Berdasarkan catatan controleur (petugas pengawas) Belanda, Van Walchren, jumlah populasi penduduk Apau Kayan diperkirakan mencapai puncaknya pada 1906, yakni sebanyak 19.600 jiwa. Sejak 1930, jumlah penduduk di Apau Kayan telah mengalami penurunan. Penurunan jumlah penduduk ini diperkirakan terkait erat dengan proses migrasi lanjutan yang didorong oleh terbuka lebarnya akses ke aliran sungai Balui dan Batang Rajang di Sarawak sejak perdamaian antara etnik Kenyah dan etnik Iban di Sarawak tercapai pada 1924.
Meski penduduk Apau Kayan merupakan petani ladang gilir balik yang dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan hidupnya, keterisolasian geografis menyebabkan suplai komoditas seperti garam dan berbagai barang-barang ritual seperti manik-manik, gong, dan kain belacu sulit diperoleh. Untuk memenuhi kebutuhan barang-barang penting ini, mereka sangat bergantung pada perdagangan barter dengan wilayah-wilayah hilir Pulau Borneo.
!break!Hasil hutan seperti batu geliga (bezoar stones), daun gambir, cula badak, getah perca, maupun damar dipertukarkan dengan komoditas-komoditas ini. Untuk melakukan ini, warga mengorganisasi ekspedisi-ekspedisi dagang, yang dikenal dengan istilah peselai (merantau), ke wilayah-wilayah pesisir.
Tingginya pajak garam yang dikenakan, baik oleh Sultan Kutai di hilir Sungai Mahakam maupun Sultan Bulungan di hilir Sungai Kayan, menyebabkan penduduk Apau Kayan enggan berdagang ke wilayah Kalimantan bagian timur. Mereka lebih memilih berorientasi dagang ke wilayah Sarawak, yang secara geografis menguntungkan, karena memiliki sungai-sungai yang lebih pendek dan mudah diarungi.
Kawasan Sarawak itu dikuasai oleh pemerintahan Vyner Brooke yang berpihak kepada perdagangan bebas, dan memiliki kedekatan akses ke Laut Tiongkok Selatan yang menjadi sentra bagi perdagangan batu geliga maupun cula badak. Satu-satunya halangan bagi akses masyarakat Apau Kayan ke pasar-pasar di wilayah Sarawak adalah perseteruan mereka dengan suku-suku Iban di Batang Rajang, yang berujung pada perang pengayauan (headhunting) antara 1921-1923.
Pada 1924, pemerintahan Brooke di Sarawak mensponsori sebuah perjanjian perdamaian di antara keduanya untuk melancarkan arus komoditas dari Apau Kayan ke wilayah Sarawak. Salah satu dampak lanjutannya adalah perpindahan beberapa kampung dari Apau Kayan ke Sarawak, untuk mendekati akses pasar maupun pasokan barang-barang.
Meski Apau Kayan secara resmi berada dalam kekuasaan kolonial Belanda sejak 1911, eksodus beberapa kampung maupun orientasi mobilitas masyarakat Apau Kayan ke Sarawak menjadi salah satu halangan utama bagi Belanda untuk mengintegrasikan wilayah Apau Kayan secara efektif ke dalam wilayah jajahannya. Kondisi ini juga dialami pemerintah Indonesia, hingga awal tahun 2000-an.
Sejak Indonesia merdeka, kebutuhan akan akses ke pasar, pelayanan kesehatan, maupun pendidikan telah menyebabkan eksodus besar-besaran dari Apau Kayan, baik ke wilayah hilir di Kalimantan Timur maupun ke Sarawak. Pemerintah Indonesia di satu pihak memfasilitasi perpindahan ini melalui program Resettlement Penduduk (RESPEN) selama 1970-an, namun tidak dapat mencegah perpindahan ke Sarawak.
Sebagai contoh, pada 1966, kampung Long Betaoh pecah menjadi dua, ketika delapan rumah panjang pindah dan mendirikan kampung baru di Long Busang, di hulu sungai Balui. Peristiwa ini disusul oleh perpindahan kampung-kampung lainnya, hingga periode 1990-an, yakni kampung Long Metulang pada 1972 ke Long Singut di Batang Baleh, perpindahan kampung Long Ikeng dari Sungai Iwan ke Long Unai pada 1984. Lalu, disusul juga dengan sebagian penduduk Long Metun yang bergabung ke Long Unai pada 1992-1993.
Namun, perpindahan beberapa desa ke wilayah Sarawak ini tidak sampai memutus rantai keterhubungan komunitas adat Kenyah.
Bagi sebagian masyarakat Apau Kayan, desa-desa Kenyah di wilayah Sarawak ini masih dianggap sebagai bagian integral dari wilayah Apau Kayan. Mereka tidak menganggap batas administrasi negara sebagai hal yang penting.
!break!Saya kembali ke apau kayan melalui jalan darat dari wilayah Sarawak pada musim kemarau 2013. Perjalanan ini ditempuh selama tiga hari dari Kota Sibu di pesisir barat Sarawak yang menjadi pintu gerbang menuju pedalaman sungai Batang Rajang. Perjalanan selama dua hari ditempuh dengan kapal cepat komersial melalui Kota Kapit hingga ke titik akhir layanan kapal-kapal ekspres di sebuah dermaga kayu balak di Putai.