Selepas sirnanya semburat lembayung di ufuk barat, warga Kampung Timur dan Kampung Bali di pinggang Gunung Tambora seketika gelagapan. Sugeng Purnomo, lelaki berbadan tegap dan berambut ikal, memandangi sisi timur dari beranda rumah kayunya yang bersahaja. Sugeng terperangah. Dia melihat lereng gunung itu telah merah membara. Api menjalar begitu cepat ke arah permukiman. Dalam suasana kacau dan panik, dia segera mengunci pintu rumah dan bergabung dengan warga lain untuk mengungsi. Hanya satu tujuan dalam benaknya: Selamat dari terjangan lahar.
Peristiwa ini bukanlah kepanikan karena erupsi Gunung Tambora pada April 1815, melainkan situasi mencekam pada akhir Oktober, empat tahun silam. Sugeng teringat, sekitar dua bulan sebelumnya, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah menaikkan status Tambora dari waspada menjadi siaga. Alasannya, aktivitas di kaldera gunung api tersebut kian aktif sejak beberapa bulan sebelumnya.
Namun, tidak semua warga turun untuk mengungsi. "Warga kampung Bali bersiaga di rumah karena menurut mereka kalau binatang sudah turun, mereka akan ikut turun," kenang Sugeng kepada saya. Dia memutuskan untuk segera mengungsi. "Kelihatan sekali, api itu meluas dengan cepat. Logika kita itu mungkin lahar."
Apakah Tambora benar melelehkan laharnya? Pada akhirnya Sugeng dan warga lainnya mengetahui bahwa peristiwa yang baru saja mereka alami bukan lelehan lahar. Warga sekitar gunung api biasanya mempunyai teladan kearifan tentang tanda-tanda alam jelang meletusnya gunung. Namun, warga Tambora tampaknya tidak mewarisi keahlian tersebut karena mereka merupakan pendatang yang umumnya mulai mendiami kawasan ini pada paruh kedua abad ke-20. "Ternyata hutan yang waktu itu kebakaran—dan tidak ada kaitannya dengan letusan," kenangnya kepada saya. "Karena kurangnya informasi, kami menganggap itu lahar yang turun."
"Letak kebakaran itu sekitar sepuluh kilometer dari sini," ujar Sugeng di beranda rumahnya. "Menurut informasi kebakaran itu terjadi karena ulah pemburu". Dia menjelaskan bahwa hutan sekitar Tambora dibakar secara sengaja oleh para pemburu rusa. Dengan membakar hutan, para pemburu dapat dengan mudah menemukan rusa-rusa yang kerap berlindung di semak hutan. "Gunung Tambora," Sugeng berkata, "kalau saya perhatikan beberapa tahun terakhir memang sering terbakar."
Sehari-hari, Sugeng merupakan pengajar honorer di SDN Tambora di Oibura. Desa ini merupakan permukiman terakhir yang berjarak sekitar 12 kilometer dari kaldera. Lokasinya berada di jantung kebun kopi. Di bekas kawasan pabrik dan permukiman buruh perkebunan kopi itulah sekolah dasar mungil tempat Sugeng bekerja telah berdiri. Ruangan kelasnya hanya ada tiga: ruang pertama untuk kelas satu dan dua, ruang kedua untuk kelas empat dan enam, dan ruang ketiga untuk kelas lima dan tiga. Sementara, ruang guru berupa lincak yang berada di bawah ketuduhan pohon rambutan.
Sugeng lahir di pinggang Tambora, lebih dari tiga dekade silam. Ayahnya, yang berasal dari Pati, Jawa Tengah, merantau ke Tambora sebagai petugas keamanan perkebunan kopi pada akhir 1970-an. Kini, sang ayah telah menduduki jabatan sebagai Kepala Perkebunan Kopi Afdeling Besaran di Oibura, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Kini, Pemerintah Kabupaten Bima menguasi sekitar 500 hektare kebun kopi ini.
!break!Keluarga Sugeng merupakan salah satu keluarga pendatang yang turut melanjutkan peradaban baru di kawasan nan senyap ini. Menurut sejarahnya, perkebunan kopi ini merupakan denyut baru di seputaran Tambora sejak 1897. Buruh-buruh kebun kopi yang didatangkan dari berbagai daerah telah beranak-pinak membentuk permukiman di sisi barat Tambora.
Kampung Timur, toponimi yang tercipta karena sebagian besar warganya berasal dari Flores. Sementara, Kampung Bali, umumnya pendatang asal Lombok dan Bali. Keduanya merupakan sebagian dari kampung hasil pemekaran wilayah pada lima tahun silam.
Sugeng berkisah kepada saya, sebulan setelah terjadinya kebakaran hutan dan masih dalam suasana siaga bencana gunung api, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bima menggelar Pelatihan Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim. Sugeng berkesempatan menjadi salah satu pesertanya. "Pada hari pertama dan kedua peserta banyak," ungkap Sugeng. "Setelah itu hanya beberapa orang sisanya."
Sugeng mengatakan dalam pelatihan itu dijelaskan materi seputar titik-titik evakuasi dan persiapan supaya tidak terjadi bencana. Namun, dia kecewa lantaran program dalam pelatihan tersebut tidak sampai menjangkau materi lapangan berupa evakuasi bersama warga. "Pelatihan belum menyentuh ke masyarakat. Lebih ke teori. tidak ada praktek," ungkapnya. "Waktu pelatihan itu cenderung pembahasan umum."
Sugeng hapal betul situasi hutan di Tambora. Selain sebagai guru, Sugeng juga merupakan ketua MAPATA (Masyarakat Pecinta Alam Tambora) yang kerap mengantar para pelancong menyambangi puncak gunung itu. Setidaknya ada lima jalur pendakian menuju puncak gunung tersebut, salah satunya dari Desa Oibura.
Namun, Sugeng adalah tipe petualang yang degil. Dia berkata jujur kepada saya bahwa beberapa hari setelah Tambora dinyatakan siaga atau sebelum terjadinya peristiwa kebakaran tadi, dirinya justru mendaki sendirian menuju puncak gunung itu. Sugeng menyadari aksinya ini sebagai petualangan terlarang, namun di sisi lain dia ingin menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana situasi kaldera Tambora kala itu. "Sebenarnya tidak begitu berbeda dengan biasanya," ujarnya. "Sesekali terjadi gempa. Longsoran kaldera terdengar sering, namun tidak ada magma yang keluar."
!break!SELAMA SEKITAR SERIBU TAHUN Gunung Tambora terlelap, sebelum mulai tampak aktif pada 1812. Amarahnya berkecamuk pada 5 April 1815, dan mencapai puncaknya pada 10-11 April. Cerita tentang aktivitas Gunung Tambora pada masa sebelumnya tidak pernah tercatat oleh masyarakat. Sama sekali tidak ada sejarah yang bercerita tentang seperti apa karakter Tambora, bahkan tinggi gunung sebelum letusan yang kini beredar pun merupakan perkiraan.
“Ini lokasinya,” ujar Awang Harun Satyana menunjukkan hasil pancaran layar proyektor berupa peta Pulau Sumbawa kepada saya. Tampak Gunung Tambora bersemayam di Semenanjung Sanggar, pesisir barat laut. Awang merupakan ahli geologi senior dan instruktur dalam Geotrek Indonesia, sebuah komunitas nirlaba pencinta warisan geo-histori Indonesia—warisan sejarah alam dan budaya Indonesia.
“Sebenarnya Semenanjung Sanggar sendiri dibangun oleh gunung api karena tubuh gunung api Tambora itu melebar kemana-mana,” ujar Awang. “Di sebelah selatannya kita punya Teluk Saleh. Pulau Moyo pun diperkirakan produk purba dari Gunung Tambora, termasuk Teluk Saleh ini kemungkinan adalah semacam kaldera yang runtuh.”
Awang mengungkapkan bahwa peristiwa erupsi megakolosal 1815 telah memuntahkan lebih dari 100 kilometer kubik material dan membentuk kaldera sekitar enam hingga tujuh kilometer. Bahkan ketinggian aerosolnya hingga 43 kilometer. Apabila dibandingkan dengan energi erupsi Krakatau pada 1883, energi yang dilampiaskan Tambora adalah empat kali lipatnya, demikian ungkap Awang. Dalam indeks letusan gunung apinya, atau Volcanic Explosivity Index (VEI), mencapai angka 7 dalam skala 8.
“Area sekitarnya berguncang,” kata Awang, “Sehingga Laut Flores dan sekitarnya mengalami tsunami hingga ke Maluku setinggi empat meter!”
!break!Korban yang tewas karena dampak langsung erupsi Tambora sekitar 11.000 sampai 12.000 orang. Di Indonesia, ungkap Awang, total yang binasa—entah karena dampak langsung awan panas, penyakit, dan kelaparan—jumlahnya sekitar lebih dari 71.000 jiwa pada 1815. “Tapi di Eropa,” lanjutnya, “sekitar 200 ribu tewas pada tahun berikutnya.”
“Tambora menyediakan satu contoh yang sangat baik yaitu volcanic winter atau musim dingin yang disebabkan oleh letusan gunung api,” papar Awang. Besarnya energi letusan ini telah menginjeksi tebaran abu yang sangat halus dan gas sulfur, hingga memasuki lapisan stratosfer dan menjadi awan abu stratosfer dan aerosol. Tersebarnya partikel halus zat padat atau cairan dalam gas atau udara inilah yang mempengaruhi iklim. Atmosfer bak perisai yang menangkis sinar matahari, sehingga terjadi penurunan suhu di Bumi.
“Nah, itulah yang menyebabkan volcanic winter di Bumi. Tahun 1816, kita punya musim dingin di belahan utara yang muncul terus-menerus. Harusnya Juni musim panas, namun ini malah beku.”
Para ahli vulkanologi, dan juga Awang, sepakat untuk menahbiskannya sebagai petaka gunung api terburuk sepanjang dua milenium terakhir!
Pada kenyataannya negeri dengan untaian gunung api terbanyak seantero jagad ini memiliki tiga gunung api yang memegang rekor erupsi dahsyat di dunia. Tercatat, Toba pada 74.000 tahun silam, Tambora , dan Krakatau—yang memiliki VEI berturut-turut 8, 7, dan 6.
Berdasarkan rekor itu, Awang melontarkan pemikiran untuk mengembangkan Tambora menjadi geopark atau geoheritage. Menurutnya, konsep manajemen pengembangan kawasan secara berkelanjutan ini memiliki tiga keragaman alam, yang semuanya telah dimiliki oleh gunung api ini: keanekaragaman geologi, keanekaragaman hayati, dan keanekaragaman budaya.
Betapa indah alam Tambora, apabila kita dapat jauh memaknai sejarah alam hingga budaya warganya kini. Awang mengutip pernyataan seorang ahli geologi asal Swis, Albert Heim bahwa “Memandang alam dengan pengertian, jauh lebih berarti dan menyukakan hati daripada hanya menyaksikan keelokannya.”
!break!KEELOKAN RUMAH ATAS yang bercat kuning dan berplisir biru telah menjadi tengara sisi barat pinggang Tambora. Rumah berlantai tegel dan berdinding papan kayu ini dibangun sekitar 1930-an dan merupakan warisan perkebunan kopi milik Swedia yang terhampar di Oibura, Tambora. Ayah Sugeng, yang bernama Suparno, mendiami Rumah Atas sebagai rumah dinasnya, sekaligus tempat bermalam para tetamu MAPATA.
Saya bersama fotografer Dwi Oblo bermalam di Rumah Atas, ditemani oleh Suparno. Sosok Suparno yang tinggi besar dan berewokan telah mengingatkan saya tentang tokoh Kapten Haddock di serial petualangan Tintin karya kartunis Belgia yang sohor, Hergé. Lelaki dengan tatapan nanar namun sejatinya berhati kordial itu ternyata suka berkelakar. "Nah, saya ini premannya preman, lho," ujarnya. "Saya ini juru kunci Tambora ha... ha... ha..."
Menurut kisah Suparno, perkebunan kopi ini tampaknya turut melahirkan kampung-kampung lain di sekitarnya dan menghidupkan kembali peradaban baru di Tambora. Dahulu, dia dan teman-teman buruh bermukim di kompleks dan barak-barak perkebunan. Namun, kini kompleks permukiman buruh itu lebih mirip kota koboi yang mati karena ditinggalkan warganya.
"Kompleks perkebunan ini tidak ada lagi yang menghuni," ujar Suparno. "Mereka sekarang memiliki kebun pribadi sekalipun statusnya masih tanah milik negara." Kini, para buruh telah menempati kampung-kampung baru di sekitar perkebunan.
Suparno berkisah, proyek pembukaan hutan mulai menjamah sisi barat Tambora pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Sebuah perusahaan penebangan kayu yang telah mengantongi izin dari pemerintah, membuka jalan dengan traktor-traktor beroda rantai. Jalan itu telah mengukir pinggang gunung sejauh 45 kilometer, dari Calaibai di pesisir barat sampai Kawinda di pesisir utara, yang juga melintasi kawasan perkebunan kopi. Sejak saat itulah kayu kalanggo (Duabanga moluccana) yang menjadi hutan primer khas Tambora mulai ditebang sebagai bahan dasar kayu lapis.
!break!Pada awal 1980-an, Suparno menyaksikan dengan matanya sendiri ketika para awak ekskavator mengeruk dan meratakan tanah untuk membuka jalan, mereka menemukan lempengan-lempengan emas di desa sebelah. Akhirnya, ujarnya, banyak sekali orang-orang yang menemukan guci. Bahkan pada lima tahun lalu, dia masih menemukan sebuah teko porselen Cina yang sudah remuk bagian lehernya. "Saya tidak menggali, langsung ketemu di jalan," ujarnya. "Yang terakhir ada cepuk berisi berlian sebelas sinar dan cincin emas."
Berbagai temuan sepanjang dekade 1980-an telah menggelitik para ilmuwan—ahli vulkanologi, ahli geologi, dan ahli arkeologi—untuk menyelisik kawasan ini pada dua dasawarsa berikutnya. Mereka menduga, berdasarkan laporan penelitian, kawasan sekitar perkebunan kopi ini tampaknya pernah menjadi permukiman desa yang terempas amukan megakolosal Tambora pada 1815. Barangkali inilah perdesaan dalam naungan Kerajaan Tambora.
Suparno mengamati perjalanan nasib hutan di pinggang Tambora yang tergerus proyek pembukaan hutan di sisi barat. Kendati sebuah perusahaan swasta telah mempunyai hak dalam pengelolaan hutan di Tambora, pembalakan liar mulai marak setelah lengsernya Presiden Soeharto pada 1998. "Siang malam ada 40 truk yang lewat," ujar Suparno sembari mengenang. "Kayu duabanga sudah seperti ikatan-ikatan bayam!"
Perusahaan swasta pembukaan hutan itu telah tidak beroperasi lagi di Tambora sejak sekitar satu dekade silam. Namun, sampai hari ini pun, saya masih mendengar gelumat gergaji mesin yang membahana di hutan tepian perkebunan kopi. Suara itu seperti hantu, begitu dekat namun sulit untuk menerka dengan pasti arah dan asal suaranya.
Suparno mengisahkan peristiwa banjir besar nan dahsyat yang pernah disaksikan seumur hidupnya di Labuankananga, kawasan bekas pelabuhan Kerajaan Tambora, sekitar 2007-2008. Tatkala itu dia sedang mengendarai sepeda motornya untuk memintas jalan . Dia menggambarkan kengerian permukiman di kaki Tambora yang diterjang ratusan gelondongan kayu pembalakan liar yang ikut hanyut terbawa banjir sejauh 13 kilometer. Air limpasan dari gunung telah menenggelamkan permukiman dan menghancurkan beberapa jembatan.
"Sampai kayu-kayu besar muntah di pantai. Kali Sorisumba meluap puluhan meter. Gang antara rumah-rumah sudah menjadi kali. Sepeda motor saya sampai hampir hanyut!"
Tambora kini, bukanlah Tambora yang dahulu. Di ruang tamu Rumah Atas yang terbuka pintunya, Suparno memaparkan kepada saya bahwa begitu banyak perubahan telah terjadi di pinggang gunung itu.
Kemudian saya bertanya tentang legenda kuda asal Tambora yang konon banyak digunakan sebagai kuda pacu di Bima. Suparno mengatakan masih menyaksikan kuda-kuda berkeliaran di Tambora sekitar 30 tahun silam. Namun, ungkapnya, sejak awal 1990-an warga di Tambora sudah tidak ada yang memelihara kuda lagi lantaran pasokan air minum telah mudah diperoleh—demikianlah akhir sang kuda legenda. "Dulunya kuda digunakan untuk mengambil air," kata Suparno. "Sekarang, orang lebih memilih menggunakan sepeda motor. Apalagi sekarang sudah ada mobil angkut."
Semakin seringnya gerombolan monyet merambahi pekarangan Rumah Atas tampaknya juga menjadi tengara tentang alam yang berubah. "Gangguan monyet ini tingkatannya sudah profesor," ungkap Suparno dengan gemas. "Dulu monyet tidak pernah makan batang. Kenapa dia makan batang? Karena kayu hutan sudah ditebangi sama orang. Apapun pohon berbuah yang ada di hutan sudah ditebangi. Apa yang mau dimakan monyet di sana? Mau ngga mau ke kampung-kampung."
Kemudian Suparno menunjuk pohon di depan Rumah Atas. "Ini rambutan tidak panen. Sudah keduluan dihajar habis sama monyet," ujarnya dengan aksen Jawa. "Kopi, bagian dagingnya, juga dihajar sama monyet. Nangka juga begitu. Kita bungkus pun dibongkar sampai jatuh nangkanya. Habis!"
!break!SAYA TERMANGU DI BAWAH POHON OWO yang tingginya setara gedung berlantai delapan. Pohon ini sudah seratusan tahun lebih, dan kini menjulang di angkasa Dusun Soribura. Di dahan-dahannya tersemat beberapa sarang lebah yang tampak menggunung. Pantaslah warga setempat menyebut kawasan lereng Tambora ini dengan julukan "Lembah Madu".
Muslim, seorang lelaki 30-an tahun, menstandarkan sepeda motornya tak jauh dari pohon tersebut. Selama setahun terakhir, dia menjabat sebagai Kepala Dusun Soribura, Tambora. Pohon owo yang menaungi kami berdiri merupakan tinggal satu-satunya di dusun ini, demikian tukas Muslim. "Semua masyarakat Soribura tahu kalau pohon dan sarang lebah ini dipelihara," ujarnya. "Kalau ada yang mencoba-coba ambil, bukan urusan desa lagi, tapi polisi."
Dalam mencari madu hutan pun warga mempunyai kiat untuk kelestarian. Mereka hanya mengambil separuh sarang lebah, sementara separuhnya lagi tetap dibiarkan di pohon supaya lebah-lebah itu tak berpindah ke lain pohon.
Tambora sohor akan madunya. Namun, seiring dengan kian melangkanya sarang lebah di kawasan ini, warga bersepakat untuk "memonumenkan" pohon owo ini. Suatu inisiatif pelestarian yang berkelanjutan karena berawal dari warga sendiri, namun juga suatu keprihatinan lantaran memburuknya indikator lingkungan Tambora—hutan yang kian menggundul.
Muslim mengatakan biasanya warga mencari madu di pepohonan hutan pada Agustus dan September, bulan bagus untuk memanen madu yang berwarna merah. Sementara kualitas terbaik adalah madu yang berwarna putih, dipanen setiap September. "Tempat dekat puncak, bersarang di batu-batu atau di jurang-jurang," tuturnya. "Satu sarang paling tinggi dua botol." Harga pun sepadan dengan kelangkaannya. "Satu botol—kemasan air minum ukuran sedang—madu putih harganya 500 ribu. Madu merah 100 ribu."
Biasanya satu kelompok pemburu madu terdiri atas empat orang dan waktunya bisa berhari-hari, demikian Muslim berkisah tentang kebiasaannya. "Satu orang naik,dua orang membawa pulang madu, dan satu orang sebagai juru masak selama perjalanan."
Beberapa dekade silam, tatkala Muslim masih kanak-kanak, satu kelompok bisa mendapatkan satu drum madu dalam semusim. Artinya satu orang bisa memperoleh bagian sekitar delapan jeriken ukuran 20 liter. Namun, sekitar sepuluh tahun silam, biasanya satu orang mendapatkan madu sejumlah tiga jeriken ukuran 20 liter. "Sekarang berempat menghasilkan empat jeriken ukuran 5 liter."
"Sekarang madu jarang, tidak seperti dulu," keluh Muslim kepada saya. Pohon-pohon telah banyak ditebang , akibatnya sarang lebah pun melangka. Pun, tahun kemarin Muslim tidak turut mencari madu ke hutan dengan alasan tersebut.
Warga sudah sejak lama memanfaatkan kayu hutan untuk keperluan bertahan hidup dan penebangannya pun tidak masif. Muslim mengatakan, "Dulu ambil kayu untuk membuat rumah,kayu-kayu kecil. Sekarang pakai chainsaw untuk menebang kayu-kayu besar."
!break!SAYA MENITI JALAN TANAH yang merupakan salah satu rute utama menuju puncak Tambora. Saya menjumpai Haji Zuaril Buyung yang sedang berkebun di pekarangan rumahnya. Lelaki gempal itu berasal dari Payakumbuh, yang sebagian rambutnya sudah memutih.
Buyung pernah menjabat manajer produksi dari satu-satunya perusahaan penebangan kayu yang merambah hutan sisi barat Gunung Tambora pada akhir 1970-an hingga 1990-an. Tugasnya, bertanggung jawab atas proyek pembukaan hutan hingga pengiriman kayu-kayunya.
Sebagai seorang nomor satu di proyek tersebut, kediamannya sungguh tidak mencerminkan prestasi besarnya: rumah sederhana dan berdinding kayu. Satu-satunya kemewahan yang tampak adalah kebun kopi milik Buyung seluas tujuh hektar yang menghampar di kiri dan kanan jalan menuju rumahnya.
"Satu tahun 50.000 meter kubik harus dapat, kalau tidak dapat bisa kena denda," ujar Haji Zuaril Buyung. "Dan, itu selalu terpenuhi!"
"Setiap meter kubik yang masuk kas negara 10 dollar 50 sen! Itu royalti yang masuk kas negara," ujarnya mengenang masa-masa keemasannya. Jenis pohon yang ditebang adalah kalanggo, yang menurutnya, jenis yang sama bisa ditemui di Papua dan Kepulauan Solomon. "Diameter yang diambil 60 sentimeter ke atas."
Dalam proyek pembukaan hutan tersebut, Buyung telah mengukir pinggang Tambora dengan membuka jalan sejauh 45 kilometer dari Calabai hingga Kawinda. Jalan dan juga jembatan dirancang untuk lintasan truk-truk pengangkut kayu.
Ketika menggarap jalan di sekitar kebun kopi itulah dia menyaksikan singkapan harta karun seperti aneka guci Cina, baik pecah maupun utuh. Banyak juga warga yang menemukan ratusan keris yang mereka pakai sendiri untuk jimat. Namun, temuan spektakuler Buyung adalah "uang VOC berangka tahun 1705 sebanyak satu karung beras, masih dalam peti kayu yang telah rapuh!" Lalu dia melanjutkan, "Saya juga pernah dapat tulang jari manusia berikut dengan cincinnya!"
Buyung tidak mengoleksi satu pun barang temuan dari Tambora. Dia mengatakan kepada saya bahwa ada temuan yang dibuang kembali karena dia takut menerima kutukan, sebagian diserahkan kepada bosnya yang asal Singapura. Buyung berkata dengan bangga tentang imbalan dari bosnya, "Saat kembali, dia memberikan jam tangan, radio, tustel."
Saya bertanya kepada Buyung, apakah dia menyadari sepenuhnya bahwa penebangan hutan pada tiga dekade silam telah menyebabkan banjir besar di kaki Tambora beberapa tahun silam?
"Kalau kita ada aturan," ujar Buyung. "Tebang pilih bukan tebang habis." Dia mengungkapkan pedoman kerja dari pemerintah bahwa satu hektare hutan harus tinggalkan satu kalanggo. "Waktu zaman kita utuh hutan itu," kilahnya, "yang menghabiskan justru illegal logging. Kalau saya legal."
Semasa dia bekerja, demikian ungkap Buyung, tidak ada pembalakan liar. Kejahatan itu mulai marak sekitar satu dekade silam hingga sekarang, ujarnya. "Kita tahu, perusahaan mengambil hanya duabanga," ungkapnya. "Kalau illegal logging yang tidak diambil hanya maladi. Semua kayu sebesar paha pun diambil."
Buyung mengatakan kepada saya bahwa pemerintah telah mengeluarkan izin proyek pembukaan hutan di sisi selatan Tambora, Kabupaten Dompu. Dia menyebut nama sebuah perusahaan bidang agrobisnis, perkebunan, dan kehutanan di Kuningan, Jakarta Selatan, yang kelak mengeksekusi proyek ini. Awal tahun lalu Kantor Berita Antara telah mewartakan, perusahaan swasta tersebut menggalang kesepakatan kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat untuk merentangkan hutan tanaman industri seluas 30.000 hektare di pinggang Tambora.
"Saya dipanggil lagi, sebagai manajer produksi lagi!" Buyung berujar sambil berbinar. "Mulai tahun ini."
Apakah melindungi hutan dari pembalakan liar dengan cara membuatnya menjadi hutan tanaman industri merupakan langkah yang arif untuk pelestarian hutan di Indonesia?
!break!"HUTAN DI SINI SUDAH RUSAK," ujar Sugeng pada suatu pagi kepada saya."Ironis sekali melihat keadaan alam kita seperti ini." Ketika Sugeng melakukan survei lapangan bersama Pusat Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Denpasar, mereka pernah memergoki sekelompok orang yang sedang menebangi pohon di tepian Kali Sorisumba yang mengering. Sugeng terkesiap, ternyata mereka telah memiliki kerja sama dengan seorang oknum di Kantor Unit Pelaksana Teknis Dinas Kehutanan di Kecamatan Tambora. "Saya siap bertanggung jawab karena ada saksinya."
Sebagai seseorang yang lahir dan tumbuh besar di kawasan Tambora, dia mengungkapkan bahwa tidak pernah terjadi keanehan alam sebelum pembalakan liar merajalela. Keanehan yang Sugeng maksud adalah beberapa mata air telah berhenti memberikan berkahnya kepada warga Tambora, termasuk sungai Sorisumba yang pernah meluap puluhan meter pun kini telah mengering. "Sorisumba setahun lalu, saya masih bisa mandi dan masyarakat mencuci di sungai itu," kenangnya getir.
Sugeng mengatakan ada empat dari enam mata air yang menghidupi desanya kini telah mengering. "Satu mata air yang mengaliri Sorisumba, satu mata air di perbatasan desa, dua dari tiga mata air di antara Pos I dan Pos II dalam jalur pendakian, dan satu mata air di sebuah pura di Kampung Bali yang nyaris mati," ujarnya. "Kalau tidak ada pura, hutan sudah habis."
Pada masa silam, perusahaan pembukaan hutan memang tidak melakukan reboisasi, ungkap Sugeng. Namun, lanjutnya, mereka masih menghormati kearifan warga setempat untuk tidak menebang pohon di sekitar kawasan mata air. Sementara, Sugeng menuding bahwa pembukaan hutan secara liarlah yang telah memperburuk kondisi hutan di pinggang Tambora.
"Ini sudah terjadi," Sugeng berkata. Curah hujan menjadi tidak menentu sehingga hampir tiap tahun menyebabkan penurunan panen bagi warga yang bertani padi ladang. Dia juga mendapat keluhan dari warga Pekat, sisi barat daya Tambora bahwa tanaman padi mereka menguning sebelum berbuah karena kekurangan air saat menanam.
"Saat tanam tidak ada hujan. Saat pembuahan juga tidak ada hujan. Saat panen tiba justru banjir," ujarnya. Dia memberikan contoh kegetiran warga desanya, "Dahulu 10 kilogram bibit bisa menghasilkan 25 kwintal," ujarnya. "Tahun ini hanya 6 kwintal."
Seantero dunia bergempita mewartakan kenangan dua abad erupsi megakolosal Tambora jelang April tahun ini. Tambora telah menjelma sebagai petaka gunung api yang sempurna sepanjang dua milenium terakhir. Dampaknya tak hanya menjadi petaka di Pulau Sumbawa, tetapi juga petaka musim dingin tak berkesudahan di Eropa dan Amerika Utara sepanjang 1816-1817.
Namun, sedikit orang yang mewartakan bagaimana kehidupan manusia yang mendiami pinggang gunung api itu. Apakah mereka merasa bangga atas tanah leluhurnya yang melegenda atau gelisah tentang petaka berikutnya?
Sugeng tidak dapat menduga kapan gunung ini bakal meletus kembali. Kendati demikian, dia meyakini kemungkinan besar letusannya tidak sampai keluar dari kaldera akbar—yang menganga lebar dan dalam akibat petaka erupsi 1815. Tambora telah menciptakan perisai bagi warga yang mendiaminya kini. Apalagi jarak kaldera dan desanya sekitar belasan kilometer. "Aman," ujarnya. "Kecuali kuasa Tuhan."
Namun, bukan berarti tidak ada petaka lain di Tambora. "Saya khawatir banjir ada di atas," tutur Sugeng dengan rona cemas terpancar di matanya. "Saya tidak tahu siapa yang harusnya bertanggung jawab."
Simak suasana tatkala Gunung Tambora menggelegar pada 10 April 1815 dan sisi lain kisah sejarah dan arkeologinya, yang hanya dapat dinikmati secara khusus di majalah National Geographic Indonesia edisi April 2015