Petaka Baru Bagi Tambora

By , Senin, 23 Maret 2015 | 20:23 WIB
!break!

SELAMA SEKITAR SERIBU TAHUN Gunung Tambora terlelap, sebelum mulai tampak aktif pada 1812. Amarahnya berkecamuk pada 5 April 1815, dan mencapai puncaknya pada 10-11 April. Cerita tentang aktivitas Gunung Tambora pada masa sebelumnya tidak pernah tercatat oleh masyarakat. Sama sekali tidak ada sejarah yang bercerita tentang seperti apa karakter Tambora, bahkan tinggi gunung sebelum letusan yang kini beredar pun merupakan perkiraan.

“Ini lokasinya,” ujar Awang Harun Satyana menunjukkan hasil pancaran layar proyektor berupa peta Pulau Sumbawa kepada saya. Tampak Gunung Tambora bersemayam di Semenanjung Sanggar, pesisir barat laut. Awang merupakan ahli geologi senior dan instruktur dalam Geotrek Indonesia, sebuah komunitas nirlaba pencinta warisan geo-histori Indonesia—warisan sejarah alam dan budaya Indonesia.

“Sebenarnya Semenanjung Sanggar sendiri dibangun oleh gunung api karena tubuh gunung api Tambora itu melebar kemana-mana,” ujar Awang. “Di sebelah selatannya kita punya Teluk Saleh. Pulau Moyo pun diperkirakan produk purba dari Gunung Tambora, termasuk Teluk Saleh ini kemungkinan adalah semacam kaldera yang runtuh.”

Hujan deras mendera sebuah permukiman di pinggang Tambora, sesaat sebelum gunung itu bererupsi dahsyat. Lalu, hujan abu dan gemuruh mulai meneror warga untuk segera mengungsi. Malangnya, luncuran awan panas telah menerjang permukiman sebelum semua warga meninggalkan desa, mungkin kala erupsi megakolosal pada 10 April 1815. Selama beberapa tahun terakhir, ahli arkeologi berhasil mengidentifikasi kembali repihan permukiman itu: Deretan rumah berpanggung nan bersahaja, beratap ijuk dan berdinding anyaman bambu. (Sandy Solihin)

Awang mengungkapkan bahwa peristiwa erupsi megakolosal 1815 telah memuntahkan lebih dari 100 kilometer kubik material dan membentuk kaldera sekitar enam hingga tujuh kilometer. Bahkan ketinggian aerosolnya hingga 43 kilometer. Apabila dibandingkan dengan energi erupsi Krakatau pada 1883, energi yang dilampiaskan Tambora adalah empat kali lipatnya, demikian ungkap Awang.  Dalam indeks letusan gunung apinya, atau Volcanic Explosivity Index (VEI), mencapai angka 7 dalam skala 8.

“Area sekitarnya berguncang,” kata Awang, “Sehingga Laut Flores dan sekitarnya mengalami tsunami hingga ke Maluku setinggi empat meter!”

!break!

Korban yang tewas karena dampak langsung erupsi Tambora sekitar 11.000 sampai 12.000 orang. Di Indonesia, ungkap Awang, total yang binasa—entah karena dampak langsung awan panas, penyakit, dan kelaparan—jumlahnya sekitar lebih dari 71.000 jiwa pada 1815. “Tapi di Eropa,” lanjutnya, “sekitar 200 ribu tewas pada tahun berikutnya.”

“Tambora menyediakan satu contoh yang sangat baik yaitu volcanic winter atau musim dingin yang disebabkan oleh letusan gunung api,” papar Awang. Besarnya energi letusan ini telah menginjeksi tebaran abu yang sangat halus dan gas sulfur, hingga memasuki lapisan stratosfer dan menjadi awan abu stratosfer dan aerosol. Tersebarnya partikel halus zat padat atau cairan dalam gas atau udara inilah yang mempengaruhi iklim. Atmosfer bak perisai yang menangkis sinar matahari, sehingga terjadi penurunan suhu di Bumi.

“Nah, itulah yang menyebabkan volcanic winter di Bumi. Tahun 1816, kita punya musim dingin di belahan utara yang muncul terus-menerus. Harusnya Juni musim panas, namun ini malah beku.”

Para ahli vulkanologi, dan juga Awang, sepakat untuk menahbiskannya sebagai petaka gunung api terburuk sepanjang dua milenium terakhir!

Gelegar akbar Tambora pada 10-11 April 1815 memangkas sepertiga tinggi gunung tersebut. Sebuah kaldera berdiameter enam kilometer dan sedalam sekitar satu kilometer menjadi tengara sejarahnya. Telusuri sisa letusan Gunung Tambora di majalah National Geographic Indonesia edisi April 2015. (Warsono/National Geographic Indonesia)

Pada kenyataannya negeri dengan untaian gunung api terbanyak seantero jagad ini memiliki tiga gunung api yang memegang rekor erupsi dahsyat di dunia. Tercatat, Toba pada 74.000 tahun silam, Tambora , dan Krakatau—yang memiliki VEI berturut-turut 8, 7, dan 6.

Berdasarkan rekor itu, Awang melontarkan pemikiran untuk mengembangkan Tambora menjadi geopark atau geoheritage.  Menurutnya, konsep manajemen pengembangan kawasan secara berkelanjutan ini memiliki tiga keragaman alam, yang semuanya telah dimiliki oleh gunung api ini: keanekaragaman geologi, keanekaragaman hayati, dan keanekaragaman budaya.

Betapa indah alam Tambora, apabila kita dapat jauh memaknai sejarah alam hingga budaya warganya kini. Awang mengutip pernyataan seorang ahli geologi asal Swis, Albert Heim bahwa “Memandang alam dengan pengertian, jauh lebih berarti dan menyukakan hati daripada hanya menyaksikan keelokannya.”