Kehidupan di Tahun Pertama

By , Selasa, 23 Desember 2014 | 14:00 WIB

Bayi baru lahir lain—juga ditemani ayah­nya—dibawa masuk. Asisten Gervain mengikuti protokol yang sama, dan kali ini pengamatan ber­jalan lancar. Si bayi tidur selama eksperimen.

Gervain dan rekan-rekannya telah menerap­kan percobaan yang sama untuk menguji seberapa baik bayi baru lahir membedakan pola suara. Menggunakan spektroskopi inframerah-dekat, para peneliti membuat citra otak bayi sementara mereka mendengar rentetan suara. Ada suara yang diulang dalam struktur ABB, misalnya mu-ba-ba; ada yang memiliki struktur ABC, misalnya mu-ba-ge. Para pe­neliti menemukan bahwa daerah otak yang memproses suara dan bicara memberi respons lebih kuat untuk urutan ABB. Dalam kajian di kemudian hari, mereka menemukan bahwa otak bayi baru lahir juga dapat membedakan antara suara berpola AAB dan berpola ABB.

Gervain bersemangat memperoleh temuan ini karena urutan bunyi adalah landasan untuk kata dan tata bahasa. “Informasi posisi adalah kunci bahasa,” katanya. 

!break!

Bahwa otak bayi merespons urutan bunyi sejak hari pertama menyiratkan bahwa algo­ritme pembelajaran bahasa sudah terkandung dalam jaringan saraf yang dimiliki bayi sejak lahir. “Lama sekali kita menganut pandangan yang linier. Pertama, bayi belajar bunyi, lalu memahami kata, lalu gabungan beberapa kata,” kata Gervain. “Tetapi dari hasil terbaru, kita tahu bahwa hampir semuanya mulai berkembang sejak awal. Bayi sudah mulai belajar aturan tata bahasa sejak awal.”

Para peneliti yang dipimpin oleh Angela Friederici, psikolog saraf di Max Planck Institute for Human Cognitive and Brain Sciences di Leipzig, Jerman, menemukan bukti tentang pemahaman anak seperti ini dalam eksperimen dengan bayi Jerman empat bulan yang dipajankan terhadap bahasa yang asing bagi mereka. Pertama, anak-anak mendengar beberapa kalimat Italia yang mewakili dua jenis pola kalimat: “The brother can sing” dan “The sister is singing.” 

Setelah tiga menit, mereka mendengar beberapa kalimat Italia lain, yang sebagian salah secara tata bahasa.  Pada fase ini peneliti mengukur kegiatan otak bayi menggunakan elektrode kecil yang ditempelkan pada kulit kepala. Pada ronde pertama pengujian, bayi menunjukkan respons otak yang serupa untuk kalimat yang benar dan salah. Setelah beberapa ronde pelatihan, bayi menunjukkan pola pengaktifan yang sangat berbeda saat mendengar kalimat yang salah.

Dalam 15 menit saja, bayi tampaknya sudah menyerap mana yang benar. “Entah bagaimana, mereka rupanya mempelajarinya, meski tidak memahami arti kalimatnya,” Friederici menjelaskan. “Saat ini, ini bukan tata kalimat. Ini keteraturan bunyi.”

Para peneliti telah menunjukkan bahwa anak sekitar dua setengah tahun cukup pintar untuk mengoreksi kesalahan tata bahasa yang dilakukan boneka. Pada usia tiga tahun, sebagian besar anak tampaknya sudah menguasai banyak aturan tata bahasa. Kosakata mereka berkembang pesat. Perkembangan kemampuan bahasa ini terjadi ketika koneksi baru terbentuk antara neuron, sehingga bicara dapat diproses pada beberapa tingkat: bunyi, makna, dan pola kalimat. Peneliti belum mengetahui persisnya peta yang diikuti otak bayi pada jalan menuju kefasihan berbahasa. Tetapi yang jelas, dalam kata-kata Friederici, adalah: “Alat-alat ini saja belum cukup. Kita juga perlu masukan.”

Lebih dari dua dasawarsa silam Todd Risley dan Betty Hart, saat itu keduanya menjadi psikolog anak di University of Kansas di Lawrence, merekam ratusan jam interaksi antara anak dan orang dewasa dalam 42 keluarga dari seluruh spektrum sosial-ekonomi, mengikuti anak-anak tersebut dari usia sembilan bulan hingga tiga tahun.

Saat mempelajari transkrip rekaman ini, Risley dan Hart menemukan hal yang mengejutkan. Anak-anak di keluarga berada—yang orang tuanya biasanya profesional berpendidikan universitas—mendengar rata-rata 2.153 kata per jam yang ditujukan kepada mereka, sedangkan anak dalam keluarga yang menerima santunan sosial mendengar rata-rata 616 kata. Orang tua di rumah lebih miskin cenderung melontarkan komentar sekilas yang lebih pendek seperti “Jangan,” atau “Turun,” sementara orang tua di rumah lebih kaya bercakap-cakap lebih panjang dengan anak. Anak dalam keluarga sosial-ekonomi rendah dibesarkan dengan asupan bahasa yang rendah.

!break!

Kekerapan bicara orang tua kepada anaknya sangat berarti, demikian ditemukan para peneliti. Anak yang lebih sering diajak bicara memperoleh nilai IQ lebih tinggi pada usia tiga tahun. Mereka juga lebih berprestasi di sekolah pada usia sembilan dan sepuluh tahun.

Memaparkan anak-anak terhadap jumlah kata lebih banyak tampaknya cukup sederhana. Tetapi, bahasa yang disampaikan oleh televisi, buku audio, Internet, atau ponsel cerdas—sebesar apa pun muatan pendidikannya—tampaknya tidak efektif. Itu yang ditemukan para peneliti pimpinan Patricia Kuhl, ahli ilmu saraf di University of Washington di Seattle, dalam suatu kajian tentang anak sembilan bulan.