Selepas sirnanya semburat lembayung di ufuk barat, warga Kampung Timur dan Kampung Bali di pinggang Gunung Tambora seketika gelagapan. Sugeng Purnomo, lelaki berbadan tegap dan berambut ikal, memandangi sisi timur dari beranda rumah kayunya yang bersahaja. Sugeng terperangah. Dia melihat lereng gunung itu telah merah membara. Api menjalar begitu cepat ke arah permukiman. Dalam suasana kacau dan panik, dia segera mengunci pintu rumah dan bergabung dengan warga lain untuk mengungsi. Hanya satu tujuan dalam benaknya: Selamat dari terjangan lahar.
Peristiwa ini bukanlah kepanikan karena erupsi Gunung Tambora pada April 1815, melainkan situasi mencekam pada akhir Oktober, empat tahun silam. Sugeng teringat, sekitar dua bulan sebelumnya, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah menaikkan status Tambora dari waspada menjadi siaga. Alasannya, aktivitas di kaldera gunung api tersebut kian aktif sejak beberapa bulan sebelumnya.
Namun, tidak semua warga turun untuk mengungsi. "Warga kampung Bali bersiaga di rumah karena menurut mereka kalau binatang sudah turun, mereka akan ikut turun," kenang Sugeng kepada saya. Dia memutuskan untuk segera mengungsi. "Kelihatan sekali, api itu meluas dengan cepat. Logika kita itu mungkin lahar."
Apakah Tambora benar melelehkan laharnya? Pada akhirnya Sugeng dan warga lainnya mengetahui bahwa peristiwa yang baru saja mereka alami bukan lelehan lahar. Warga sekitar gunung api biasanya mempunyai teladan kearifan tentang tanda-tanda alam jelang meletusnya gunung. Namun, warga Tambora tampaknya tidak mewarisi keahlian tersebut karena mereka merupakan pendatang yang umumnya mulai mendiami kawasan ini pada paruh kedua abad ke-20. "Ternyata hutan yang waktu itu kebakaran—dan tidak ada kaitannya dengan letusan," kenangnya kepada saya. "Karena kurangnya informasi, kami menganggap itu lahar yang turun."
"Letak kebakaran itu sekitar sepuluh kilometer dari sini," ujar Sugeng di beranda rumahnya. "Menurut informasi kebakaran itu terjadi karena ulah pemburu". Dia menjelaskan bahwa hutan sekitar Tambora dibakar secara sengaja oleh para pemburu rusa. Dengan membakar hutan, para pemburu dapat dengan mudah menemukan rusa-rusa yang kerap berlindung di semak hutan. "Gunung Tambora," Sugeng berkata, "kalau saya perhatikan beberapa tahun terakhir memang sering terbakar."
Sehari-hari, Sugeng merupakan pengajar honorer di SDN Tambora di Oibura. Desa ini merupakan permukiman terakhir yang berjarak sekitar 12 kilometer dari kaldera. Lokasinya berada di jantung kebun kopi. Di bekas kawasan pabrik dan permukiman buruh perkebunan kopi itulah sekolah dasar mungil tempat Sugeng bekerja telah berdiri. Ruangan kelasnya hanya ada tiga: ruang pertama untuk kelas satu dan dua, ruang kedua untuk kelas empat dan enam, dan ruang ketiga untuk kelas lima dan tiga. Sementara, ruang guru berupa lincak yang berada di bawah ketuduhan pohon rambutan.
Sugeng lahir di pinggang Tambora, lebih dari tiga dekade silam. Ayahnya, yang berasal dari Pati, Jawa Tengah, merantau ke Tambora sebagai petugas keamanan perkebunan kopi pada akhir 1970-an. Kini, sang ayah telah menduduki jabatan sebagai Kepala Perkebunan Kopi Afdeling Besaran di Oibura, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Kini, Pemerintah Kabupaten Bima menguasi sekitar 500 hektare kebun kopi ini.
Keluarga Sugeng merupakan salah satu keluarga pendatang yang turut melanjutkan peradaban baru di kawasan nan senyap ini. Menurut sejarahnya, perkebunan kopi ini merupakan denyut baru di seputaran Tambora sejak 1897. Buruh-buruh kebun kopi yang didatangkan dari berbagai daerah telah beranak-pinak membentuk permukiman di sisi barat Tambora.
Kampung Timur, toponimi yang tercipta karena sebagian besar warganya berasal dari Flores. Sementara, Kampung Bali, umumnya pendatang asal Lombok dan Bali. Keduanya merupakan sebagian dari kampung hasil pemekaran wilayah pada lima tahun silam.
Sugeng berkisah kepada saya, sebulan setelah terjadinya kebakaran hutan dan masih dalam suasana siaga bencana gunung api, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bima menggelar Pelatihan Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim. Sugeng berkesempatan menjadi salah satu pesertanya. "Pada hari pertama dan kedua peserta banyak," ungkap Sugeng. "Setelah itu hanya beberapa orang sisanya."
Sugeng mengatakan dalam pelatihan itu dijelaskan materi seputar titik-titik evakuasi dan persiapan supaya tidak terjadi bencana. Namun, dia kecewa lantaran program dalam pelatihan tersebut tidak sampai menjangkau materi lapangan berupa evakuasi bersama warga. "Pelatihan belum menyentuh ke masyarakat. Lebih ke teori. tidak ada praktek," ungkapnya. "Waktu pelatihan itu cenderung pembahasan umum."
Sugeng hapal betul situasi hutan di Tambora. Selain sebagai guru, Sugeng juga merupakan ketua MAPATA (Masyarakat Pecinta Alam Tambora) yang kerap mengantar para pelancong menyambangi puncak gunung itu. Setidaknya ada lima jalur pendakian menuju puncak gunung tersebut, salah satunya dari Desa Oibura.
Namun, Sugeng adalah tipe petualang yang degil. Dia berkata jujur kepada saya bahwa beberapa hari setelah Tambora dinyatakan siaga atau sebelum terjadinya peristiwa kebakaran tadi, dirinya justru mendaki sendirian menuju puncak gunung itu. Sugeng menyadari aksinya ini sebagai petualangan terlarang, namun di sisi lain dia ingin menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana situasi kaldera Tambora kala itu. "Sebenarnya tidak begitu berbeda dengan biasanya," ujarnya. "Sesekali terjadi gempa. Longsoran kaldera terdengar sering, namun tidak ada magma yang keluar."