Anjing Perang

By , Senin, 19 Mei 2014 | 10:21 WIB

Kopral Marinir Jose Armenta berada di tendanya malam sebelum terkena ledakan ranjau di Afganistan. Dia memberi makan dan minum Zenit, anjing German Shepherd berbulu hitam. Lalu, dia membawanya keluar dan melatihnya di bawah sinar yang meredup di gurun antah berantah berselimut debu.

Ini momen paling membahagiakan bagi mereka. Jose memerintahkan Zenit duduk, yang dipatuhi si anjing. Kemudian Jose berlari sejauh 50 meter dan menyembunyikan sebuah mainan karet di dekat tembok lempung, menimbunnya dengan tanah. Mengikuti perintah Jose, Zenit sontak berlari, mencari-cari ke sana kemari, mengibaskan ekornya. Berbagai perintah diikuti aksi tepat oleh si anjing, dengan tujuan akhir yang selalu sama—menemukan mainan. Besok, saat berpatroli, tujuan mereka bukan mencari mainan, melainkan bom rakitan, salah satu senjata Taliban yang paling brutal dan efektif dalam melawan pasukan Amerika.

Selama tiga bulan terakhir, Jose ditempatkan di Pangkalan Patroli Alcatraz, di pinggir kota bernama Sangin di Provinsi Helmand, tanpa pernah memperoleh “temuan”. Kendati dia selalu optimistis—senyum lepas selalu tersungging di wajahnya—nihilnya temuan mulai melelahkannya. Begitu pula suhu 37oC, yang terasa kian menyengat berkat peralatan seberat 35 kilogramnya.

Saat itu, Agustus 2011, misi di Sangin adalah mengamankan Bendungan Kajaki yang berketinggian 97,5 meter agar Taliban tidak meledakkannya, membanjiri Lembah Helmand. Para marinir dari Third Recon, dalam kelompok-kelompok beranggotakan belasan orang, bergantian mematahkan aksi musuh, memetakan kantong-kantong aktif pejuang Taliban. Jose dan Zenit pada praktiknya diminta mendampingi semua misi. Setiap kali meninggalkan pangkalan, dia dan Zenit berjalan di depan bersama marinir yang membawa detektor logam. Ini menjadikan mereka target pertama saat Zenit menyisir seluruh area untuk mencari aroma nitrat, sebagai pertanda keberadaan bom rakitan di bawah tanah.

Di tempat ini khususnya, ancaman adalah hal nyata. Sangin dipenuhi bom rakitan. Banyak pejuang musuh bersembunyi di balik tembok lempung tebal. Di sinilah angkatan bersenjata Inggris, sebelum ditarik seluruhnya dari Sangin pada 2010, kehilangan lebih dari seratus prajurit. Sejak itu, Sangin menjadi kuburan bagi banyak prajurit Amerika, dan di sana jugalah sekian banyak tentara AS mengalami cedera berat yang menyebabkan cacat permanen.

Kerisauan inilah yang coba ditepis oleh pawang anjing perang: risiko yang berkaitan dengan penemuan bom dan ke­mungkinan me­lewatkannya. Di pangkalan kadang terdengar ledakan di kejauhan, dipicu oleh kambing atau penduduk desa yang kurang waspada. Kadang-kadang, penduduk yang panik membawa bocah bersimbah darah ke Alcatraz untuk meminta pertolongan medis. Dan kabar terbaru tentang dua orang pawang, Jeremy dan Jasco, yang berasal dari satu grup keberangkatan dengan Jose, tidak enak didengar. Keduanya terkena ledakan dan kehilangan kaki. Jose punya pendapat jelas tentang ini: Dia lebih memilih mati daripada kehilangan anggota tubuh atau organ vital. Dia lebih suka mati daripada men­jadi manusia cacat. Maka, sebagaimana dua tahun terakhir, Jose melakukan yang perlu dilakukan untuk menepis rasa takut itu: Melatih anjingnya, menjalankan tugasnya, memasrahkan semuanya pada takdir. !break!

Keesokan paginya, 28 Agustus, Third Recon mengetahui bahwa Taliban telah bergerak. Alcatraz berada di tanjakan di tengah ladang jagung, tidak jauh dari wadi—sungai kering—dan intel yakin bahwa bom rakitan telah ditanam di sekeliling tempat itu. “Ledakan terjadi setiap hari. Kami menyadari bahwa ini adalah tindakan yang sangat berisiko,” ujar Sersan Ryan Mulrooney.”

Maka, untuk pertama kalinya sejak ditugaskan ke Afganistan, Jose mengenakan “celana dalam antiledak”, pakaian dalam berbahan Kevlar untuk mengurangi risiko kerusakan alat kelamin. Ia juga mengenakan helm berkamera, berharap dapat mendokumentasikan temuan pertamanya. Kemudian dia memasang infus untuk Zenit agar anjing itu tetap terhidrasi di udara yang panas.

Tim mereka keluar pada pukul 10 pagi. Jarak orang yang berada di depan dan belakangnya, adalah lima hingga tujuh meter. Jose menduga suhu saat itu telah mencapai 49°C. Marinir itu perlahan-lahan menuruni bukit, dan ketika mereka tiba di jalan raya 611, Jose merasakan adrenalinnya mengalir deras. Mulutnya terasa kering saat dia memerintah Zenit, mengarahkan setiap gerakan anjing itu.

Timnya berbelok ke ladang jagung untuk menghindari jalan, hingga mereka tiba di wadi, yang sejajar dengan jalan raya. Dalamnya 2,5 meter dan lebarnya tiga meter. Jose memandu Zenit dari satu tepi ke tepi lainnya. Mulrooney, yang memegang detektor logam, berseru, “Sepertinya ada satu di sini.” Jose menghampiri, menatap gundukan tanah yang memperlihatkan seutas kabel, lalu tersenyum dan berkata kepada Mulrooney, “Yup.” Komandan tim diberi tahu. Jose terus maju, melihat ranjau lain, dan berseru. Mencurigai adanya pola, dia memerintah Zenit menjelajahi sisi lain wadi, tempat anjing itu terpaku, mengibaskan ekor, dan sibuk mengendus. Perubahan perilaku menandai lokasi. Setelah hampir seratus hari mencari, tim mereka akhirnya menemukan bom rakitan.

Jose menyadari bahwa dia harus tetap tenang agar Zenit bisa berkonsentrasi, tetapi bagaimana mungkin? Komandan diberi tahu lagi. Jose dan Zenit terus menyisir wadi di tengah panas mematikan. Matahari menyengat para prajurit yang berjalan perlahan dalam formasi, mengikuti jejak yang telah terbentuk, menggunakan krim cukur untuk menandai titik yang aman. Mereka menemukan bom rakitan ketiga. Dasar sungai dipenuhi ranjau—tetapi di manakah yang berikutnya? Dia dan Zenit-lah yang bertanggung jawab mencarinya. !break!

Zenit—anjing German Shepherd berbobot 35 kilogram dengan kecintaan menggebu-gebu pada permainan ambil bola—lahir pada hari Halloween, 31 Oktober 2007. Ia dibiakkan oleh seorang kontraktor swasta di Eropa, yang memberikan nama uniknya. Setelah menjalani rangkaian panjang tes kesehatan, Zenit dibeli oleh angkatan bersenjata AS setelah ulang tahun pertamanya, dan dikirim ke tempat penampungan di Pangkalan Angkatan Udara Lackland, San Antonio. Di sana, anjing-anjing pekerja dilatih oleh Skuadron Pelatihan 341. Anjing-anjing itu menjalani jadwal yang padat setiap hari, hanya dilepaskan pada jam-jam tertentu untuk makan dan minum, berolah raga, dan berlatih. Selama masa pelatihan inilah pihak marinir mengevaluasi peran yang sesuai untuk si anjing: patroli, pendeteksi, atau pelacak. Walaupun angkatan bersenjata menolak untuk berbicara tentang anjing-anjing itu secara individu, catatan menunjukkan bahwa Zenit berada di penampungan Lackland selama 13 bulan. Karena anjing memiliki rentang perhatian pendek, setiap ilmu hanya diajarkan selama satu atau dua jam sehari, dengan beberapa sesi yang hanya berlangsung tiga hingga lima menit. Pada akhir pelatihan, Zenit memperoleh sertifikat deteksi ranjau dan patroli.

Namun, ketika Zenit yang telah berumur dua tahun akhirnya dipasangkan dengan Jose di Okinawa, Jepang, pada 2010, anjing ini bisa dibilang masih sangat mentah. Jika dibandingkan dengan penugasannya bersama anjing sebelumnya, Jose merasakan tekanan ekstra untuk berhasil bersama Zenit.

Tidak semua anjing militer cocok untuk dibawa bertempur. Sebagian di antaranya loyo pada suhu yang panas, atau terlalu bersemangat saat mendengar tembakan atau ledakan. Se­bagian lainnya terlalu setia, terlalu malas, terlalu suka bermain. Masing-masing anjing memiliki dunia sendiri yang terkadang unik. Tetap saja, jenis-jenis tertentu biasanya lebih baik daripada yang lain di medan perang, misalnya anjing German Shepherd, Labrador Retriever, dan terutama Belgian Malinois, yang terkenal gagah berani, terkendali, dan tahan panas.

Tetapi, kesuksesan satu jenis anjing di lingkungan yang satu tidak menjamin ke­suksesan di lingkungan lainnya. Sejarah me­nyebutkan bahwa setiap situasi perang me­merlukan jenis anjing dan taktik berbeda. Selama Perang Dunia I, kedua pihak yang bersengketa menjadikan puluhan ribu anjing sebagai kurir. Dalam Perang Dunia II, Marinir AS mengirim anjing ke kepulauan di Pasifik untuk mengendus posisi Jepang. Di Vietnam, sekitar 4.000 ekor anjing memimpin patroli hutan, menyelamatkan sangat banyak nyawa.

Ketika perang melawan Afganistan dan Irak memanas, angkatan bersenjata AS memiliki sekitar 2.500 anjing pekerja militer.

Ikatan sepanjang hayat antara anjing dan tuan­nya merupakan intisari dari kekaguman kami terhadap tim-tim ini: Ketergantungan manusia pada keunggulan indra binatang—anjing 100.000 kali lebih awas penciumannya daripada manusia. Keseriusan pawang bertolak belakang dengan kegembiraan si anjing yang menganggap perburuan dengan permainan adalah sama. Keikhlasan dan kesetiaan pawang dan anjingnya dalam membahayakan diri—yang satu secara sadar dan yang lain tanpa sadar, untuk menyelamatkan nyawa orang lain.

Secara umum, birokrasi militer menganggap anjing pekerja sebagai alat, sesuatu yang dipahami Jose ketika pertama kali melihat nomor identitas Zenit—N103—yang ditato di telinganya. Setelah sesi pelatihan mereka di Okinawa, Jose selalu mengembalikan Zenit ke tempat penampungan sebagaimana protokol yang berlaku, dan dia tahu bahwa dirinya harus tetap bertindak sebagai alfa dalam hal sikap dan tindakan. “Anjing bisa disamakan dengan batita,” kata Ahli Persenjataan Marinir Sersan Kristopher Knight, yang melatih Jose dan Zenit di Yuma Proving Ground, Arizona. “Mereka harus diperintah. Mereka harus tahu bahwa kebutuhan primer mereka—oksigen, makanan, air—dipenuhi. Dua beta tidak akan pernah berhasil. Salah satunya harus menjadi alfa, dan peran itu harus dipegang oleh si pawang.”

Sesungguhnya, hingga peristiwa di Afganistan pada suatu hari di bulan Agustus 2011 itu tiba, Jose akan mengulang siklusnya. Jika Zenit menginjak bom rakitan dan terbunuh, Jose yakin dirinya tidak akan menitikkan air mata. Hubungan mereka profesional dan harus tetap demikian. Jika Zenit mati dalam ledakan, Jose akan memulai lagi dari awal dengan anjing lain. !break!

Jose Armenta tumbuh menjadi sosok tegar karena tidak ada yang mudah baginya. Keluarganya tinggal di East Los Angeles, tempat orang tuanya terlibat dengan geng dan berpisah ketika dia masih kecil. Ibunya, yang berdarah Puertoriko, sebisa mungkin mengasuh anak-anaknya; ayahnya, yang berasal dari Meksiko, datang dan pergi. Salah satu ingatan awal masa kecil Jose adalah kecelakaan mobil yang membunuh adik perempuannya. Umurnya lima tahun saat itu; adiknya empat tahun. Sewa rumah mereka kerap terlambat dilunasi, dan kadang-kadang keluarganya pindah begitu saja ke rumah lain, sekolah lain—semuanya ber-15. Dia selalu menjadi anak baru, orang luar. Saat duduk di SMA, dia tinggal di garasi rumah, ditemani musik heavy metal.

Tetapi, pemberontakan Jose yang paling ekstrem sekalipun masih relatif jinak: mem­bolos, minum bir, merokok, bermain video game. Hidup di dunia keras yang berisi anggota geng dan orang-orang yang ingin menjadi anggota geng, baku tembak, jual beli narkoba, membuatnya ingin melarikan diri. Yang di­dambakannya adalah kebalikannya: Dia ingin menjadi marinir.

Pada Juli 2007, di usianya yang ke-18, dia men­daftarkan diri dan diterima di Camp Pendleton. Jose, yang tumbuh dewasa tanpa pegangan dan agama, segera jatuh cinta pada tradisi dan ritual kuat dunia militer. Setelah lulus dari kamp pelatihan, dia memilih pelatihan polisi militer, dan akhirnya dikirim ke pangkalan AS di Okinawa. Sebagai bintang kelas, dia juga diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan sebagai pawang anjing di Lackland.

Jose selalu mencintai anjing. Selama masa kecilnya yang penuh masalah, anjing menjadi penyeimbang. Dia pernah memelihara Dalmatian, Pit Bull, dan campuran Peking-Chow-Chow bernama Bandit. Tetapi, Jose mengerti bahwa anjing militer adalah alat yang harus dikuasainya, seperti halnya teknisi yang harus menguasai sonar di kapal selam.

Selain langsung jatuh cinta pada pekerja­annya, Jose juga terinspirasi oleh tujuan lebih lanjutnya. Penemuan satu bom di lapangan akan menyelamatkan beberapa nyawa.

Kesan pertama Zenit di mata Jose adalah terlalu manis dan agak nakal, masih menyimpan energi melimpah anak anjing. Jose sudah me­mawangi seekor anjing berjenis Malinois, namun dia bersemangat mencoba anjing gembala dan memilih Zenit sendiri.

Anjing pekerja baru di Marinir belajar mencari bom rakitan dalam langkah-langkah kecil. Setelah menguasai kepatuhan dasar, mereka diajari mengenali berbagai aroma yang berhubungan dengan bahan peledak, termasuk amonium nitrat, yang jamak digunakan dalam pembuatan ranjau darat di Afganistan. Kemudian, mereka memulai latihan yang disebut “memburu burung”, untuk memungkinkan pawang mengarahkan gerakan anjing dari jarak jauh.

Awalnya, pawang melepas anjing dan me­merintahkannya bergerak ke arah “pelontar burung”, katapel berpengendali jarak jauh ber­peluru bola tenis. Kepatuhan pada perintah suara dan sinyal tangan adalah hal krusial dan sering kali sulit didapatkan. Saat anjing men­dekati pelontar, pawang meluncurkan bola ke udara. Anjing mengejar dan mengembalikan bola itu ke pawang, yang memuji-muji dan menepuk-nepuknya.

Begitu anjing lebih mahir mengikuti perintah, pawang mulai menyembunyikan benda-benda beraroma aneka ragam bahan peledak di sekitar tempat latihan. Dengan terus-menerus menggerakkan pelontar dan menyebarkan aroma ke jarak dekat dan jauh, anjing semakin terbiasa mencari di area yang luas dan mem­peringatkan pawang saat mengendus apa pun yang beraroma mirip bahan peledak.

Akhirnya tidak ada pelontar burung dan bola tenis, hanya aroma. Setelah menemukan masing-masing satu aroma, anjing dipanggil dan dihadiahi mainan. Pencarian bom rakitan adalah permainan—mengidentifikasi aroma untuk mendapatkan mainan.

Zenit anjing pencari penuh semangat—dan mitra sempurna. Pada musim gugur 2010, pasangan ini terpilih untuk penugasan. Mereka dikirim ke Yuma Proving Ground untuk menjalani pelatihan akhir selama tiga pekan sebagai kristalisasi atas semua yang diperlukan pawang dan anjingnya di medan perang dan untuk menjalani ujian terakhir. Di sebuah desa Afgan palsu, seorang pawang dan anjingnya harus mencari ranjau-ranjau yang ditata dengan rumit. Sebagian di antaranya diberi aroma agar terendus anjing. Sebagian lainnya tidak beraroma, namun dibiarkan terpajan agar pawang melihatnya. Jika sebagai tim mereka dapat menemukan lebih dari 80 persen ranjau, pasangan itu mendapatkan persetujuan final untuk terjun ke medan perang.

“Jose mirip anak jalanan East L.A. waktu masuk korps,” kata salah seorang atasannya, Sersan Alfred Nieto. “Tapi dia dan Zenit benar-benar mengenali pekerjaan mereka—itu tidak perlu diragukan. Menurut saya mereka tumbuh bersama-sama.”

Setelah menyelesaikan pelatihan di Yuma, keduanya menumpang pesawat pengangkut, menginap semalam di Jerman, lalu terbang ke pangkalan utama Marinir, Kamp Leatherneck di Afganistan. Dari sana, Jose dan Zenit dikirim ke Alcatraz. Jika sebelumnya mereka berada di desa Afgan fiktif di tengah gurun pasir Arizona, kali ini mereka berada di lokasi yang nyata, Provinsi Helmand, tanpa sanak saudara. !break!

Tiga bulan berlalu. Saat ini mereka berada di wadi di luar Sangin, dikelilingi bom rakitan. Semakin banyak ranjau yang ditemukan, bergantian antara Mulrooney dan Jose dan Zenit. Aku menemukan satu... Di sini.... Yup.

Jose yakin telah mendapatkan pola. Tampak­nya Taliban mengubur ranjau di jalur-jalur akses menuju wadi, dengan asumsi pasukan Amerika akan merasa lebih aman jika terlindung dari pandangan di dasar sungai kering itu daripada di lapangan terbuka. Semua terjadi dengan sangat cepat saat itu. Jose menarik napas dalam-dalam untuk menekan kegelisahan dan menjaga agar konsentrasinya tidak buyar.

Penciuman anjing biasanya bekerja paling baik—atau paling sensitif—dalam cuaca yang sejuk dan tenang. Aroma menjadi lebih tajam pada suhu yang lebih tinggi, dan angin dapat mengikis dan mengurainya di tempat yang luas, menyamarkan sumbernya. Kabar baiknya: Di bawah sini tidak ada angin. Tetapi saat itu tengah hari, kering kerontang, dan begitu panas sampai-sampai Jose bisa mengecap garam dalam keringat yang mengucur ke bibirnya.

Zenit berlari ke seberang, mengikuti perintah Jose, menegakkan telinga, mengais-ngais tanah, turut gelisah. Anjing itu mencari semua aroma yang akan memberinya mainan. Di manakah aroma itu?

Ada seruas jalan setapak dari tanggul menuju wadi, dan Zenit melewatinya tanpa me­nunjukkan perubahan tingkah. Jose mengikuti dari jauh, mengukur langkahnya sendiri. Para prajurit lainnya mengikutinya, menandai rute yang mereka lewati berdasarkan petunjuk Jose, dengan krim cukur.

Di jalan setapak itu, dia berbelok dari area yang kerap dilewati dan mendaki tanjakan pendek. Dia mengambil satu langkah, lalu satu lagi. Ketika itulah bumi berguncang, dan ledakan membahana memekakkan telinganya.

Ketika membuka mata, Jose sudah terkapar. Yang dapat dilihatnya hanya langit. Dia ter­lempar sejauh enam meter kembali ke wadi. Dia tahu betul apa yang terjadi, namun tidak bisa memahaminya. Mulutnya penuh tanah, dan tubuhnya menjerit, seolah-olah terbakar. Dia tidak bisa bernapas. Mulrooney yang pertama menghampirinya dan memotong rompinya. Jose terus mengulang, “Aku gagal. Apa kakiku masih ada?” Kemudian: “Di mana Zenit?” Mulrooney menjawab, “Kau tidak apa-apa, kau akan baik-baik saja.”

Ada prosedur untuk menangani seseorang yang terkena ‘got’—istilah mereka untuk kejadian seperti ini. Para marinir mengamankan area; paramedis memasang T-POD—pembalut tekan di pinggang untuk menghentikan per­darahan—pada Jose; Buyes memanggil heli­kopter; dan semua orang berjuang untuk me­ngalahkan “waktu emas”, kurun waktu yang di­upayakan dalam memindahkan prajurit yang terluka dari medan perang untuk meningkatkan peluangnya bertahan hidup.

Tetapi, helikopter terdekat tengah me­nerbangkan marinir lainnya yang juga cedera dan butuh waktu dua jam untuk tiba. Jose telah kehilangan banyak darah, namun entah bagaimana tetap sadar, memanggil-manggil Zenit. Anjing itu, yang berjarak enam meter dari ledakan, menyadari bahwa ada yang salah. Zenit ada di samping Jose. Anjing itu terbaring berbantalkan kaki depannya sendiri. Dia tetap diam di situ ketika paramedis berusaha menyelamatkan Jose sebelum helikopter tiba. Menurut protokol, pawang beserta anjingnya harus dinaikkan ke helikopter dan dipindahkan dari lokasi ledakan. !break!

Seberkas cahaya di kejauhan—Jose mengingatnya. Dia ingat saat dirinya melayang menghampiri cahaya itu, didorong keletihan yang mendera. Dia berada di helikopter. Dia ingat saat merasakan Zenit di dekatnya. Dia ingat saat memikirkan ketiga adiknya, tunangannya, lalu adiknya yang telah meninggal. Dia ingat saat dirinya berpaling dari cahaya itu, mengusir kantuknya, kemudian kembali memasuki tubuhnya.

Dia terbangun di Jerman, dan sepuluh hari kemudian terbangun lagi di rumah sakit Walter Reed. Dia harus menjalani 12 operasi, dipindahkan ke Naval Medical Center di San Diego. Kedua kakinya diamputasi di atas lutut. Dia tertidur hingga 20 jam sehari selama sebulan. Dia terbangun dengan tubuh gemetar, memanggil Zenit, dan teringat bahwa N103 tidak menemaninya pulang, tetapi ditugaskan kembali bersama seorang pawang baru, juga berdasarkan protokol.

“Saya marah,” kata Jose. “Dan iri. Saya tidak pernah menyalahkan Zenit atas apa yang telah terjadi. Kami tim. Jika ada yang bersalah, sayalah orangnya. Saya hanya menginginkan anjing saya.”

Dengan kata lain, sepertinya, mereka berdua merupakan alat, hingga yang satu tidak berfungsi lagi. Di Afganistan, Zenit dikembalikan ke Kamp Leatherneck, untuk segera mengikuti uji coba validasi dengan pawang lain dan menjalani patroli hingga lebih dari 50 kali bersama unit-unit lain. Ia pernah sekali lagi menemukan bom rakitan.

Di rumah, bulan-bulan setelah operasi, Jose menunggu luka-lukanya sembuh, kemudian berolah raga untuk menguatkan badan dan yang tersisa dari kakinya. Dia diberi kaki palsu tanpa sendi lutut agar dapat mempelajari cara menyeimbangkan badan dan berdiri—dan membiasakan diri terhadap tekanan di kakinya. Beberapa waktu kemudian dia menerima kaki palsu bersendi lutut agar dapat belajar untuk berjalan lagi.

Pemulihan fisik adalah satu hal; pemulihan mental adalah masalah yang benar-benar berbeda. Istri Jose, Eliana, yang dinikahinya enam bulan setelah kecelakaan, mengingat beberapa hari yang sangat gelap: Jose, pada usianya yang ke-24, duduk di kursi roda di dalam rumah dengan tirai tertutup, berusaha berdamai dengan kehidupan barunya. “Saya berubah dari pejuang gagah berani menjadi pemuda berkursi roda,” kata Jose. “Mengubah pikiran tidak semudah membalikkan telapak tangan. Saya yakin itu.”

Sementara itu, Jose berniat mendapatkan Zenit kembali. “Ia bagaikan perisai usang saya,” katanya. “Semua goresan punya cerita. Dan tanpanya semua terasa salah.” Bukan hanya Jose yang merasakan kehampaan itu. Beberapa pawang yang cedera berhasil mengadopsi anjing mereka setelah binatang-binatang itu dibebastugaskan. Pawang-pawang lainnya mulai meminta anjing mereka walaupun binatang itu masih aktif bertugas.

Tidak ada program militer formal untuk menyatukan kembali anjing dengan pawang mereka yang cedera, dan beberapa pawang menganggap proses ini rumit sekaligus membuat frustrasi justru ketika mereka membutuhkan kejelasan. Jose sendiri harus menelepon banyak pihak dan menyiapkan banyak dokumen, kemudian tersiksa menunggu selama berbulan-bulan.

Akhirnya Zenit dikirim ke Marine Corps Air Ground Combat Center di California. Beberapa bulan berlalu, dan akhirnya, pada Juni 2012, setelah Korps Marinir menyetujui permohonan adopsinya, Jose dan istrinya bermobil selama tiga jam menuju pangkalan. Dengan kursi rodanya, dia menghampiri Zenit. Anjing itu menjilatinya hingga basah. “Saya tak bisa berhenti tersenyum,” kata Jose. “Selama berhari-hari. Sebenarnya sekarang pun saya masih tersenyum. Ini seolah-olah menjadi awal sebuah kehidupan baru.” !break!

Senja menyelimuti San Diego. Jose duduk di tepi kolam di rumahnya, minum bir, beristirahat dari kaki palsunya, melemparkan bola tenis pada Zenit. Jose tidak main-main dalam me­manjakannya. Bulu hitam kelam mengilap anjing German Shepherd itu berkilauan di bawah sinar matahari saat ia dengan riang mengejar setiap bola, lalu mengembalikannya kepada Jose, yang segera menepuk-nepuk dan memujinya, “Anjing pintar.”

“Untuk waktu yang lama, saya terus menyesali hari itu,” kata Jose. “Saya terus memikirkan ke­mungkinan lain yang bisa saya ambil. Sepertinya ranjau itu terletak jauh dari area yang disisir Zenit atau dikubur terlalu dalam. Mereka selalu mengatakan bahwa tidak seekor anjing pun bisa 100 persen akurat.”

Selama lebih dari setahun sejak peristiwa wadi, Jose belajar untuk berjalan menggunakan kaki barunya. “Dia selalu penuh canda dan sangat bersemangat,” kata ahli terapi fisiknya, Dawn Golding.

Dia belajar berlayar dan bermain ski, dan telah menjelajahi Colorado dan Alaska. Dia bekerja sebagai koordinator patroli polisi militer, sejak pukul empat pagi hingga satu siang. Istrinya yang tengah hamil muda me­nyambutnya di rumah, dan mereka membawa Zenit ke pantai. “Ia mitra diam saya,” kata Jose. “Ia menjembatani tiga dunia: saya sebelum Afganistan, saya ketika di sana, dan saya sesudahnya. Saya pernah bercanda, kalau dia mati, saya akan mengisinya dengan kapas dan menaruhnya di ranjang. Tetapi, sungguh, saya tak bisa mem­bayangkannya. Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan kalau hal itu benar-benar terjadi.”

Jose—seorang saudara, suami, dan calon ayah—merentangkan lengan dan melempar bola, yang membubung ke langit malam. Sebelum bola itu memantul untuk kedua kalinya, Zenit telah menggondolnya, lalu berlari mengembalikannya kepada tuannya.