Setelah meraih kekuasaan di Rumania pada pertengahan 1960-an, pemimpin komunis Nicolae Ceausescu menerapkan langkah drastis untuk mengubah negara itu dari masyarakat tani menjadi masyarakat industri. Ribuan keluarga pindah dari desa ke kota untuk bekerja di pabrik pemerintah. Kebijakan ini menyebabkan banyak orang tua meninggalkan anak mereka yang baru lahir, yang kemudian ditempatkan di lembaga negara yang disebut leagan—dari bahasa Rumania yang berarti ‘buaian’.
Setelah Ceausescu digulingkan pada 1989, barulah dunia luar melihat kondisi mengenaskan yang ditanggung oleh anak-anak ini. Semasa bayi, mereka ditinggalkan di buaian berjam-jam. Biasanya mereka hanya berhubungan dengan manusia lain saat pengasuhnya—yang masing-masing menangani 15-20 anak—datang untuk memberi makan atau memandikan. Pada 2001, para peneliti AS mulai mengkaji 136 anak dari enam panti untuk menyelidiki dampak penelantaran pada perkembangan mereka.
Para peneliti itu—yang dipimpin Charles Zeanah, psikiater anak di Tulane University; Nathan Fox, ahli ilmu saraf dan psikolog perkembangan di University of Maryland; dan Charles Nelson, ahli ilmu saraf di Harvard—terkejut melihat perilaku menyimpang anak-anak itu. Banyak anak itu, yang belum berusia dua tahun saat kajian dimulai, tidak menunjukkan kelekatan pada pengasuhnya. Saat marah atau sedih, mereka tidak mendekati pengasuh. “Sebaliknya, mereka menunjukkan perilaku hampir buas yang belum pernah kami lihat—berkeliaran tanpa arah, membenturkan kepala pada lantai, berputar dan mematung di satu tempat,” kata Fox.
Ketika melakukan uji EEG pada otak anak-anak ini, para peneliti menemukan bahwa sinyalnya lebih lemah daripada sinyal yang direkam dari anak berusia sebaya di populasi umum. “Seolah-olah tombol lampu dipencet untuk meredupkan kegiatan otak mereka,” kata Fox. Dia dan rekan-rekannya lalu menempatkan setengah anak-anak itu dengan keluarga asuh yang mereka pilih dengan bantuan pekerja sosial. Anak-anak lainnya tetap di panti. Keluarga asuh itu mendapat uang bulanan, buku, mainan, popok, dan perlengkapan lain, serta kunjungan berkala dari pekerja sosial.
Fox dan rekan-rekannya mengikuti anak-anak itu selama beberapa tahun berikutnya, dan melihat perbedaan besar muncul di antara kedua kelompok itu. Pada usia delapan tahun, anak-anak yang ditempatkan di keluarga asuh pada usia dua tahun atau lebih awal menunjukkan pola otak EEG yang tak bisa dibedakan dengan pola otak anak delapan tahun biasa. Anak-anak yang tetap tinggal di panti tetap memiliki EEG lebih lemah. Meskipun semua anak dalam kajian ini memiliki volume otak lebih kecil daripada anak sebaya di populasi umum, anak yang mendapat asuhan memiliki materi putih lebih banyak—akson yang menghubungkan neuron—daripada anak-anak panti. “Ini menyiratkan bahwa ada lebih banyak koneksi neuron yang terbentuk pada anak yang mengalami intervensi,” Fox menjelaskan.
Perbedaan paling mencolok di antara kedua kelompok ini—sudah terlihat sebelum usia empat tahun—adalah kemampuan sosialnya. “Kami menemukan bahwa banyak anak yang ditempatkan di intervensi kami, terutama anak-anak yang dikeluarkan dari panti lebih awal, kini dapat berhubungan dengan pengasuhnya seperti anak biasa,” kata Fox. “Pada awal kehidupan, otak cukup lentur sehingga anak-anak mampu mengatasi pengalaman negatif.” Dan itu, kata Fox, kabar bagus: Sebagian efek buruk akibat kekurangan pada usia dini dapat diatasi dengan pengasuhan yang benar, asalkan diberikan dalam masa perkembangan kritis.
!break!