Kehidupan di Tahun Pertama

By , Selasa, 23 Desember 2014 | 14:00 WIB

Pada akhir 1980-an, epidemi kokaina kristal melanda kota-kota Amerika. Hallam Hurt, seorang wanita ahli neo­natologi di Philadelphia, mencemaskan kerusakan pada anak-anak yang lahir dari ibu-ibu pecandu. Dia dan rekan-rekannya, yang mempelajari anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah, membandingkan anak empat tahun yang terpajan pada narkoba tersebut dengan yang tidak.

Mereka tidak ber­hasil menemukan perbedaan yang signifikan. Mereka malah mendapati bahwa IQ anak-anak di kedua kelompok itu jauh lebih rendah daripada rata-rata. “Anak-anak kecil ini sangat menggemaskan, tetapi IQ mereka hanya sekitar 82-83,” kata Hurt. “IQ rata-rata adalah 100.”

Informasi yang baru terkuak ini mendorong para peneliti mengubah fokus penelitian, yaitu dari hal yang membedakan kedua kelompok itu, ke kesamaannya: dibesarkan dalam kemiskinan. Untuk memahami lingkungan anak-anak itu, para peneliti mengunjungi rumah mereka dengan membawa daftar periksa. Mereka ber­­tanya apakah orang tua menyediakan se­kurangnya sepuluh buku anak di rumah, pemutar kaset dengan lagu anak, dan mainan untuk membantu anak belajar angka. Mereka mencatat apakah orang tua berbicara kepada anaknya dengan nada sayang, meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan, serta memeluk, mencium, dan memuji mereka.

Para peneliti menemukan bahwa anak yang mendapat lebih banyak perhatian dan pengasuhan di rumah cenderung memiliki IQ lebih tinggi. Anak yang mendapat lebih banyak stimulasi kognitif lebih terampil dalam kegiatan bahasa, dan yang diasuh secara lebih hangat pun lebih mahir dalam kegiatan mengingat.

Bertahun-tahun kemudian, ketika anak-anak ini menginjak usia remaja, para peneliti meng­ambil citra MRI otak mereka, lalu men­cocokkannya dengan catatan tentang seberapa hangat pengasuhan mereka pada usia empat dan delapan tahun. Para peneliti menemukan kaitan erat antara pengasuhan pada usia empat tahun dan ukuran hipokampus—bagian otak yang terkait dengan ingatan—tetapi tidak menemukan kaitan antara pengasuhan pada usia delapan tahun dan hipokampus. Hasil ini menunjukkan, betapa pentingnya lingkungan bagi perkembangan emosional pada usia dini.

!break!

Kajian Philadelphia ini, yang diterbitkan pada 2010, adalah salah satu kajian pertama yang menunjukkan bahwa pengalaman masa kecil membentuk struktur otak yang berkembang. Sejak itu, berbagai kajian lain menunjukkan kaitan antara status sosial-ekonomi bayi dengan pertumbuhan otaknya. Meskipun sudah memiliki kapasitas menakjubkan sejak lahir, otak sangat tergantung pada masukan dari lingkungan dalam perkembangannya. Para peneliti kini mulai memahami bagaimana tepatnya perkembangan itu dibentuk oleh interaksi antara alam dan asuhan.

Mengintip isi otak anak dengan alat pen­citraan baru, para peneliti sedang mengurai misteri bagaimana anak berubah dari hampir tak bisa melihat saat baru lahir menjadi mampu berbicara, mengendarai sepeda roda tiga, menggambar, dan menciptakan teman khayalan sebelum usia lima tahun. Semakin banyak yang diketahui peneliti tentang cara anak memperoleh kemampuan bahasa, angka, dan pemahaman emosi pada masa ini, semakin sadar mereka bahwa otak bayi adalah mesin belajar yang luar biasa. Masa depannya—sebagian besar—ditentukan oleh kita.

Jika metamorfosis sekelompok sel menjadi bayi yang menyusui adalah salah satu mukjizat besar kehidupan, demikian pula perubahan dari bayi limbung itu menjadi batita yang bisa berjalan, dan berbicara. Saat melakukan riset untuk artikel ini, saya menyaksikan mukjizat itu terjadi di depan mata sendiri. Putri saya ber­ubah dari buntelan gelisah yang hanya mampu menangis melengking untuk memberi tahu bahwa dia lapar, menjadi anak berumur tiga tahun yang bersemangat, yang bersikeras memakai kacamata hitam sebelum keluar rumah. Perkembangan kemampuan mental dan emosionalnya merupakan serangkaian keajaiban, memperdalam kekaguman saya pada betapa tangkasnya otak bayi dalam belajar memahami dunia.

Tonggak-tonggak yang dilewati anak saya tentu tidak asing bagi semua orang tua. Pada usia dua tahun, dia sudah cukup tahu untuk menyadari bahwa dia tidak perlu memegang tangan saya saat berjalan di trotoar; dia meraih tangan saya hanya ketika kami hendak menyeberang jalan. Pada usia yang sama, dia juga belajar menyumbat lubang di bak mandi dengan tumitnya—mengubah mandi pancuran singkat menjadi mandi berendam yang asyik. Sebelum usia tiga tahun, dia sudah bisa bercakap-cakap panjang dan mengarang puisi berima: “Kalau cokelatnya tak enak, Willy Wonka pasti terisak-isak.”

Meskipun sudah membesarkan anak selama ribuan tahun, kita hanya memahami sedikit tentang bagaimana bayi mengalami kemajuan begitu pesat dalam kemampuan kognitif, bahasa, penalaran, dan perencanaan. Perkembangan secepat kilat pada tahun-tahun awal ini bersamaan dengan pembentukan sirkuit saraf yang luas. Saat lahir, otak memiliki hampir seratus miliar neuron, sebanyak pada masa dewasa. Seiring bayi tumbuh dan menerima banjir masukan indrawi, neuron terhubung ke neuron lain, menghasilkan seratusan triliun koneksi sebelum usia tiga tahun.

!break!

Berbagai rangsangan dan kegiatan, seperti mendengar lagu ninabobo atau menggapai mainan, turut memantapkan berbagai jaringan saraf. Sirkuit diperkuat melalui pengaktifan berulang. Selubung yang melapisi serat saraf—terbuat dari bahan isolasi yang disebut mielin—menebal di sepanjang jalur yang sering digunakan, membantu denyut listrik merambat lebih cepat. Sirkuit yang tak digunakan pun mati melalui pemutusan koneksi, yang disebut pemangkasan sinapsis. Antara usia satu dan lima tahun, lalu sekali lagi pada awal remaja, otak menempuh daur pertumbuhan dan perampingan. Pengalaman berperan penting dalam mengukir sirkuit yang akan bertahan.

Cara alam dan pengasuhan bekerja sama untuk membentuk otak ini paling terlihat dalam perkembangan kemampuan bahasa. Berapa banyak kemampuan itu yang merupakan bawaan lahir, dan bagaimana sisa kemampuan itu diperoleh? Untuk mengetahui cara peneliti menjawab pertanyaan itu, saya mengunjungi Judit Gervain, ahli ilmu saraf kognitif di Université Paris Descartes yang sedang me­nyiapkan eksperimen pada bayi baru lahir.

Saya mengikutinya ke sebuah ruangan di lorong yang sama dengan bangsal persalinan. Subjek pertama pagi itu dibawa masuk dalam boks beroda, dibedung dalam selimut jambon bermotif polkadot, disusul ayahnya. Asisten penelitian memasang topi yang dipenuhi sensor mirip kancing pada kepala bayi itu. Rencananya adalah membuat citra otak bayi sambil memutar beragam rentetan suara, seperti nu-ja-ga. Tetapi, sebelum sempat dimulai, bayi itu menangis, menyatakan bahwa dia tidak mau berpartisipasi.