Daratan Franz Joseph

By , Rabu, 27 Agustus 2014 | 14:44 WIB

Feodor Romanenko mengangkat tangannya. "Dear colleagues," ujarnya menyapa rekan-rekannya dalam bahasa Inggris, dengan senyum jahilnya yang biasa, lalu dilanjutkannya dalam bahasa Prancis dengan aksen Rusia kental. Dua kata itu bukan satu-satunya kalimat bahasa Inggris yang dikuasainya, tetapi jelas itu favoritnya, sangat cocok untuk meminta perhatian kelompok multibangsa seperti kelompok kami ini. Rekan-rekan sekalian, saya usul kita sekarang mendaki ke sana, ujarnya, sambil menunjuk tebing curam penuh pecahan batu yang tidak stabil dan membahayakan. Rekan-rekan sekalian, dia sesumbar riang saat pertemuan malam, hari ini kelompok kami menemukan lima hal yang menakjubkan, termasuk dua jenis batuan basal! dan beberapa sedimen era Mesozoikum! serta bukti pencairan gletser baru-baru ini! Romanenko adalah ahli geomorfologi dari Universitas Negeri Moskwa, dan setelah 28 musim menjelajahi pantai dan pulau di Samudra Arktika, antusiasmenya terhadap pekerjaannya masih seperti anak kecil. Saat berjalan tertatih-tatih melintasi medan utara yang berat, dia menularkan keriangannya melakukan penelitian lapangan—melakukan pengamatan dari dekat, mencari pola, mengumpulkan data yang dapat membantu memecahkan berbagai misteri, salah satunya masalah es.

Bersama Romanenko, kami menuju utara ke Arktika Rusia, ke sebuah kepulauan yang dikenal sebagai Daratan Franz Josef. Meskipun bukan merupakan tujuan utama kami, masalah es mendasari banyak penelitian yang kami lakukan di sini. Sebetulnya ada tiga pertanyaan: Mengapa es abadi kini mencair? Berapa banyak es yang akan meleleh? Dan apa konsekuensinya terhadap ekologi? Dalam ekspedisi biologi ke daerah kutub, baik Arktika maupun Antartika, pada era perubahan iklim ini, masalah es selalu menjadi penting, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kami menggunakan pendekatan tidak langsung. Kami berangkat ke utara dari Mur­mansk menyeberangi Laut Barents, dengan peserta hampir 40 orang, anggota Pristine Seas Expedition 2013 ke Daratan Franz Josef, untuk melihat kepulauan terpencil ini dari berbagai sudut pandang—botani, mikrobiologi, iktiologi, ornitologi, dan sebagainya. Daratan Franz Josef terdiri atas 192 pulau, sebagian besar berupa sedimen Mesozoikum yang diselimuti lapisan basal berbentuk kolom. Tidak ada hunian per­manen manusia di tempat ini sejak zaman dahulu—sampai Soviet mendirikan stasiun penelitian dan pangkalan militer di beberapa pulau. Kehadiran Soviet berkurang hingga tinggal beberapa gelintir pada 1990-an. Tetapi, meningkatnya pencairan es, rute laut baru, dan pertimbangan ekonomi membangkitkan minat baru pemerintah Rusia terhadap daerah ini.

Selama sebulan kami berpindah-pindah di kepulauan itu, terbawa ke sana kemari oleh peluang dan cuaca, mendarat saat tidak ada bahaya beruang kutub. Kemudian, kami mengagumi walrus dan burung camar gading serta paus kepala busur, mengumpulkan data.!break!

Kami berada 800 mil laut (1.481 km) di utara Lingkaran Arktika. Kami menumpang kapal Polaris, bekas kapal wisata yang ruangannya dialihfungsikan menjadi laboratorium. Mikroskop bercokol di meja makan, sementara ruang pertemuan penuh dengan peralatan selam, termasuk pakaian termal untuk melindungi para penyelam dari air bersuhu minus 1°C. Tim tersebut beranggotakan orang Rusia, Amerika, Spanyol, Inggris, serta satu warga Australia, dan dua orang Prancis.

Setiap hari, sebagian anggota mendarat ke pulau yang terakhir ditemui di dekat tempat kami berlabuh, untuk menjelajah, menandai burung, menghitung walrus, atau mengumpulkan ta­naman, sementara yang lain menyelam ke air dingin untuk menginventarisasi mikroba, ganggang, in­vertebrata, dan ikan laut. Kadang perjalanan yang kami tempuh sangat panjang, tetapi kami selalu kembali ke kapal sebelum gelap, karena malam tak kunjung datang. Matahari tidak pernah tenggelam; hanya berputar tanpa akhir di langit utara. Waktu penyelaman singkat karena suhunya luar biasa dingin. Perspektif Feodor Romanenko sangat penting bagi tim kami, bukan hanya untuk ilmu pengetahuan, melainkan juga moril, lantaran dia memadukan geologi dan semangat kejuangan.

Romanenko mengenakan topi bulu yang menutupi telinga, rompi oranye berkilau, celana kedap air, dan menenteng senapan tabur. Ia terlihat seperti pemburu burung yang ramah dari sebuah kota kecil. Peralatan penting lain yang dimilikinya adalah sekop tanah. Katerina Garankina, salah satu mahasiswa Ph.D. bimbingan Romaneko dari Universitas Negeri Moskwa, berambut merah dan terbiasa bekerja di lapangan, membantunya membuat profil geomorfologi kepulauan tersebut. Michael Fay, bagian botani, selalu menyertai kegiatan harian mereka ke darat karena, sebagaimana Romanenko, dia memiliki hasrat berjalan kaki yang tak kunjung padam. Perjalanan survei fenomenal Fay sepanjang 4.800 kilometer melintasi hutan di Afrika Tengah ("Megatransect", Oktober 2000, dan dua artikel setelahnya) bukanlah perjalanan perdana atau terakhirnya melintasi alam belantara, dan sekarang pada usia 58 tahun—waktunya terbagi antara mendiami pondok di Alaska dan pekerjaan konservasi dengan pemerintah Gabon—dia masih tetap tidak bisa diam dan tidak sabar untuk melenggang kaki ke alam liar.!break!

Fay baru pertama kali melihat sebagian besar tumbuhan Arktika. Namun, pada sore pertama kami mendarat di Daratan Franz Josef, saya melihat dia mengidentifikasi belasan tanaman berbunga setidaknya sampai genusnya. Setiap tanaman hanya beberapa daun kecil di antara batu dan lumut, dengan hiasan bunga kuning atau merah di puncak batangnya.

Sekarang, sembilan hari kemudian di sebuah pulau bernama Payer, Fay kembali berlutut dan menunduk lagi, sambil menyipitkan mata, menghitung kelopak dan karpel serta mengambil foto. Dia sudah mencatat 12 spesies di bukunya pada saat Romanenko dan Garankina selesai mengukur teras pantai yang terbentuk oleh hempasan ombak.

Teras laut tua seperti ini terbentuk di Payer dan tempat lainnya karena Daratan Franz Josef beberapa kali mengalami kenaikan tektonik selama kala Pleistosen akhir serta beberapa alaf terakhir. Kenaikan totalnya, di beberapa bagian kepulauan ini, mencapai lebih dari 90 meter. Kepulauan yang berada di tepi utara lempeng Eurasia ini kini semakin tinggi di atas permukaan air.

Kenaikan ini terdorong oleh kekuatan tekto­nik, dan dalam kadar tertentu, oleh hilangnya es. Seiring mencairnya gletser, massanya menyusut, beratnya turun, dan tanah di bawahnya cen­derung mumbul, seperti lekukan sofa yang naik setelah diduduki. Jadi, bentuk bentang alam itu sendiri, dan jelas termasuk pula bentuk ekosistem yang didukungnya, sebagian ditentukan oleh ada atau tidaknya es.

Sejak tim mendarat di pantai Payer, saya sibuk mengagumi bebungaan Fay dan membuat beberapa catatan, sampai mendengar suara Romanenko yang memberi tahu kami bahwa ada seekor beruang kutub, besar dan gagah, siluetnya terlihat di punggung bukit di sebelah barat. Beruang itu tampaknya tidak menyadari kehadiran kami, tetapi kami harus tetap waspada. Saat berjalan, kepalanya yang kecil menjorok maju, sementara otot lehernya yang panjang bergerak-gerak. Pengawal yang bertugas menjaga kami, seorang pemuda bernama Denis Mennikov, membawa senapan otomatis Saiga-12 dengan magasin kotak, tetapi semua berharap senjata tersebut jangan sampai dipergunakan. Penyusutan es juga musibah bagi beruang, yang dapat menyebabkan hewan ini bertindak sembrono. Rekan-rekan sekalian, harap waspada.!break!

Keadaan es yang senantiasa berubah hanyalah salah satu hal yang dulu membuat Arktika, dan Daratan Franz Josef khususnya, begitu sulit namun menarik untuk dijelajahi. Fridtjof Nansen merupakan salah satu pen­jelajah yang paling terkenal di antara banyak yang sampai ke kepulauan ini dalam ekspedisi kutub yang nekat dan berat.