjing militer adalah alat yang harus dikuasainya, seperti halnya teknisi yang harus menguasai sonar di kapal selam.

Selain langsung jatuh cinta pada pekerja­annya, Jose juga terinspirasi oleh tujuan lebih lanjutnya. Penemuan satu bom di lapangan akan menyelamatkan beberapa nyawa.

Kesan pertama Zenit di mata Jose adalah terlalu manis dan agak nakal, masih menyimpan energi melimpah anak anjing. Jose sudah me­mawangi seekor anjing berjenis Malinois, namun dia bersemangat mencoba anjing gembala dan memilih Zenit sendiri.