Program pelatihan orang tua yang dipimpin ahli ilmu saraf Helen Neville di University of Oregon di Eugene bertujuan persis seperti itu. Para peneliti menghimpun peserta dari keluarga-keluarga yang terdaftar di Head Start, yaitu program pemerintah AS yang membantu anak prasekolah dari keluarga berpendapatan rendah. Orang tua atau wali datang untuk belajar setiap minggu selama dua bulan. Dalam beberapa sesi pertama, mereka diberi kiat untuk menurunkan stres yang timbul dalam kegiatan sehari-hari mengasuh anak. Seperti pengakuan semua orang tua, stres ini kadang-kadang terasa begitu berat, bagi orang yang paling tenang sekalipun. Stres juga terasa lebih berat lagi bagi orang tua yang harus mencemaskan masalah keuangan.
Orang tua belajar untuk menekankan penguatan positif, dengan memuji prestasi spesifik. “Kami mendorong mereka mengubah fokus, dari memarahi anak setiap kali mereka berbuat salah menjadi memberi perhatian setiap kali anak berbuat benar,” jelas Sarah Burlingame, mantan instruktur orang tua. Pada minggu-minggu berikutnya, orang tua belajar menstimulasi anak.
Anak-anak diajari memusatkan perhatian dan mengendalikan diri dalam sesi 40 menit setiap minggu. Mereka melatih berfokus pada tugas di tengah hal-hal yang memancing perhatian—misalnya mewarnai di dalam garis gambar sementara anak-anak lain bermain balon di sekitarnya. Instruktur juga mengajari agar mereka lebih mengenali emosi, melalui permainan yang disebut Bingo Emosi, yaitu anak mencocokkan perasaan seperti “senang” dan “sedih” dengan raut wajah. Dalam beberapa pelajaran selanjutnya, anak-anak belajar melatih teknik menenangkan diri, seperti menarik napas panjang saat marah.
Pada akhir delapan minggu, para peneliti mengevaluasi anak-anak dalam bahasa, IQ nonverbal, dan perhatian. Melalui angket yang diberikan kepada orang tua, mereka juga menilai perilaku anak. Dalam makalah yang diterbitkan pada Juli 2013, Neville dan rekan-rekannya melaporkan bahwa anak-anak dalam program Head Start yang mengalami intervensi menunjukkan peningkatan jauh lebih tinggi dalam hal-hal ini daripada yang tidak mengalaminya. Orang tua melaporkan tingkat stres yang jauh lebih rendah dalam mengelola anak. “Saat kita mengubah pola asuh dan tingkat stres menurun, ini menghasilkan pengaturan emosi dan kognisi lebih baik bagi anak-anak,” kata Neville.
Tana Argo, ibu muda dengan empat anak, memutuskan mengikuti program ini untuk memastikan dia tidak menelantarkan anak-anaknya, seperti yang dideritanya semasa kecil. “Keluarga saya semasa kecil selalu penuh stres dan konflik,” katanya. “Saya berjanji dalam hati, saya akan mengingat ini kalau punya anak nanti. Ini tidak akan terjadi pada anak-anak saya.”
Hal yang dipelajarinya dalam program ini—katanya—telah mengubah dinamika keluarganya, menciptakan lebih banyak waktu untuk bermain dan belajar. Saat saya mengunjungi rumahnya suatu sore, dia menceritakan betapa senangnya dia beberapa hari sebelumnya ketika melihat putrinya yang empat tahun—si bungsu—duduk di karpet untuk membuka-buka ensiklopedia anak.
Saat hendak pergi, saya melihat ensiklopedia itu berada di puncak tumpukan buku, yang sebagian besar buku anak. Dalam situasi terbaik, tumpukan itu mungkin bisa menjadi benteng terhadap domino generasi kemiskinan dan penelantaran, serta membantu anak-anak Argo membangun masa depan yang dulu tidak mungkin dia gapai.
---
Yudhijit Bhattacharjee sedang menulis buku nonfiksi, The Spy Who Couldn’t Spell. Artikel Lynn Johnson, “Suara-Suara yang Sirna” di edisi Juli 2012 membahas bahasa dunia yang akan punah.