Tapal Batas nan Gamang

By , Kamis, 26 Februari 2015 | 11:18 WIB

Tom sendiri meninggalkan banyak catatan tentang kisahnya di Long Nawang dan per­temanannya dengan tetua-tetua suku Kenyah di sana. Dia, misalnya, juga menulis bahwa “ukiran gaya Long Nawang merupakan ukiran dengan kualitas tertinggi yang pernah saya lihat di seluruh Borneo, dan karena itu saya mengundang teman-teman saya ke Kuching.”

!break!

Tom juga sempat meminta Pebit Ncuk, kepala Adat Besar Apau Kayan, untuk menulis artikel tentang Sanksi Adat Kenyah Leppo’ Tau dalam Sarawak Museum Journal. Artikel itu, berjudul Three Leppo Tau Punishment Stories yang terbit pada 1965, dan masih sempat dikirim ke Tom sebelum konfrontasi pecah.

Menurut Pegun, Tom juga berperan dalam melindungi orang-orang Kenyah dari Apau Kayan di Sarawak selama konfrontasi berlangsung. Antara 1963 hingga 1966, terdapat ratusan orang dari Apau Kayan yang tidak jadi dideportasi oleh pemerintah Malaysia karena perlindungan pribadi dari Tom Harrisson.

Pegun Dian juga bercerita kepada saya bahwa dia pernah menjadi satu dari sekitar 200 laki-laki Kenyah yang diminta membantu TNKU dalam penyerangan ke desa Long Jawe di Sarawak.

“Kami waktu itu tidak tahu maksud dari penyerangan itu. Kata tentara (TNKU), kita mau menyerang untuk memerdekakan Sarawak dari jajahan Inggris. Nah, kami diminta ikut untuk  mengajak warga Long Jawe mendukung Konfrontasi. Apalagi Long Jawe juga merupakan saudara kami pindahan dari Apau Kayan.”

 Setelah beberapa bulan latihan menembak di Sungai Iwan, Pegun dan rombongan langsung menuju ke Sarawak tanpa diberi kesempatan memberitahu keluarga mereka. Perjalanan ke Long Jawe ditempuh dalam dua minggu, termasuk usaha menyeret perahu-perahu melintasi pegunungan yang memisahkan sungai-sungai di Indonesia dan sungai-sungai di Malaysia. Penyerangan sendiri berlangsung dengan “sukses”: pos Gurkha berhasil di­lumpuhkan sementara warga Long Jawe yang ketakutan diminta tetap berdiam di dalam rumah panjang.

Selama penyerangan itu, ada saudara mereka yang pendeta juga turut memimpin kebaktian dalam rumah panjang supaya ibu-ibu tidak ketakutan. Kala itu mau berperang juga susah, demikian kenang Pegun. Mereka masih kelaparan karena selama dua minggu perjalanan mereka kurang makan. “Saya ingat ada yang menyerang pos perbekalan Gurkha dan langsung memakan gula pasir, sampai lupa perang,” kenang Pegun sambil tertawa.

Tiga hari kemudian, berita penyerangan telah dilaporkan ke tentara Inggris di Belaga dan usaha pengejaran pun dimulai. Rombongan penyerang diserbu oleh helikopter AU Inggris yang menyisir wilayah hulu sungai di dekat wilayah perbatasan.

“Kami waktu itu lari sampai kocar kacir. Ada yang berhasil kembali ke Long Nawang dalam waktu satu minggu, tapi ada juga yang pulang satu bulan kemudian dengan tubuh kurus kering,” kenang Pegun.

Dia melanjutkan, “Tapi, sekarang hubungan kami dengan Malaysia bagus sudah, saudara pun banyak di sana. Tahun 1967 kami membuat perjanjian perdamaian di Long Jawe, dan sejak itu, kami kembali bisa masuk dan bekerja di Sarawak dengan normal.”

Pegun, barangkali, adalah generasi terakhir yang mengalami kecairan hubungan antara Apau Kayan dengan Sarawak sebelum perbatasan kedua negara diformalkan. Meski secara de facto perbatasan masih dapat dilalui dengan mudah tanpa paspor, mereka yang dari Apau Kayan sekarang tidak dapat secara leluasa berkelana di Sarawak seperti halnya pada 1959, ketika mereka diundang secara resmi oleh Museum Sarawak tanpa perlu cemas soal legalitas dokumen. Berbeda dengan kosmopolitanisme generasi Pegun Dian, generasi sekarang hanya mengenal Sarawak sebatas kamp logging.

Sambil menutup perbincangan, saya mengamati bahwa Pegun Dian tidak lagi mengunyah daun sirih. Saya bertanya, mengapa dia tidak lagi nyepa (makan sirih)? Dia menjawab dengan tertawa lebar, “Saya ini baru saja pulang dari Mesir dan Israel atas bantuan biaya dari Dinas Agama Pemerintah Kabupaten Malinau. Masak sudah melihat Tanah Suci tapi masih nyepa?”

Sejarah panjang migrasi lintas negara dan konfrontasi memang telah memahat kepribadian orang Apau Kayan. Mereka cenderung moderat dan terbuka terhadap per­ubahan. Sebagai masyarakat yang lebih banyak melakukan aktivitas ekonomi di wilayah Sarawak, nasionalisme menjadi urusan yang semu, dan dalam berbagai sisi, tidak relevan.

Seiring dengan perubahan besar yang terjadi di Apau Kayan, transformasi seorang Pegun Dian pun belumlah usai.

---

Dave Lumenta, ahli antropologi dari Universitas Indonesia, juga menyukai fotografi. Saat senggang, ia kerap memainkan musik beraliran rock progresif.