SAYA MENITI JALAN TANAH yang merupakan salah satu rute utama menuju puncak Tambora. Saya menjumpai Haji Zuaril Buyung yang sedang berkebun di pekarangan rumahnya. Lelaki gempal itu berasal dari Payakumbuh, yang sebagian rambutnya sudah memutih.
Buyung pernah menjabat manajer produksi dari satu-satunya perusahaan penebangan kayu yang merambah hutan sisi barat Gunung Tambora pada akhir 1970-an hingga 1990-an. Tugasnya, bertanggung jawab atas proyek pembukaan hutan hingga pengiriman kayu-kayunya.
Sebagai seorang nomor satu di proyek tersebut, kediamannya sungguh tidak mencerminkan prestasi besarnya: rumah sederhana dan berdinding kayu. Satu-satunya kemewahan yang tampak adalah kebun kopi milik Buyung seluas tujuh hektar yang menghampar di kiri dan kanan jalan menuju rumahnya.
"Satu tahun 50.000 meter kubik harus dapat, kalau tidak dapat bisa kena denda," ujar Haji Zuaril Buyung. "Dan, itu selalu terpenuhi!"
"Setiap meter kubik yang masuk kas negara 10 dollar 50 sen! Itu royalti yang masuk kas negara," ujarnya mengenang masa-masa keemasannya. Jenis pohon yang ditebang adalah kalanggo, yang menurutnya, jenis yang sama bisa ditemui di Papua dan Kepulauan Solomon. "Diameter yang diambil 60 sentimeter ke atas."
Dalam proyek pembukaan hutan tersebut, Buyung telah mengukir pinggang Tambora dengan membuka jalan sejauh 45 kilometer dari Calabai hingga Kawinda. Jalan dan juga jembatan dirancang untuk lintasan truk-truk pengangkut kayu.
Ketika menggarap jalan di sekitar kebun kopi itulah dia menyaksikan singkapan harta karun seperti aneka guci Cina, baik pecah maupun utuh. Banyak juga warga yang menemukan ratusan keris yang mereka pakai sendiri untuk jimat. Namun, temuan spektakuler Buyung adalah "uang VOC berangka tahun 1705 sebanyak satu karung beras, masih dalam peti kayu yang telah rapuh!" Lalu dia melanjutkan, "Saya juga pernah dapat tulang jari manusia berikut dengan cincinnya!"
Buyung tidak mengoleksi satu pun barang temuan dari Tambora. Dia mengatakan kepada saya bahwa ada temuan yang dibuang kembali karena dia takut menerima kutukan, sebagian diserahkan kepada bosnya yang asal Singapura. Buyung berkata dengan bangga tentang imbalan dari bosnya, "Saat kembali, dia memberikan jam tangan, radio, tustel."
Saya bertanya kepada Buyung, apakah dia menyadari sepenuhnya bahwa penebangan hutan pada tiga dekade silam telah menyebabkan banjir besar di kaki Tambora beberapa tahun silam?
"Kalau kita ada aturan," ujar Buyung. "Tebang pilih bukan tebang habis." Dia mengungkapkan pedoman kerja dari pemerintah bahwa satu hektare hutan harus tinggalkan satu kalanggo. "Waktu zaman kita utuh hutan itu," kilahnya, "yang menghabiskan justru illegal logging. Kalau saya legal."
Semasa dia bekerja, demikian ungkap Buyung, tidak ada pembalakan liar. Kejahatan itu mulai marak sekitar satu dekade silam hingga sekarang, ujarnya. "Kita tahu, perusahaan mengambil hanya duabanga," ungkapnya. "Kalau illegal logging yang tidak diambil hanya maladi. Semua kayu sebesar paha pun diambil."
Buyung mengatakan kepada saya bahwa pemerintah telah mengeluarkan izin proyek pembukaan hutan di sisi selatan Tambora, Kabupaten Dompu. Dia menyebut nama sebuah perusahaan bidang agrobisnis, perkebunan, dan kehutanan di Kuningan, Jakarta Selatan, yang kelak mengeksekusi proyek ini. Awal tahun lalu Kantor Berita Antara telah mewartakan, perusahaan swasta tersebut menggalang kesepakatan kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat untuk merentangkan hutan tanaman industri seluas 30.000 hektare di pinggang Tambora.
"Saya dipanggil lagi, sebagai manajer produksi lagi!" Buyung berujar sambil berbinar. "Mulai tahun ini."
Apakah melindungi hutan dari pembalakan liar dengan cara membuatnya menjadi hutan tanaman industri merupakan langkah yang arif untuk pelestarian hutan di Indonesia?
!break!"HUTAN DI SINI SUDAH RUSAK," ujar Sugeng pada suatu pagi kepada saya."Ironis sekali melihat keadaan alam kita seperti ini." Ketika Sugeng melakukan survei lapangan bersama Pusat Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Denpasar, mereka pernah memergoki sekelompok orang yang sedang menebangi pohon di tepian Kali Sorisumba yang mengering. Sugeng terkesiap, ternyata mereka telah memiliki kerja sama dengan seorang oknum di Kantor Unit Pelaksana Teknis Dinas Kehutanan di Kecamatan Tambora. "Saya siap bertanggung jawab karena ada saksinya."
Sebagai seseorang yang lahir dan tumbuh besar di kawasan Tambora, dia mengungkapkan bahwa tidak pernah terjadi keanehan alam sebelum pembalakan liar merajalela. Keanehan yang Sugeng maksud adalah beberapa mata air telah berhenti memberikan berkahnya kepada warga Tambora, termasuk sungai Sorisumba yang pernah meluap puluhan meter pun kini telah mengering. "Sorisumba setahun lalu, saya masih bisa mandi dan masyarakat mencuci di sungai itu," kenangnya getir.
Sugeng mengatakan ada empat dari enam mata air yang menghidupi desanya kini telah mengering. "Satu mata air yang mengaliri Sorisumba, satu mata air di perbatasan desa, dua dari tiga mata air di antara Pos I dan Pos II dalam jalur pendakian, dan satu mata air di sebuah pura di Kampung Bali yang nyaris mati," ujarnya. "Kalau tidak ada pura, hutan sudah habis."
Pada masa silam, perusahaan pembukaan hutan memang tidak melakukan reboisasi, ungkap Sugeng. Namun, lanjutnya, mereka masih menghormati kearifan warga setempat untuk tidak menebang pohon di sekitar kawasan mata air. Sementara, Sugeng menuding bahwa pembukaan hutan secara liarlah yang telah memperburuk kondisi hutan di pinggang Tambora.
"Ini sudah terjadi," Sugeng berkata. Curah hujan menjadi tidak menentu sehingga hampir tiap tahun menyebabkan penurunan panen bagi warga yang bertani padi ladang. Dia juga mendapat keluhan dari warga Pekat, sisi barat daya Tambora bahwa tanaman padi mereka menguning sebelum berbuah karena kekurangan air saat menanam.
"Saat tanam tidak ada hujan. Saat pembuahan juga tidak ada hujan. Saat panen tiba justru banjir," ujarnya. Dia memberikan contoh kegetiran warga desanya, "Dahulu 10 kilogram bibit bisa menghasilkan 25 kwintal," ujarnya. "Tahun ini hanya 6 kwintal."
Seantero dunia bergempita mewartakan kenangan dua abad erupsi megakolosal Tambora jelang April tahun ini. Tambora telah menjelma sebagai petaka gunung api yang sempurna sepanjang dua milenium terakhir. Dampaknya tak hanya menjadi petaka di Pulau Sumbawa, tetapi juga petaka musim dingin tak berkesudahan di Eropa dan Amerika Utara sepanjang 1816-1817.
Namun, sedikit orang yang mewartakan bagaimana kehidupan manusia yang mendiami pinggang gunung api itu. Apakah mereka merasa bangga atas tanah leluhurnya yang melegenda atau gelisah tentang petaka berikutnya?
Sugeng tidak dapat menduga kapan gunung ini bakal meletus kembali. Kendati demikian, dia meyakini kemungkinan besar letusannya tidak sampai keluar dari kaldera akbar—yang menganga lebar dan dalam akibat petaka erupsi 1815. Tambora telah menciptakan perisai bagi warga yang mendiaminya kini. Apalagi jarak kaldera dan desanya sekitar belasan kilometer. "Aman," ujarnya. "Kecuali kuasa Tuhan."
Namun, bukan berarti tidak ada petaka lain di Tambora. "Saya khawatir banjir ada di atas," tutur Sugeng dengan rona cemas terpancar di matanya. "Saya tidak tahu siapa yang harusnya bertanggung jawab."
Simak suasana tatkala Gunung Tambora menggelegar pada 10 April 1815 dan sisi lain kisah sejarah dan arkeologinya, yang hanya dapat dinikmati secara khusus di majalah National Geographic Indonesia edisi April 2015