Kuhl dan rekan-rekannya sedang menyelidiki keping penting dalam pemerolehan bahasa: bagaimana bayi mengenali bunyi fonetik dalam bahasa ibunya sebelum usia satu tahun. Dalam beberapa bulan pertama kehidupannya, bayi pandai mengenali perbedaan bunyi dalam bahasa apa pun, bahasa ibu atau bahasa asing. Namun, antara usia enam dan dua belas bulan, mereka mulai kehilangan kemampuan membedakannya dalam bahasa asing, sementara semakin mahir membedakan bunyi dalam bahasa ibunya. Misalnya, anak Jepang tak lagi mampu membedakan bunyi “l” dan “r”.
Dalam kajian mereka, peneliti memaparkan bayi sembilan bulan dari keluarga berbahasa Inggris terhadap bahasa Mandarin. Sebagian anak berinteraksi dengan guru penutur asli bahasa Mandarin, yang bermain dengan mereka dan membaca untuk mereka. “Bayi-bayi itu terpesona oleh para guru ini,” kata Kuhl. Sekelompok anak lain melihat dan mendengar para guru berbahasa Mandarin yang sama melalui presentasi video. Dan sekelompok lagi hanya mendengar rekaman audio.
Para peneliti mengira bahwa anak-anak yang menonton video akan menunjukkan pembelajaran yang sama dengan anak-anak yang diajari secara temu-muka. Ternyata mereka menemukan perbedaan besar. Anak-anak yang terpajan terhadap bahasa itu melalui interaksi manusia mampu membedakan bunyi Mandarin yang mirip sama baiknya dengan penutur asli. Tetapi bayi lain—baik mereka menonton video atau mendengar audio—tidak menunjukkan pembelajaran apa pun.
“Kami tercengang,” kata Kuhl. “Ini mengubah pemikiran mendasar kita tentang otak.” Hasil kajian ini dan berbagai kajian lain mendorong Kuhl untuk mengajukan hipotesis gerbang sosial (social gating hypothesis): konsep bahwa pengalaman sosial adalah gerbang menuju perkembangan bahasa, kognitif, dan emosi.
!break!