Petaka Baru Bagi Tambora

By , Senin, 23 Maret 2015 | 20:23 WIB

Kemudian saya bertanya tentang legenda kuda asal Tambora yang konon banyak digunakan sebagai kuda pacu di Bima. Suparno mengatakan masih menyaksikan kuda-kuda berkeliaran di Tambora sekitar 30 tahun silam. Namun, ungkapnya, sejak awal 1990-an warga di Tambora sudah tidak ada yang memelihara kuda lagi lantaran pasokan air minum telah mudah diperoleh—demikianlah akhir sang kuda legenda. "Dulunya kuda digunakan untuk mengambil air," kata Suparno. "Sekarang, orang lebih memilih menggunakan sepeda motor. Apalagi sekarang sudah ada mobil angkut."

Semakin seringnya gerombolan monyet merambahi pekarangan Rumah Atas tampaknya juga menjadi tengara tentang alam yang berubah. "Gangguan monyet ini tingkatannya sudah profesor," ungkap Suparno dengan gemas. "Dulu monyet tidak pernah makan batang. Kenapa dia makan batang? Karena kayu hutan sudah ditebangi sama orang. Apapun pohon berbuah yang ada di hutan sudah ditebangi. Apa yang mau dimakan monyet di sana? Mau ngga mau ke kampung-kampung."

Kemudian Suparno menunjuk pohon di depan Rumah Atas. "Ini rambutan tidak panen. Sudah keduluan dihajar habis sama monyet," ujarnya dengan aksen Jawa. "Kopi, bagian dagingnya, juga dihajar sama monyet. Nangka juga begitu. Kita bungkus pun dibongkar sampai jatuh nangkanya. Habis!"

!break!

SAYA TERMANGU DI BAWAH POHON OWO yang tingginya setara gedung berlantai delapan. Pohon ini sudah seratusan tahun lebih, dan kini menjulang di angkasa Dusun Soribura. Di dahan-dahannya tersemat beberapa sarang lebah yang tampak menggunung. Pantaslah warga setempat menyebut kawasan lereng Tambora ini dengan julukan "Lembah Madu".

Muslim, seorang lelaki 30-an tahun, menstandarkan sepeda motornya tak jauh dari pohon tersebut. Selama setahun terakhir, dia menjabat sebagai Kepala Dusun Soribura, Tambora. Pohon owo yang menaungi kami berdiri merupakan tinggal satu-satunya di dusun ini, demikian tukas Muslim. "Semua masyarakat Soribura tahu kalau pohon dan sarang lebah ini dipelihara," ujarnya. "Kalau ada yang mencoba-coba ambil, bukan urusan desa lagi, tapi polisi."

Dalam mencari madu hutan pun warga mempunyai kiat untuk kelestarian. Mereka hanya mengambil separuh sarang lebah, sementara separuhnya lagi tetap dibiarkan di pohon supaya lebah-lebah itu tak berpindah ke lain pohon.

Pohon owo, demikian warga Tambora menyebutnya. Pohon yang diduga usianya lebih dari seratus tahun ini menjadi tempat bersarang lebah-lebah madu. Tambora sohor akan madunya, namun beberapa tahun belakangan panen madu kian menyusut seiring pembukaan hutan di kawasan ini. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

Tambora sohor akan madunya. Namun, seiring dengan kian melangkanya sarang lebah di kawasan ini, warga bersepakat untuk "memonumenkan" pohon owo ini. Suatu inisiatif pelestarian yang berkelanjutan karena berawal dari warga sendiri, namun juga suatu keprihatinan lantaran memburuknya indikator lingkungan Tambora—hutan yang kian menggundul.

Muslim mengatakan biasanya warga mencari madu di pepohonan hutan pada Agustus dan September, bulan bagus untuk memanen madu yang berwarna merah. Sementara kualitas terbaik adalah madu yang berwarna putih, dipanen setiap September. "Tempat dekat puncak, bersarang di batu-batu atau di jurang-jurang," tuturnya. "Satu sarang paling tinggi dua botol." Harga pun sepadan dengan kelangkaannya. "Satu botol—kemasan air minum ukuran sedang—madu putih harganya 500 ribu. Madu merah 100 ribu."

Biasanya satu kelompok pemburu madu terdiri atas empat orang dan waktunya bisa berhari-hari, demikian Muslim berkisah tentang kebiasaannya. "Satu orang naik,dua orang membawa pulang madu, dan satu orang sebagai juru masak selama perjalanan."

Beberapa dekade silam, tatkala Muslim masih kanak-kanak, satu kelompok bisa mendapatkan satu drum madu dalam semusim. Artinya satu orang bisa memperoleh bagian sekitar delapan jeriken ukuran 20 liter. Namun, sekitar sepuluh tahun silam, biasanya satu orang mendapatkan madu sejumlah tiga jeriken ukuran 20 liter. "Sekarang berempat menghasilkan empat jeriken ukuran 5 liter."

"Sekarang madu jarang, tidak seperti dulu," keluh Muslim kepada saya. Pohon-pohon telah banyak ditebang , akibatnya sarang lebah pun melangka. Pun, tahun kemarin Muslim tidak turut mencari madu ke hutan dengan alasan tersebut.

Warga sudah sejak lama memanfaatkan kayu hutan untuk keperluan bertahan hidup dan penebangannya pun tidak masif. Muslim mengatakan, "Dulu ambil kayu untuk membuat rumah,kayu-kayu kecil. Sekarang pakai chainsaw untuk menebang kayu-kayu besar."