Daratan Franz Joseph

By , Rabu, 27 Agustus 2014 | 14:44 WIB

Feodor Romanenko mengangkat tangannya. "Dear colleagues," ujarnya menyapa rekan-rekannya dalam bahasa Inggris, dengan senyum jahilnya yang biasa, lalu dilanjutkannya dalam bahasa Prancis dengan aksen Rusia kental. Dua kata itu bukan satu-satunya kalimat bahasa Inggris yang dikuasainya, tetapi jelas itu favoritnya, sangat cocok untuk meminta perhatian kelompok multibangsa seperti kelompok kami ini. Rekan-rekan sekalian, saya usul kita sekarang mendaki ke sana, ujarnya, sambil menunjuk tebing curam penuh pecahan batu yang tidak stabil dan membahayakan. Rekan-rekan sekalian, dia sesumbar riang saat pertemuan malam, hari ini kelompok kami menemukan lima hal yang menakjubkan, termasuk dua jenis batuan basal! dan beberapa sedimen era Mesozoikum! serta bukti pencairan gletser baru-baru ini! Romanenko adalah ahli geomorfologi dari Universitas Negeri Moskwa, dan setelah 28 musim menjelajahi pantai dan pulau di Samudra Arktika, antusiasmenya terhadap pekerjaannya masih seperti anak kecil. Saat berjalan tertatih-tatih melintasi medan utara yang berat, dia menularkan keriangannya melakukan penelitian lapangan—melakukan pengamatan dari dekat, mencari pola, mengumpulkan data yang dapat membantu memecahkan berbagai misteri, salah satunya masalah es.

Bersama Romanenko, kami menuju utara ke Arktika Rusia, ke sebuah kepulauan yang dikenal sebagai Daratan Franz Josef. Meskipun bukan merupakan tujuan utama kami, masalah es mendasari banyak penelitian yang kami lakukan di sini. Sebetulnya ada tiga pertanyaan: Mengapa es abadi kini mencair? Berapa banyak es yang akan meleleh? Dan apa konsekuensinya terhadap ekologi? Dalam ekspedisi biologi ke daerah kutub, baik Arktika maupun Antartika, pada era perubahan iklim ini, masalah es selalu menjadi penting, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kami menggunakan pendekatan tidak langsung. Kami berangkat ke utara dari Mur­mansk menyeberangi Laut Barents, dengan peserta hampir 40 orang, anggota Pristine Seas Expedition 2013 ke Daratan Franz Josef, untuk melihat kepulauan terpencil ini dari berbagai sudut pandang—botani, mikrobiologi, iktiologi, ornitologi, dan sebagainya. Daratan Franz Josef terdiri atas 192 pulau, sebagian besar berupa sedimen Mesozoikum yang diselimuti lapisan basal berbentuk kolom. Tidak ada hunian per­manen manusia di tempat ini sejak zaman dahulu—sampai Soviet mendirikan stasiun penelitian dan pangkalan militer di beberapa pulau. Kehadiran Soviet berkurang hingga tinggal beberapa gelintir pada 1990-an. Tetapi, meningkatnya pencairan es, rute laut baru, dan pertimbangan ekonomi membangkitkan minat baru pemerintah Rusia terhadap daerah ini.

Selama sebulan kami berpindah-pindah di kepulauan itu, terbawa ke sana kemari oleh peluang dan cuaca, mendarat saat tidak ada bahaya beruang kutub. Kemudian, kami mengagumi walrus dan burung camar gading serta paus kepala busur, mengumpulkan data.!break!

Kami berada 800 mil laut (1.481 km) di utara Lingkaran Arktika. Kami menumpang kapal Polaris, bekas kapal wisata yang ruangannya dialihfungsikan menjadi laboratorium. Mikroskop bercokol di meja makan, sementara ruang pertemuan penuh dengan peralatan selam, termasuk pakaian termal untuk melindungi para penyelam dari air bersuhu minus 1°C. Tim tersebut beranggotakan orang Rusia, Amerika, Spanyol, Inggris, serta satu warga Australia, dan dua orang Prancis.

Setiap hari, sebagian anggota mendarat ke pulau yang terakhir ditemui di dekat tempat kami berlabuh, untuk menjelajah, menandai burung, menghitung walrus, atau mengumpulkan ta­naman, sementara yang lain menyelam ke air dingin untuk menginventarisasi mikroba, ganggang, in­vertebrata, dan ikan laut. Kadang perjalanan yang kami tempuh sangat panjang, tetapi kami selalu kembali ke kapal sebelum gelap, karena malam tak kunjung datang. Matahari tidak pernah tenggelam; hanya berputar tanpa akhir di langit utara. Waktu penyelaman singkat karena suhunya luar biasa dingin. Perspektif Feodor Romanenko sangat penting bagi tim kami, bukan hanya untuk ilmu pengetahuan, melainkan juga moril, lantaran dia memadukan geologi dan semangat kejuangan.

Romanenko mengenakan topi bulu yang menutupi telinga, rompi oranye berkilau, celana kedap air, dan menenteng senapan tabur. Ia terlihat seperti pemburu burung yang ramah dari sebuah kota kecil. Peralatan penting lain yang dimilikinya adalah sekop tanah. Katerina Garankina, salah satu mahasiswa Ph.D. bimbingan Romaneko dari Universitas Negeri Moskwa, berambut merah dan terbiasa bekerja di lapangan, membantunya membuat profil geomorfologi kepulauan tersebut. Michael Fay, bagian botani, selalu menyertai kegiatan harian mereka ke darat karena, sebagaimana Romanenko, dia memiliki hasrat berjalan kaki yang tak kunjung padam. Perjalanan survei fenomenal Fay sepanjang 4.800 kilometer melintasi hutan di Afrika Tengah ("Megatransect", Oktober 2000, dan dua artikel setelahnya) bukanlah perjalanan perdana atau terakhirnya melintasi alam belantara, dan sekarang pada usia 58 tahun—waktunya terbagi antara mendiami pondok di Alaska dan pekerjaan konservasi dengan pemerintah Gabon—dia masih tetap tidak bisa diam dan tidak sabar untuk melenggang kaki ke alam liar.!break!

Fay baru pertama kali melihat sebagian besar tumbuhan Arktika. Namun, pada sore pertama kami mendarat di Daratan Franz Josef, saya melihat dia mengidentifikasi belasan tanaman berbunga setidaknya sampai genusnya. Setiap tanaman hanya beberapa daun kecil di antara batu dan lumut, dengan hiasan bunga kuning atau merah di puncak batangnya.

Sekarang, sembilan hari kemudian di sebuah pulau bernama Payer, Fay kembali berlutut dan menunduk lagi, sambil menyipitkan mata, menghitung kelopak dan karpel serta mengambil foto. Dia sudah mencatat 12 spesies di bukunya pada saat Romanenko dan Garankina selesai mengukur teras pantai yang terbentuk oleh hempasan ombak.

Teras laut tua seperti ini terbentuk di Payer dan tempat lainnya karena Daratan Franz Josef beberapa kali mengalami kenaikan tektonik selama kala Pleistosen akhir serta beberapa alaf terakhir. Kenaikan totalnya, di beberapa bagian kepulauan ini, mencapai lebih dari 90 meter. Kepulauan yang berada di tepi utara lempeng Eurasia ini kini semakin tinggi di atas permukaan air.

Kenaikan ini terdorong oleh kekuatan tekto­nik, dan dalam kadar tertentu, oleh hilangnya es. Seiring mencairnya gletser, massanya menyusut, beratnya turun, dan tanah di bawahnya cen­derung mumbul, seperti lekukan sofa yang naik setelah diduduki. Jadi, bentuk bentang alam itu sendiri, dan jelas termasuk pula bentuk ekosistem yang didukungnya, sebagian ditentukan oleh ada atau tidaknya es.

Sejak tim mendarat di pantai Payer, saya sibuk mengagumi bebungaan Fay dan membuat beberapa catatan, sampai mendengar suara Romanenko yang memberi tahu kami bahwa ada seekor beruang kutub, besar dan gagah, siluetnya terlihat di punggung bukit di sebelah barat. Beruang itu tampaknya tidak menyadari kehadiran kami, tetapi kami harus tetap waspada. Saat berjalan, kepalanya yang kecil menjorok maju, sementara otot lehernya yang panjang bergerak-gerak. Pengawal yang bertugas menjaga kami, seorang pemuda bernama Denis Mennikov, membawa senapan otomatis Saiga-12 dengan magasin kotak, tetapi semua berharap senjata tersebut jangan sampai dipergunakan. Penyusutan es juga musibah bagi beruang, yang dapat menyebabkan hewan ini bertindak sembrono. Rekan-rekan sekalian, harap waspada.!break!

Keadaan es yang senantiasa berubah hanyalah salah satu hal yang dulu membuat Arktika, dan Daratan Franz Josef khususnya, begitu sulit namun menarik untuk dijelajahi. Fridtjof Nansen merupakan salah satu pen­jelajah yang paling terkenal di antara banyak yang sampai ke kepulauan ini dalam ekspedisi kutub yang nekat dan berat.

Kini keadaan lebih mudah, walaupun tetap sulit, dibandingkan saat Nansen mendirikan bivak darurat di sini selama musim dingin 1895-1896. Dalam perjalanan Pristine Seas ini kami memiliki peta yang lebih baik, menggunakan GPS, dan kapal yang lebih nyaman. Kami juga memiliki pemimpin yang diberkahi percaya diri yang lebih tinggi daripada para pemimpin ekspedisi keras kepala di masa lalu: explorer-in-residence National Geographic, Enric Sala. Dia merupakan seorang ahli ekologi kelautan cerdas yang mengoordinasikan upaya internasional kompleks ini, dengan dukungan dari National Geographic Society dan sponsor lainnya, sebagai ekspedisi terbaru bertajuk Pristine Seas.

Beberapa tahun yang lalu, Sala masih menjadi dosen di Scripps Institution of Oceanography, mengajar mahasiswa pascasarjana tentang jaring makanan dan konservasi laut, tetapi dia merasa belum memberikan sumbangsih yang cukup kepada dunia.

"Saya memandang diri saya waktu itu hanya me­nyempurnakan obituari alam, dengan presisi yang terus meningkat," katanya kepada saya saat mengobrol di atas kapal Polaris. Ke­prihatinannya melihat tren degradasi ekosistem dan punahnya spesies yang terus berlanjut, baik di laut maupun di darat, membawanya keluar dari dunia akademis. "Saya ingin mencoba memecahkan masalah," katanya. Jadi, tahun 2005 dia membentuk tim "SWAT" ilmuwan, termasuk ahli mikroba, ganggang, invertebrata, dan ikan laut, lalu berlayar ke bagian utara Kepulauan Line, sekelompok pulau karang terpencil di Pasifik sekitar seribu mil laut (1.850 kilometer) di selatan Hawaii.!break!

Di sana mereka menyelam di antara karang dan menelitinya, menemukan setidaknya satu hal penting: bahwa predator, terutama hiu, mencapai sekitar 85 persen biomassa lokal. Ini menjungkirkan anggapan selama ini: Ekologi konvensional berasumsi bahwa rasio mangsa dengan predator untuk setiap tingkat jaring makanan dari dasar hingga ke puncak adalah sepuluh banding satu. Tim Sala menyebut hal ini piramida biomassa terbalik.

Karena tidak terlihat mangsa dalam jumlah besar, apa yang menghidupi kawanan hiu yang melimpah jumlahnya ini? Jawabannya adalah bahwa massa mangsa sebenarnya ada; mangsa tersebut diproduksi secara besar-besaran dan terus-menerus, dalam bentuk ikan kecil yang memiliki laju reproduksi, pertumbuhan, kematangan seksual, dan produksi tinggi, sementara predator terus memangsanya hingga nyaris tidak terlihat.

Ini merupakan hal penting yang harus di­ketahui tentang ekosistem. Empat tahun kemudian, ketika Presiden George W. Bush menandatangani RUU pembentukan U.S. Pacific Remote Islands Marine National Monument, Sala hadir dalam peristiwa itu, dan mandat untuk melestarikan piramida biomassa terbalik pun kini termuat dalam undang-undang.

Dengan dukungan dari National Geographic Society, Sala mengalihkan perhatiannya ke gugusan kepulauan paling utara di dunia, Daratan Franz Josef.

Daratan Franz Josef adalah zakaznik, cagar alam, yang termasuk dalam Taman Nasional Arktika Rusia. Maka, Sala menjalin kerja sama dengan pengurus taman nasional itu dan Masyarakat Geografi Rusia. Dia meminta Maria Gavrilo, ahli biologi burung laut Arktika yang menjabat sebagai wakil direktur taman nasional bidang ilmu pengetahuan, untuk bersama memimpin ekspedisi ini. Dia mengumpulkan beberapa peneliti pemberani (termasuk ahli ekologi virus Forest Rohwer, ahli ekologi perikanan Alan Friedlander, ahli ganggang Kike Ballesteros, dan Mike Fay) serta para penyelam profesional andal dari ekspedisi sebelumnya, dan dia menyertakan belasan mitra Rusia selain Gavrilo. Dia mengajak Paul Rose, dari Royal Geographical Society di London, yang berpengalaman menyelam dan mendaki di kutub, jago memecahkan masalah, dan selalu ceria. Di samping para orang hebat ini, dia juga mengikutsertakan beberapa kuli tinta. Pada akhir Juli 2013 kami semua berlayar menuju Daratan Franz Josef. Lautnya masih perawan karena hampir sepanjang tahun, setidaknya sampai baru-baru ini, sebagian besar tertutup es.!break!

Dua orang prancis dalam tim kami, David Grémillet dan Jérôme Fort, datang untuk meneliti auk kecil (Alle alle), burung hitam-putih yang bersarang di tebing dan di antara bongkahan batu, yang mencari makan dengan menyelam ke air yang sangat dingin. Auk kecil masih banyak ditemui di seantero Kutub Utara, dengan populasi yang diperkirakan lebih dari 40 juta—salah satu burung laut terbanyak di dunia. Namun, kekerabatannya dengan auk besar, ikon kepunahan yang disebabkan manusia—pasangan auk besar terakhir dibunuh tahun 1844 di lepas pantai Islandia untuk seorang kolektor burung—mengingatkan kita bahwa tidak ada spesies yang kebal terhadap tekanan yang ditimbulkan manusia. Di samping itu, Grémillet dan Fort memiliki alasan lain untuk meneliti auk kecil. Burung ini terhitung kecil untuk ukuran burung laut, kedua terkecil dalam keluarga auk, dengan sayap kecil yang memungkinkannya berenang dalam air maupun di udara. Kebutuhan energi dan tingkat metabolismenya tinggi. Jadi, jika terjadi perubahan lingkungan, kata Grémillet kepada saya, auk kecil mungkin lebih merasakan dampaknya daripada spesies lain. Dan ling­kungan­nya kini mengalami perubahan—suhu rata-rata di Arktika saat ini lebih tinggi daripada selama 2.000 tahun terakhir. Satu penelitian tentang tren Arktika memperkirakan suhu akan terus mengalami peningkatan hingga hampir 8 derajat Celsius pada akhir abad ini.

Makanan pokok auk kecil adalah kopepoda, krustasea sangat kecil yang merupakan komponen utama zooplankton Arktika. Setiap ekor perlu melahap ribuan kopepoda agar tercukupi gizinya. "Dan kopepoda memiliki preferensi suhu yang sangat spesifik," jelas Grémillet. "Jadi, bisa diperkirakan bahwa jika komunitas kopepoda berubah karena perubahan iklim di Kutub Utara, dampaknya pada auk kecil akan sangat besar."

Bagaimana kira-kira perubahan yang akan dialami fauna kopepoda? Spesies yang lebih besar dan gemuk, Calanus glacialis, bergantung pada air yang sangat dingin dan keberadaan es laut, yang bagian bawahnya ditumbuhi ganggang yang menjadi makanan spesies ini. Spesies yang lebih kecil dan kurus, Calanus finmarchicus, umum ditemukan di Atlantik Utara dan sering terbawa arus ke Arktika, tetapi tidak berkembang di sana. Namun, seiring naiknya suhu Samudra Arktika beberapa derajat, keseimbangan persaingan bisa berubah.

Suhu yang lebih tinggi dan penyusutan es laut memungkinkan kopepoda yang kecil dan kurus menggantikan spesies yang besar dan gemuk, sehingga merugikan auk kecil—dan makhluk lainnya juga. Kopepoda merupakan makanan ikan kod, haring, dan berbagai burung laut; bahkan mamalia seperti anjing laut dan paus beluga juga bergantung pada ikan yang memakannya. Itu sebabnya para ilmuwan menganggap Calanus glacialis sebagai spesies terpenting di Kutub Utara.

Grémillet dan Fort menangkap auk kecil dengan memasang "karpet jerat" yang membelit kaki burung yang hinggap, kemudian setiap burung ditimbang, diukur, dan ditandai. Beberapa burung juga dipasangi detektor waktu-kedalaman atau geolokator, alat kecil yang dipasang di kaki atau dada, yang kemudian bisa diambil datanya. Alat geolokator melacak rute migrasi ke selatan setelah burung tersebut berkembang biak. Detektor waktu-kedalaman memperlihatkan seberapa dalam sang burung menyelam, berapa lama dia di dalam air setiap kali menyelam, dan berapa jam sehari dia mencari makanan dengan cara yang melelahkan tersebut. Dari penelitian sebelumnya di Green­land dan Spitsbergen, Grémillet dan Fort me­ngetahui bahwa selama musim dingin auk kecil yang hanya makan Calanus finmarchicus terpaksa mencari makan hingga sepuluh jam sehari guna memenuhi kebutuhan energinya. Bayangkan parahnya keadaan di musim panas, saat dia harus mengerami dan memberi makan anaknya, jika hanya tersedia sumber pangan yang butuh kerja keras itu?!break!

Suatu senin di akhir agustus, setelah dua kali mencoba, kami berhasil mencapai Tanjung Fligely, di pantai utara Pulau Rudolf, pulau paling utara di kepulauan tersebut. Di sini, saya bersama Paul Rose turun ke darat untuk mendaki ke puncak gletser.

Kami mendaki dari pantai dengan hati-hati, karena tadi malam terlihat dua beruang kutub di sekitar sini sementara pagi ini terlihat satu lagi. Untungnya hewan tersebut telah pindah ke tempat lain, dan pantai kini aman. Seperti biasa, kami ditemani seorang pengawal: pemuda Rusia lainnya, Alexey Kabanihin, yang membawa peluru suar, radio, dan Saiga-12, magasinnya diisi dengan beberapa peluru hampa sebelum peluru asli.

Hari itu sangat cerah. Dari tanjung barat tempat kami mendarat, menggunakan crampon dan kapak es, saya dan Rose mulai krak-kruk mendaki lereng, sementara Kabanihin tertinggal di belakang. Esnya lembut di permukaannya, berbutir seperti gabus, dan keras di bawahnya; pijakan yang bagus. Namun, saat kami men­dekati puncak, suara dari radio Kabanihin merusak suasana hati kami. Dari Maria Gavrilo, katanya: "Paul, beruang kutub mencium bau kalian. Dan berjalan ke arah kalian. Mendaki gletser. Saya sarankan kalian segera turun."

Kami bertukar pandang. "Rojer, Maria," kata Rose. "Kami paham." Dia mematikan radio. Kami tidak tahu bahwa dia sedang menghadapi situasi berbahaya di bawah—jumlah kami di pulau ini terlalu banyak, menyebar, tidak mengindahkan peringatan, sementara beruang berkeliaran. Bisakah kita melanjutkan pendakian sedikit lagi? Rose bertanya kepada Kabanihin, yang menggeleng dan melipat tangan: benar-benar nyet, (tidak). Tapi dalam hati kami: da, (ya). "Semenit saja?" kata Rose memohon. Ketika pemuda malang itu mengernyit bimbang, kami berdua berlari meninggalkannya. Dapatkan koordinat GPS, kata saya. Dia melaporkan: 81 derajat, 50,428 menit lintang utara.

Saat menuruni kubah es, kami melihat seekor beruang kutub menghalangi jalur kami ke kapal, dan seekor lainnya di kiri kami. Beruang di depan mendaki mendekati kami. Yang seekor lagi duduk, tetapi menoleh saat kami bergerak. Saya menyadari betapa seriusnya keadaan saat Kabanihin menyerahkan suar kepada saya. Kami terus berjalan. Jangan bersuara, bisik Kabanihin. Tetap berdekatan. Dia tampak sangat gugup. Gletser ini besar dan terbuka, dan merupakan habitat beruang. Kami mencoba menuju arah lain, tetapi beruang di depan tetap menghadang, dia sengaja berjalan ke arah kami. Tiba-tiba saya merasa seolah-olah kami hanyalah tiga kerat daging gelap di atas piring yang sangat putih. Saya mengawasi beruang di sebelah kiri, kalau-kalau dia menyerang sementara Kabanihin mengawasi yang lain.

Kabanihin meletakkan senapannya di atas es. Dia mengambil kembali suar dari saya, melepaskan tutupnya, dan menembakkannya ke arah—tetapi tidak tepat pada—beruang yang ada di depan. Api fosfor merah melesat di atas es. Ketika beruang itu kabur ke kiri dengan beberapa puluh langkah, kami mendapat celah untuk dilewati.

Nasib baik. Kalau kami sampai tewas, atau beruangnya yang mati, Sala mengingatkan kami kemudian, ekspedisi tersebut akan terhenti.!break!

Di pantai timur-laut pulau hayes, di bagian tengah kepulauan ini, terdapat bekas pos meteorologi lama yang dikenal sebagai Stasiun Krenkel, yang sangat aktif selama era Soviet. Stasiun yang didirikan pada 1957 ini kemudian dilengkapi antena tinggi yang diperkuat dengan kabel penahan, tempat peluncuran untuk roket penelitian berukuran kecil, jalur rel mini untuk memindahkan barang dan peralatan, serta puluhan bangunan. Pada masa keemasannya, ada 200 orang yang bekerja dan tinggal di Krenkel. Sekarang hanya ada sekitar enam orang, dan setidaknya dua anjing husky, satu bermuka hitam dan satunya krem. Saya bersama Romanenko, Garankina, dan Fay melompat ke sisi daratan.

Kedatangan kami sudah mendapat izin kepala stasiun, dan dia membiarkan kami berkeliling tanpa pengawasan di wilayah penuh reruntuhan.

Stasiun ini sangat aktif sekitar 1967 sampai 1987, menurut Romanenko. Di tempat lain di Daratan Franz Josef, pangkalan udara Soviet digunakan pesawat pengebom jarak jauh untuk lepas landas dan berpatroli di Arktika dalam keadaan siap menyerang, sebagaimana bomber dari pangkalan Amerika. Namun, Stasiun Krenkel bukan bagian kegiatan tersebut. Stasiun ini didirikan untuk tujuan ilmiah dan bahkan menjalin kerja sama dengan dunia internasional, melalui kolaborasi dengan ahli meteorologi Prancis yang meluncurkan roket penelitian serupa di tempat lain. Kemudian terjadi perubahan besar pada pergantian tahun 1990-an, menjelang bubarnya Uni Soviet.

Lebih parah lagi, Stasiun Krenkel mengalami kebakaran pada 2001. Personel ditarik dan tidak ada penggantinya. Mereka meninggalkan rumah mungil, pusat rekreasi dengan dua piano dan meja biliar serta perpustakaan, lalu naik ke kapal atau helikopter yang membawa mereka kembali ke daratan Rusia. Romanenko tampaknya terkenang semua hal itu ketika kami berjalan di tengah reruntuhan stasiun kutub yang kecil ini."C’est la fin de l’empire," katanya, tanpa repot-repot menggunakan bentuk lampau dalam bahasa Prancisnya. Akhir sebuah negeri. Dia cukup tua untuk mengingat kejadian tersebut.

Lebih dari satu negeri yang runtuh sejak ekspedisi Austro-Hongaria mengunjungi kepulauan ini pada 1873. Lebih dari satu bendera yang dulu dikibarkan di sini sekarang tidak lagi melambai. Lebih dari satu perkiraan geofisika, seperti keberadaan benua Arktika, yang terbantahkan. Kutub Utara memang nyata, sebagai titik tidak kasatmata yang dapat ditentukan. Akan tetapi, penjelajah awal seperti Nansen, yang mendatangi atau melewati kepulauan ini bersama tim anjing dan kapal es mereka, gagal mencapai titik itu. Daratan Franz Josef menjadi tempat persinggahan yang penuh kenangan dalam rute kutub gemilang menuju keputusasaan dan kekecewaan. !break!

Pulau-pulau berpuncak datar nan sunyi, dengan bukit-bukit basal, menjadi perlambang kekukuh-bekuannya; tempat ini menjadi saksi bahwa, meskipun manusia bertekad baja, panjang akal, dan gagah berani, alam tetap jauh lebih kuat dan kompleks.

Reruntuhan Stasiun Krenkel meredam kekaguman kita pada kehebatan alam dengan cara yang aneh: dengan ratusan ton sampah industri serta bekas-bekas kehidupan segelintir manusia yang dulu tinggal di sini.

Karena stasiun itu merupakan bagian Daratan Franz Josef dan secara administratif Daratan Franz Josef termasuk dalam Taman Nasional Arktika Rusia (meskipun belum menikmati status perlindungan taman nasional secara penuh), pengelola taman itu telah memulai operasi pembersihan di Krenkel. Mereka berniat menyertakan stasiun itu dalam rencana muzey pod otkrytym nebom, atau museum terbuka besar. Namun, mereka akan menghadapi masalah pelik tentang batas perbaikan dan pelestarian. Ketika suatu tempat menjadi tumpukan sampah bersejarah, bagaimana kita membedakan mana sejarah dan mana sampah?

Yang lebih pelik, dan berdampak jauh lebih besar, adalah kebijakan Moskwa tentang pemulihan kepentingan militer Rusia di Kutub Utara. Pada awal November 2013, hanya dua bulan setelah kami merampungkan ekspedisi, Menteri Pertahanan Sergei Shoigu mengumumkan rencana untuk menempatkan satu skuadron kapal perang pemecah es untuk melindungi jalur laut trans-Arktika yang baru serta potensi cadangan minyak dan gas. Per 2011, menurut kantor berita Rusia Novosti, 95 persen cadangan gas alam Rusia dan 60 persen cadangan minyaknya terletak di wilayah Arktika, meskipun sebagian besar ladang itu berada di dasar Laut Barents dan Kara, lebih dekat ke daratan utama. Pola penemuan ladang tersebut dan iklim yang semakin menghangat mendorong Rusia untuk mencari lebih jauh ke arah utara.

Pengumuman menteri pertahanan bahkan menyebut soal membuka kembali pangkalan udara di Daratan Franz Josef. Akankah peningkatan dominasi ini, jika benar-benar terjadi, sejalan dengan perlindungan ekosistem Arktika? Enric Sala, yang selalu optimis dan tenang, berpandangan tidak akan ada masalah. Lagi pula, Vladimir Putin sendiri dianggap bersimpati terhadap pelestarian alam—tetapi siapa yang bisa menebak pikiran Putin? Sala berharap Daratan Franz Josef akan segera mendapat perlindungan penuh sebagai taman nasional dan beranggapan bahwa penambahan kekuatan militer "malah dapat membantu penegakan hukum."!break!

Soal es yang mendasari semua masalah ini tidak dapat dijawab hanya dengan satu ekspedisi. Kita dapat mengukur, mengambil foto, mem­bandingkan antara luas es saat ini dengan yang dilihat penjelajah di masa lalu, tetapi soal sebab akibatnya sangat luas dan rumit. Para ilmuwan dalam tim ini melakukan yang biasa dilakukan para ilmuwan lapangan yang bagus: Mereka melakukan pengamatan kuantitatif terhadap hal-hal spesifik.

Setelah berkali-kali menyelam dalam air se­dingin es, Alan Friedlander mengidentifikasi 16 spesies ikan Arktika air dangkal dan mulai me­renungkan mengapa keragaman di sini tampak rendah. Kike Ballesteros, yang juga meng­habiskan hari-harinya dalam pakaian termal, dengan jemari beku dan pipi merah, mencatat populasi dan biomassa ganggang laut secara lengkap, sesuatu yang belum pernah dilakukan.

Maria Gavrilo dan timnya menyensus burung camar gading, kittiwake, guillemot, auk kecil, eider, dan burung camar kelabu, serta mengukur, menimbang, menandai, dan memasang geo­lokator pada beberapa di antaranya. Forest Rohwer dan mahasiswa pascasarjananya Steven Quistad mengumpulkan miliaran virus dari berbagai media yang subur, seperti guano dan lumpur pantai, dan akan mengungkap pe­ngetahuan baru dari pengurutan DNA virus tersebut sekembalinya dia ke laboratoriumnya di AS. Mike Fay mengidentifikasi dan me­ngumpulkan lebih dari 30 spesies tanaman berbunga. Daria Martynova mengambil sampel kolom air untuk kopepoda, mengukur penetrasi spesies Atlantik Utara Calanus finmarchicus ke dalam wilayah Arktika Calanus glacialis. Upaya tersebut, serta semua pengamatan lain yang dilakukan selama ekspedisi ini, akan membantu menjawab beberapa pertanyaan kecil yang menjadi bagian suatu pertanyaan besar.

Apakah komunitas plankton berubah? Apakah tingkat reproduksi kittiwake dan guillemot masih sama seperti sebelumnya? Apakah fauna dasar laut atau flora daratan ter­pengaruh oleh tren perubahan suhu? Apakah beruang kutub menjadi lebih terkonsentrasi di pulau-pulau, terdampar di sana karena es laut lenyap dari Daratan Franz Josef selama musim panas? Apakah perubahan plankton berdampak besar pada populasi auk kecil? Inilah ekologi—semuanya saling berhubungan. Seluruh data dan analisis itu akan digabungkan selama beberapa bulan mendatang menjadi satu laporan lengkap, dengan Sala sebagai editor.

—Artikel terakhir David Quammen, pada Agustus 2009, soal ikan salem di Semenanjung Kamchatka. Artikel terbaru Cory Richards, "Menggali Dinosaurs Utah", dimuat dalam edisi Mei.