Barangkali hanya warga Surabaya yang masih mengingat nama K’tut Tantri. Dia bersimpati kepada Indonesia karena keberangannya atas ketidaksetaraan perlakuan tatanan kolonial. Ady berkata, dia sangat mengenal dan mencintai orang negeri ini. Dia tahu bahwa kelak orang Indonesia akan melupakannya, namun dia tidak peduli. “Selayaknya kita mengenang perju-angannya,” ungkap Ady, “bahwa pernah ada seorang wanita berkebangsaan asing yang berperan dalam pertempuran Surabaya.”
Pucuk dicinta, malam itu Ady datang tidak sendirian. Bersamanya seorang perempuan bule yang memerankan K’tut Tantri. Namanya, Marjolein van Pagee. Perempuan berusia 28 tahun itu asal Krabbendijke, sebuah desa di Provinsi Zeeland, Belanda. Dia merupakan fotografer yang selama lima tahun terakhir melakukan riset dan foto dokumenter tentang veteran pejuang Indonesia dan serdadu Belanda pada 1945-1949—termasuk kakeknya sendiri.
“Saya sedikit gugup ketika harus pentas di podium,” kata Marjolein. Dia mengurangi rasa gugup dengan membayangkan Tantri yang menyala-nyala di depan corong radio. Sosok itu disusurinya dari buku autobiografi sang penyiar sendiri, yang bertajuk Revolt in Paradise.
AUTOBIOGRAFI ITU DITULIS dengan gaya roman, dan diterbitkan pertama kali oleh Harper & Brother di New York, Amerika Serikat pada 1960. Dalam halaman pembukanya, Tantri menyatakan bahwa nama-nama orang telah diganti, kecuali orang-orang yang dirasa penting dalam kancah internasional. Kejadian sejarah yang dilaporkan adalah benar. Dia juga menambahkan, pada dasarnya isi buku ini adalah faktual.
Buku itu telah diterjemahkan lebih dari selusin bahasa. Pada 1965, PT Gunung Agung menjadi penerbit pertama di Indonesia yang merilisnya dengan judul Revolusi di Nusa Damai. Kata sambutannya oleh Presiden Sukarno, dan diikuti sederet menteri dan pejabat negara. Tantri juga menyisipkan tulisan tangannya dalam bahasa Inggris yang artinya, “Kenangan untuk rakyat Indonesia yang begitu mulia memberikan hidup mereka untuk merdeka, 1945-1949 dan bagi mereka yang masih hidup yang akan melihat bahwa pengorbanan mereka tidak sia-sia.” Revolt in Paradise juga diterbitkan oleh PT Gramedia pada 1982, dan 2006 dalam dua bahasa.
Dalam permulaan buku itu Tantri mewanti-wanti pada dirinya sendiri, “Kenyataan ini menyulitkan penuturan kisah, karena bercerita sejujur-jujurnya mengenai diri sendiri, tidaklah bisa dibilang gampang.”
Dia adalah seorang seniman lukis berambut merah, dengan badan pendek untuk ukuran orang bule. Nama sejatinya, Muriel Stuart Walker. Lahir pada Sabtu, 18 Februari 1899 di Glasgow, Skotlandia, Britania Raya. Satu-satunya anak dari pasangan asal Pulau Man, James Hay Stuart Walker dan Laura Helen Quayle. Dia juga memiliki darah bangsa Viking yang dikenal pemberani dan gemar petualangan.
Sebelum Muriel lahir, ayahnya wafat karena demam tropika ketika melakukan ekspedisi arkeologi ke Afrika. Sekitar akhir 1920-an, dia bersama ibunya melanjutkan hidup sebagai warga negara Amerika Serikat. Di negeri itu dia sempat menikah dengan Karl Henning Pearsen.
Kisah romantika petualangan Muriel bermula di sebuah gedung bioskop di Hollywood Boulevard yang menyajikan film Bali, The Last Paradise pada 1932. Atas inspirasi film itulah, dia berlayar dari pelabuhan New York menuju Batavia. Entahlah, hingga kini tak seorang pun menemukan film dengan judul demikian.
Sesampainya di Batavia, Muriel bermobil menyusuri pesisir utara Jawa sampai ke Pulau Bali. Di pedalaman tanah para dewata, demikian kisahnya, dia disambut baik oleh Raja Bangli Anak Agung Gede dan anak lelaki semata wayangnya yang bernama Anak Agung Nura. Sang Raja mengangkatnya sebagai anak keempat, dan memberinya nama K’tut. Dia menetap di Bali sejak 1934 hingga jelang kedatangan Jepang. Hotelnya yang bernama Swara Segara pun hancur saat serangan Jepang di Kuta. Nura hendak meminangnya sebagai istri, namun ditolaknya. Malangnya, Nura tewas dibunuh pemuda karena diduga antek Belanda, demikian kisah Tantri.
Nura adalah nama yang paling banyak disebut Tantri. Anehnya, nama itu tak pernah dikenal oleh keluarga Raja Bangli. Saya pun tergelitik bertanya kepada Hans Hägerdal, siapakah sejatinya Anak Agung Nura?
Hans merupakan Guru Besar Madya dalam bidang sejarah pada School of Cultural Sciences, Linnaeus University di Växjö, Swedia.