Tapal Batas nan Gamang

By , Kamis, 26 Februari 2015 | 11:18 WIB

 Mulai dari sini, perjalanan ke Long Nawang di Apau Kayan melalui jalan logging sepanjang kurang lebih 240 kilometer. Saya bisa menumpang truk-truk kayu balak atau mobil-mobil pikap milik penduduk pedalaman. Sepanjang jalan ini, hanya terdapat tiga kampung yang dapat diakses, dan semuanya merupakan desa perpindahan dari wilayah Apau Kayan di Indonesia.

Salah satunya adalah kampung Long Busang, yang dihuni oleh etnik Kenyah Badeng yang pindah pada 1966 dari Long Betaoh di Apau Kayan. Pada awalnya, saya mampir ke Long Busang untuk melihat suasana perayaan hari raya Idul Fitri di sana. Long Busang adalah satu-satunya kampung Kenyah yang memiliki penganut Islam. Pejawa Bilung, ketua kampung Long Busang, pernah berkisah kepada saya lima tahun sebelum dia meninggal. Keberadaan penganut Islam, ungkap Pejawa, tidak bisa dipisahkan dari sejarah perjuangan kampung Long Busang yang mendapat pengakuan resmi dari Pemerintah Malaysia sesudah perpindahan mereka dari Long Betaoh.

Cerita perpindahan ini berawal dari masa konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia yang terjadi pada kurun 1963-1966. Menurut cerita, sebuah patroli pasukan Gurkha pada awal 1965 berhasil menyusup dari Sarawak ke Long Betaoh yang merupakan wilayah Indonesia, sekaligus desa pertama di garis perbatasan kedua negara. Karena tidak terlalu mengerti konteks konflik konfrontasi maupun implikasi dari perbuatannya, Pejawa Bilung sebagai kepala desa mempersilakan mereka beristirahat untuk beberapa hari dalam rumah panjang mereka. 

Kejadian ini pada awalnya tidak diketahui oleh tentara Indonesia maupun pasukan gerilya Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) yang saat itu berbasis di Long Nawang. TNKU sendiri merupakan gabungan dari para pemberontak Brunei maupun Sarawak yang pada saat itu menentang berdirinya negara Federasi Malaysia.

!break!

Ketika itu, tokoh gerakan kemerdekaan Sarawak, Ahmad bin Zaidi, merupakan salah satu pimpinan TNKU yang bersembunyi di Long Nawang dari kejaran pasukan Malaysia dan Inggris. Selama berada di Apau Kayan, Ahmad berteman baik dengan para kepala kampung di Apau Kayan, termasuk Pejawa.

Peristiwa penyusupan pasukan Gurkha ini akhirnya diketahui oleh komandan tentara Indonesia, dan Pejawa mendapat sanksi keras. Menurut paparan anaknya, Pejawa dipaksa berjemur di bawah sinar matahari selama beberapa hari di Long Nawang, dan sempat dibawa selama beberapa bulan ke Jakarta untuk diinterogasi. Sebagai hukuman, hewan peliharaan masyarakat Long Betaoh ditembaki oleh tentara, dan perahu-perahu mereka ikut dirusak. Sejak kejadian itu, hubungan masyarakat Long Betaoh dengan kampung-kampung lain di Apau Kayan menjadi dingin, meski mereka sebetulnya masih memiliki ikatan-ikatan kekerabatan.

Selama konfrontasi berlangsung, berbagai kelompok peselai dari Long Betaoh juga tertahan di Sarawak dan tidak diperbolehkan pulang ke Apau Kayan karena dikhawatirkan mereka akan memberikan data intelijen kepada tentara Indonesia di Long Nawang. Meski demikian, kelompok-kelompok peselai ini diperbolehkan oleh pasukan Gurkha mendirikan kampung sementara di  hulu sungai Balui, Long Iran, hingga konfrontasi berakhir.

Long Iran sendiri berjarak sekitar 40 kilometer dari Long Betaoh, relatif dekat untuk ukuran jarak di Borneo. Saat konfrontasi berakhir pada 1966, mereka yang telah ber­mukim di Long Iran mengajak sanak keluarga mereka di Long Betaoh untuk bergabung.

Pertimbangan akan kemudahan akses ke pasar di Sarawak ditambah dengan me­renggangnya hubungan masyarakat Long Betaoh dengan tentara Indonesia maupun penduduk lain di Apau Kayan, mendorong hampir seluruh masyarakat Long Betaoh pindah ke Long Iran, di bawah pimpinan Pejawa. Kecilnya ketersediaan lahan di Long Iran mendorong mereka untuk mencari tempat yang ideal, yang memiliki kapasitas cukup.

Pilihan jatuh pada Long Busang, yang berjarak sekitar 35 kilometer ke arah hilir. Sejak tahun 1969, perpindahan warga ke Long Busang pun rampung.

!break!

Saya berjumpa dengan Yusuf Zawawi, Tua Kampong Long Busang yang juga merupakan putra dari Pejawa. Dia bercerita kepada saya, bahwa masuknya sebagian penduduk Long Busang menjadi Islam tidak bisa dipisahkan dari pertemanan Pejawa Bilung dan Ahmad Zaidi yang terjalin sejak masa konfrontasi di Long Nawang.

Ahmad telah kembali ke Sarawak selepas konfrontasi dan direhabilitasi oleh pemerintah Malaysia. Dia kembali menjadi tokoh politik penting di Sarawak sejak 1970-an, bahkan diangkat sebagai Yang Dipertua Negeri Sarawak antara 1985 hingga kematiannya pada 2000. Salah satu halangan yang pertama kali dihadapi Long Busang adalah legalitasnya sebagai kampung yang telah berpindah negara.