Saya melakukan perjalanan dari Long Busang ke Long Nawang melalui jalan balak sekitar 150 kilometer. Jika ditarik garis lurus, sejatinya jarak antara Long Busang dan Long Nawang hanya sekitar 80 kilometer, jarak yang terbilang cukup dekat untuk konteks pedalaman Kalimantan.
Perjalanan melintas batas sekarang dapat ditempuh langsung dengan mobil. Sepuluh tahun silam, perjalanan masih harus dilakukan dengan berjalan kaki sepanjang 16 kilometer dari ujung jalan di Sarawak, hingga awal dari jalan yang menghubungkan perbatasan dengan camp BBM di Sungai Pengian.
Namun, sekarang kondisi perbatasan agak berubah. Selain jalan kasar yang telah menyambungkan jalan antar dua negara, perbatasan di Indonesia sekarang ditandai oleh hadirnya pos pengamanan perbatasan Tentara Nasional Indonesia. Kini, camp BBM sudah tidak ada, dan sebuah jembatan kokoh telah dibangun di atas Sungai Pengian, menyambung jalan dari perbatasan hingga Desa Long Nawang.
Pemandangan juga telah berubah. Jalan-jalan setapak yang dulunya menghubungkan desa-desa di Apau Kayan telah digantikan oleh jalan mobil. Suara-suara mesin perahu pun telah digantikan oleh deru mobil dan motor. Sebuah kesan keterasingan menghinggapi saya. Episode waktu yang diisi oleh perjalanan-perjalanan berperahu, dan perjalanan jalan kaki selama berjam-jam dari kampung ke kampung telah menjadi bagian dari sejarah.
!break!Dari semua tetua yang pernah saya jumpai, Pegun Dian adalah satu-satunya penyintas yang masih tersisa. Semua bapak angkat saya lainnya, PeUbang Ding dan Pelencau Bilung, telah tiada. Dalam kunjungan sebelumnya, saya gagal menemui Pegun karena dia sedang mengurus penjemputan jenazah keponakannya, yang meninggal akibat kecelakaan logging di Sarawak.
Dia sekarang berumur di atas 80 tahun. Saya pertama kali mengenalnya sebagai Kepala Desa Nawang Baru yang memiliki semangat bercerita yang tinggi. Saya masih ingat satu ciri khasnya: mulut yang selalu kemerahan akibat kunyahan daun sirih. Pada kali ini, saya bersemangat untuk melanjutkan wawancara yang telah terhenti selama 10 tahun. Saya mendapat beberapa kisah menarik tentang dirinya selama di Sarawak.
Siapa pun yang pernah mengunjungi Sarawak Museum (kini Muzium Etnologi) di Kuching pasti akan mengingat sebuah lukisan ukiran khas Kenyah raksasa di dinding dalam gedung tersebut. Beberapa catatan dari museum menunjukkan bahwa lukisan itu dikerjakan oleh beberapa seniman ukir yang berasal dari Long Nawang antara 1959-1960.
Salah satu seniman ukir itu bernama Tusau Padan, yang kemudian memutuskan untuk menetap di Sarawak dan mendapat penghargaan dari pemerintah Sarawak sebagai salah satu pelestari budaya Kenyah.
Saya sendiri berusaha untuk menggali kisah kedatangan para seniman ini, namun hampir semuanya telah meninggal dunia. Ironisnya, di Sarawak saya memperoleh informasi bahwa masih ada satu anggota rombongan ini yang masih hidup di Long Nawang—meski saat itu dia merupakan anggota termuda dan pembantu rombongan. Saya juga memperoleh cerita lain bahwa pemuda yang sama juga ikut dalam rombongan tentara TNKU yang menyerang pos Gurkha di kampung Long Jawe pada September 1963, di masa awal konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia.
Ternyata orang ini bernama Pegun Dian.
Pegun berkata, awal keberangkatan para seniman Kenyah dari Apau Kayan ke Kuching adalah berkat undangan pribadi dari Tom Harrisson, yang pada 1959 menjabat sebagai Direktur Sarawak Museum.
“Tuan Harrisson itu memang teman baik orang-orang tua kami, karena waktu Perang Dunia Kedua, dia diterjunkan dengan payung ke sungai Bahau untuk mencari informasi intelijen tentang kekuatan pasukan Jepang di Long Nawang. Dia kerja untuk tentara Australia,” kenang Pegun. “Itu pertama kalinya orang Kenyah melihat parasut, dan karenanya dia kami panggil Tuan Payung.”