Baling-baling Britten-Norman Islander menderu di atas bentangan tajuk-tajuk hutan belantara. Pesawat perintis itu membawa delapan orang, dan saya salah seorang di antara mereka. Kami bersiap melakukan pendaratan di antara perbukitan hutan yang sebagian besar tampak dibuka untuk ladang. Long Ampung, demikian sebutan lapangan terbang kecil di jantung rimba Borneo itu.
Tatkala roda-roda pesawat menyentuh landas pacu, saya melongok pemandangan dari jendela pesawat. Tampak bangunan terminal hanya berupa sebuah rumah kayu yang dipenuhi oleh sekumpulan perempuan bertopi saung yang menanti kedatangan pesawat. Sesaat setelah baling-baling pesawat berhenti berputar, orang-orang—yang entah datang dari mana—segera beringsut lalu berhamburan menghampiri pilot sambil menanyakan perihal barang pesanan mereka. Sebagian yang lain menyodor-nyodorkan daftar belanjaan baru. “Ini sudah rutinitas, Mas,” kata pilot kepada saya, “maklum, saya ini sudah seperti toko terbang untuk daerah terpencil ini.”
Pesawat berpropeler yang saya tumpangi itu memang dipenuhi berbagai macam barang, di antaranya obat-obatan, makanan kaleng, minyak goreng, berbagai perkakas, sabun dan beragam perlengkapan mandi lainnya, hingga kotak-kotak berisi aneka produk kosmetik.
Saya masih ingat. Saat itu, 15 tahun lalu, adalah pertama kalinya saya berjejak di Long Ampung, dataran tinggi Apau Kayan. Daerah belantara ini terletak di perbatasan Provinsi Kalimantan Utara, Indonesia, dengan Negeri Sarawak di Malaysia. Apau Kayan merupakan satu dari dua wilayah perbatasan Indonesia di Kalimantan yang pada saat itu hanya dapat diakses melalui pesawat udara. Wilayah ini dihuni oleh kelompok etnis Kenyah, Kayan, dan Punan yang tersebar dalam beberapa desa.
Saat itu, jalan darat ke wilayah Indonesia belum ada. Sementara perjalanan melalui Sungai Kayan ke kota terdekat, Tanjungselor, berjarak 450 kilometer dan memakan waktu tempuh selama satu bulan.
Di samping itu, rintangan alam terbesar di sepanjang Sungai Kayan adalah rentetan jeram sepanjang 29 kilometer yang dikenal dengan Giram Ambun. Dibukanya jalur penerbangan pesawat perintis dari Samarinda ke Long Ampung sejak 1985 merupakan awal terbukanya keterisolasian daerah Apau Kayan dari wilayah lain di Indonesia.
!break!
Apau Kayan dihuni oleh kelompok etnis Kenyah, Kayan, dan Punan yang tersebar dalam beberapa desa. Pada kedatangan saya yang pertama, pola permukiman di Apau Kayan sedang berada dalam transisi, dari pola hidup komunal dalam rumah panjang (betang) ke permukiman individual.
Di Desa Nawang Baru, saat itu masih terdapat lebih dari enam betang, sedangkan di Long Nawang jumlah betang telah berkurang drastis akibat perpindahan banyak keluarga yang saat itu tengah berlangsung ke wilayah Sungai Boh, yang terhubung dengan wilayah hulu Sungai Mahakam. Perpindahan ini didorong oleh kelangkaan maupun mahalnya bahan-bahan kebutuhan pokok maupun berbagai pelayanan sosial seperti pelayanan kesehatan. Saat itu, satu liter minyak, baik minyak tanah maupun bensin, berharga empat kali lipat dari harga pasar yang normal di kota-kota besar.
Banyak orang melihat kelompok-kelompok etnis sebagai masyarakat yang terisolasi dan statis. Ini bertolak belakang dengan orang Apau Kayan. Sejarah mereka tidak dapat dipisahkan dari rangkaian peristiwa migrasi yang hingga kini pun masih berlangsung.
Perjumpaan saya dengan Pelencau Bilung, seorang tetua adat Kenyah saat itu, memberikan gambaran tentang sejarah suku Kenyah yang diawali di wilayah Sarawak
Menurut sejarah lisan mereka, suku Kenyah pada awalnya bermigrasi dari hilir Sungai Baram di Sarawak menuju ke dataran tinggi Usun Apau di dekat perbatasan Sarawak-Kalimantan. Dari sana, berbagai sub-kelompok (Leppo’ atau Uma’) berpindah lagi ke dataran tinggi Apau Da’a di hulu sungai Iwan yang terletak di Kalimantan. Dari sana, berbagai suku berpencar; ada yang kembali ke Sarawak, tetapi sebagian besar lainnya mengikuti aliran Sungai Iwan hingga ke Apau Kayan yang terletak di hulu Sungai Kayan.
Menurut perkiraan, migrasi ke Apau Kayan berlangsung selama paruh kedua abad ke-19. Sejak 1875, Apau Kayan dihuni oleh tak kurang dari delapan sub-suku Kenyah, yaitu Leppo’ Tau, Leppo’ Timai, Uma’ Kulit, Uma’ Bakung, Leppo’ Jalan, Uma’ Baka, Badeng dan Uma’ Tukung, ditambah etnik Kayan Uma’ Lekan, Punan Busang, Punan Aput dan Punan Oho.