Timbang Hati Si Puan Pemberani

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 10 Juli 2015 | 13:23 WIB
Ktut Tantri memiliki selusin lebih nama julukan, sebagian digunakannya saat siaran radio pemberontak (Nani/Kompas)

“Tidak ada ekstremis di Indonesia. Yang dikehendaki mereka sebenarnya hanyalah kemerdekaan. Inggris dan NICA adalah ekstremis kelas satu. Mereka telah sungguh keluar dari batas kemanusiaan,” ujar seorang perempuan bule dengan rambut pirang berkilau. Aksen bahasanya memang sedikit kikuk, namun terdengar lantang di atas podium mini.

Dia luwes memesona dengan kebaya encim warna putih yang berpadu dengan kain batik berona merah kecokelatan. Dia berdiri bersama seorang lelaki pejuang berbusana hijau zaitun dan berpet hitam, yang sebelumnya juga telah berpidato berapi-api membakar semangat warga kota.

Kemudian, perempuan itu menutup pidatonya dengan ujaran geram. “Orang Belanda, NICA, adalah manusia-manusia paling terkutuk di dunia ini. Mereka bercakap-cakap bahwa Inggris akan menaklukkan negeri ini, sedangkan mereka sendiri adalah gerombolan pengecut!” 

Dor! Dor! Dor! Letupan senapan membuat suasana kacau. Sementara lelaki pejuang dan perempuan bule itu mencari perlindungan, beberapa peleton serdadu Inggris India bersiap memasuki kota. Glaaar! Ledakan besar membuyarkan serat dakron yang tercabik ke angkasa, alih-alih gotri. Serejang senyap menyergap, lalu dakron jatuh bak salju di rambut setiap kepala.

Peristiwa ini adalah bagian dari pementasan yang digelar Roodebrug Soerabaia, komunitas pencinta sejarah asal Kota Surabaya. Pagi itu, sekitar 300-an anggotanya berlaga dalam parade untuk memperingati Hari Pahlawan pada 2014.

Tantri, Hugeng, dan Masagung. K'tut Tantri berbincang dengan Haji Mas Agung dan Hoegeng. (ARSIP PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA)

Perempuan bule tadi memerankan K’tut Tantri, tokoh perempuan Amerika. Pers luar negeri menjulukinya dengan ‘Sourabaya Sue’.

Sementara, lelaki berbusana hijau zaitun itu memerankan Bung Tomo. Si Bung dikenang sebagai jurnalis dan pucuk pimpinan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia, yang menggelorakan sema-ngat tempur rakyat Surabaya pada November 1945. Selepas prokla-masi kemerdekaan 1945, Tantri bergabung de-ngan laskar rakyat di bawah komando Sutomo, yang akrab disapa Bung Tomo.

Tantri tidak mengangkat senjata, melainkan berjuang lewat siaran berbahasa Inggris di Radio Pemberontakan. Dalam siarannya, perempuan itu mengkritik Inggris yang sungguh kurang ajar lantaran memakai kedok Sekutu untuk memulihkan supremasi Belanda di Indonesia. Dia pun dibenci oleh orang Belanda.

Boleh dikata, Tantri merupakan salah seorang perintis hubungan persahabatan Australia-Indonesia. Buklet karyanya, Sourabaya Sue’s Inside Story of Indonesia yang terbit di Sydney pada 1947, telah membuka simpati masyarakat Australia kepada perjuangan Indonesia. Dia pun menjadi warga Australia sejak 1985.

Ktut Tantri memiliki selusin lebih nama julukan, sebagian digunakannya saat siaran radio pemberontakan. (Nani/Kompas)

TATKALA BULAN SABIT LINGSIR di kelamnya langit Surabaya, saya berjumpa dengan Ady Erlianto Setiawan. Ady, 32 tahun, merupakan salah seorang pendiri Roodebrug Soerabaia. Kami berbincang di sebuah kedai bekas rumah pejabat Javasche Bank di kawasan Darmo.

Barangkali hanya warga Surabaya yang masih mengingat nama K’tut Tantri. Dia bersimpati kepada Indonesia karena keberangannya atas ketidaksetaraan perlakuan tatanan kolonial. Ady berkata, dia sangat mengenal dan mencintai orang negeri ini. Dia tahu bahwa kelak orang Indonesia akan melupakannya, namun dia tidak peduli. “Selayaknya kita mengenang perju-angannya,” ungkap Ady, “bahwa pernah ada seorang wanita berkebangsaan asing yang berperan dalam pertempuran Surabaya.”

Pucuk dicinta, malam itu Ady datang tidak sendirian. Bersamanya seorang perempuan bule yang memerankan K’tut Tantri. Namanya, Marjolein van Pagee. Perempuan berusia 28 tahun itu asal Krabbendijke, sebuah desa di Provinsi Zeeland, Belanda. Dia merupakan fotografer yang selama lima tahun terakhir melakukan riset dan foto dokumenter tentang veteran pejuang Indonesia dan serdadu Belanda pada 1945-1949—termasuk kakeknya sendiri.

“Saya sedikit gugup ketika harus pentas di podium,” kata Marjolein. Dia mengurangi rasa gugup dengan membayangkan Tantri yang menyala-nyala di depan corong radio. Sosok itu disusurinya dari buku autobiografi sang penyiar sendiri, yang bertajuk Revolt in Paradise.

AUTOBIOGRAFI ITU DITULIS dengan gaya roman, dan diterbitkan pertama kali oleh Harper & Brother di New York, Amerika Serikat pada 1960. Dalam halaman pembukanya, Tantri menyatakan bahwa nama-nama orang telah diganti, kecuali orang-orang yang dirasa penting dalam kancah internasional. Kejadian sejarah yang dilaporkan adalah benar. Dia juga menambahkan, pada dasarnya isi buku ini adalah faktual.

Buku itu telah diterjemahkan lebih dari selusin bahasa. Pada 1965, PT Gunung Agung menjadi penerbit pertama di Indonesia yang merilisnya dengan judul Revolusi di Nusa Damai. Kata sambutannya oleh Presiden Sukarno, dan diikuti sederet menteri dan pejabat negara. Tantri juga menyisipkan tulisan tangannya dalam bahasa Inggris yang artinya, “Kenangan untuk rakyat Indonesia yang begitu mulia memberikan hidup mereka untuk merdeka, 1945-1949 dan bagi mereka yang masih hidup yang akan melihat bahwa pengorbanan mereka tidak sia-sia.” Revolt in Paradise juga diterbitkan oleh PT Gramedia pada 1982, dan 2006 dalam dua bahasa.

Dalam permulaan buku itu Tantri mewanti-wanti pada dirinya sendiri, “Kenyataan ini menyulitkan penuturan kisah, karena bercerita sejujur-jujurnya mengenai diri sendiri, tidaklah bisa dibilang gampang.”

Dia adalah seorang seniman lukis berambut merah, dengan badan pendek untuk ukuran orang bule. Nama sejatinya, Muriel Stuart Walker. Lahir pada Sabtu, 18 Februari 1899 di Glasgow, Skotlandia, Britania Raya. Satu-satunya anak dari pasangan asal Pulau Man, James Hay Stuart Walker dan Laura Helen Quayle. Dia juga memiliki darah bangsa Viking yang dikenal pemberani dan gemar petualangan.

Sebelum Muriel lahir, ayahnya wafat karena demam tropika ketika melakukan ekspedisi arkeologi ke Afrika. Sekitar akhir 1920-an, dia bersama ibunya melanjutkan hidup sebagai warga negara Amerika Serikat. Di negeri itu dia sempat menikah dengan Karl Henning Pearsen.

Kisah romantika petualangan Muriel bermula di sebuah gedung bioskop di Hollywood Boulevard yang menyajikan film Bali, The Last Paradise pada 1932. Atas inspirasi film itulah, dia berlayar dari pelabuhan New York menuju Batavia. Entahlah, hingga kini tak seorang pun menemukan film dengan judul demikian.

Sesampainya di Batavia, Muriel bermobil menyusuri pesisir utara Jawa sampai ke Pulau Bali. Di pedalaman tanah para dewata, demikian kisahnya, dia disambut baik oleh Raja Bangli Anak Agung Gede dan anak lelaki semata wayangnya yang bernama Anak Agung Nura. Sang Raja mengangkatnya sebagai anak keempat, dan memberinya nama K’tut. Dia menetap di Bali sejak 1934 hingga jelang kedatangan Jepang. Hotelnya yang bernama Swara Segara pun hancur saat serangan Jepang di Kuta. Nura hendak meminangnya sebagai istri, namun ditolaknya. Malangnya, Nura tewas dibunuh pemuda karena diduga antek Belanda, demikian kisah Tantri.

Nura adalah nama yang paling banyak disebut Tantri. Anehnya, nama itu tak pernah dikenal oleh keluarga Raja Bangli. Saya pun tergelitik bertanya kepada Hans Hägerdal, siapakah sejatinya Anak Agung Nura?

Hans merupakan Guru Besar Madya dalam bidang sejarah pada School of Cultural Sciences, Linnaeus University di Växjö, Swedia.

Pada 1998, Hans bertemu Anak Agung Made Rai Rama, lelaki sepuh keturunan Raja Bangli terakhir yang tinggal dalam puri. Saat Hans bertanya tentang Nura yang berkait dengan K’tut Tantri, Rama dengan sigap menjawab bahwa Nura adalah “Anak Agung Gede Oka”. Rama juga punya kenangan saat Tantri mengantar anak-anak Bali ke sekolah dengan mobilnya dan juga saat perempuan itu memberinya oleh-oleh sebuah batu permata. “Dia memperlihatkannya kepada saya,” ungkap Hans.

Hans juga berjumpa Anak Agung Gede Ngurah, saudara kandung pahlawan Kapten Anak Agung Gede Anom Muditha. Lelaki sepuh itu berkata kepadanya bahwa Oka bukanlah anak raja melainkan keponakan dari seorang raja sebelum raja terakhir, I Dewa Gede Taman yang menjabat pada 1925-1930. Ngurah juga menegaskan bahwa Oka tewas dibunuh orang Republik karena dia diduga mendukung NICA, mungkin pada 1945 atau 1946.

“Sungguh berbahaya menggunakan buku perempuan itu sebagai referensi sejarah,” Hans beramanat kepada saya. “Karena buku ini tak pelak lagi mencampurkan fakta dan fiksi.”

 

Perempuan berambut pirang itu adalah K'tut Tantri (Arsip Keluarga Sutomo)

SELEPAS MENJADI TAWANAN JEPANG selama dua tahun lebih di Kediri dan Surabaya, Tantri bergabung dengan Bung Tomo dalam Radio Pemberontakan. Stasiun radio itu bermula dari sebuah rumah di Embong Mawar, Surabaya. Rentak irama drum dan melodi gitar ala Hawaii dalam Tiger Shark karya Peter Hodgkinson, menjadi lagu pembuka dan penutup siarannya.

Bung Tomo pun mengenang Tantri dalam pengantar buku Revolusi di Nusa Damai. “Saya tidak akan melupakan detik-detik dikala Tantri dengan tenang mengucapkan pidatonya di muka mikropon, sedangkan bom-bom dan peluru-peluru mortir berjatuhan dengan dahsyatnya di keliling pemancar radio pemberontakan,” tulis Bung Tomo. “Dan kemudian dengan tersenyum menyambut uluran tangan saya sebagai tanda terima kasih kita semua.”

“Ketemu K’tut Tantri di Surabaya waktu itu di Embong Mawar. Awalnya saya tidak tahu siapa itu yang siaran bahasa Inggris,” ujar Sulistina Sutomo lirih di kediamannya, Cibubur. Janda mendiang Bung Tomo itu usianya 89 tahun, mungkin saksi terakhir soal kemunculan Tantri di Surabaya pada akhir 1945. “Dia dijuluki Tokyo Rose dari Indonesia—Sourabaya Sue.”

Sebelum pers luar negeri menjulukinya de-ngan “Sourabaya Sue”, sederet nama seperti Molly McTavish, Modjokerto Molly, dan Merdeka Moll telah menjadi tengaranya. Bahkan dia memiliki sederet nama pedengan: Tanchery, Daventry, Oestermann, Solo Sally, Djokja Josy, Vannine, Vannen, Vanessa, Manx, atau Manxy.

Dia berkata, Tantri telah mengabarkan siaran situasi Indonesia yang didengar hingga Australia. Konon, siaran itu berkontribusi dalam pemogokan buruh pelabuhan Australia yang menolak memuat pasokan ke kapal-kapal militer Belanda yang bersiap ke Indonesia.

Tantri memberikan tanda mata kepadanya sebuah kotak rias warna biru, dan juga koper bercorak mawar aneka warna. “Mas Tomo bilang, ‘Awas itu kopernya mata-mata lho,’” kata Sulistina dengan jenaka. “Terus koper itu saya cat putih. Saya takut dikira mata-mata!”

Perempuan Amerika itu terakhir singgah ke rumah Bung Tomo dan Sulistina di Jalan Besuki 27, Menteng, Jakarta Pusat pada 1980. Ketika itu Tantri sudah berusia 81 tahun, dan berencana pindah ke Australia. Katanya, ujar Sulistina, perempuan itu akan mendapatkan persekot dari bukunya yang akan difilmkan. “Kasihan hidupnya... Kasihan hidupnya,” ujarnya menerawang. “Dia tidak punya pegangan. Saya tidak tahu apakah dia mendapat pensiun atau tidak.”

Ratna Sulistami, 56 tahun, putri bungsunya menambahkan. Pada 1980, Ratna berkesempatan mengantarkan Tantri ke Hotel Mandarin Oriental. Kesehatannya tak lagi prima, kata Ratna. Sendi jemari tangannya mulai bengkok, mungkin osteoarthritis; kaki varises, dan ta-ngan gemetaran. “Dia terbata-bata dengan bahasa Ing-gris,” Ratna masih ingat satu pesannya, “‘Saya sampai dipenjara karena ingin membebaskan Indonesia. Kamu baca saja buku saya.’”

Tampaknya Tantri menyuratkan takdir di bagian akhir bukunya, “Mungkin saja orang Indonesia akan melupakan diriku apabila negara itu sudah benar-benar merdeka. Kenapa tidak? Aku kan hanya ombak kecil di tengah alun banjir semangat kemerdekaan.” Namun demikian, perempuan itu masih saja menggoreskan pena kenangannya. Tak hanya bagi warga Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta, tetapi juga Bandung.

“K’tut Tantri pernah makan pagi bersama di rumah saya di Bandung,” kata Husnaeni Husin, 64 tahun. Saya menyimak kisah lelaki itu di kantor konsultan arsitektur miliknya, bilangan Kayu Putih Selatan, Jakarta Timur.

Singkat cerita, Kolonel Raden Susatyo mengantar Tantri dengan jip Willys untuk bermalam di rumah Mohammad Husin—ayah Husnaeni—di Jalan Sulanjana nomor 7 Bandung, sekitar Juli atau Agustus 1960. Husnaeni mengatakan, kolonel itu memang kawan karib ayahnya. Dalam buku Tantri, Susatyo disebut sebagai intelijen dan ajudan Presiden Sukarno. Esoknya, Tantri bersama keluarga Susatyo dan keluarga Husin melancong ke Yogyakarta. Tampaknya untuk bernostalgia. Perempuan itu pernah tinggal di Hotel Merdeka—kini Hotel Inna Garuda—sepanjang 1946 hingga awal 1947, sebagai staf Kementerian Penerangan, ketika pemerintah Republik pindah ke Yogyakarta.

Kini, rumah Husnaeni telah dijual, nomornya pun berganti 15. Saya berkesempatan mengunjungi rumah yang pernah disinggahi Tantri untuk bermalam itu. Bangunannya masih berdiri, namun digunakan sebagai pangkas rambut dan salah satu stasiun radio swasta ternama di Bandung.

PIDATO BERBAHASA INGGRIS pertama Sukarno disiarkan dari corong radio Voice of Free Indonesia di Yogyakarta. K’tut Tantri menyatakan bahwa dialah yang menulis pidato itu, demikian kisah dalam buku autobiografi Tantri.

Ketika ibu kota Republik Indonesia berada di Yogyakarta, Ali Sastroamidjojo menugaskan kepada Tantri untuk membuat pidato berbahasa Inggris untuk Presiden Sukarno. Awalnya, Tantri menolak lantaran tak punya pengalaman tulis-menulis soal pidato politik, apalagi setingkat kepala negara.

“Aku lantas memusatkan pikiran, berusaha mengingat-ingat tulisan dan ucapan tokoh-tokoh demokrasi Amerika,” ungkap Tantri dalam buku autobiografinya. Dia berhasil merumuskan ide-ide dari pemikiran Thomas Paine, Jefferson, Abraham Lincoln, dan sederet negarawan Amerika Serikat lainnya. 

Sukarno dengan mantap membaca pidato berbahasa Inggris karya Tantri lewat corong Voice of Free Indonesia. Gaya Sukarno dalam membaca itu tampaknya telah memberikan makna yang lebih dalam bagi siapa saja yang mendengarnya, demikian pendapat Tantri.

“Pidato radio itu sukses besar,” ungkapnya. “Aku sangat terharu ketika mendengar suara Bung Karno yang berat dan penuh perasaan membaca naskahku.”

Hari itu pun Sukarno memanggil Tantri untuk datang ke Istana. Perempuan itu datang  dengan busana kebaya dengan lengan berbalut merah-putih. Dia tercengang menyaksikan Sukarno yang tidak berseragam khaki atau setelan serba putih, melainkan bersarung dengan jas pendek dan mengenakan kopiah sebagai tutup kepalanya. “Kurasa selama ini belum ada orang kulit putih yang pernah melihatnya memakai sarung,” ungkap Tantri. “Kelihatannya tampan sekali!”

“Saya berusaha memaparkan cita-cita bangsa Indonesia pada seluruh rakyat di dunia—yaitu kemerdekaan, hak untuk membangun negara sendiri,” tulis Tantri dalam bukunya. “Saya juga ingin menandaskan pada Belanda—dan sedikit banyak kepada Inggris—mengenai kesalahan besar yang mereka lakukan selama ini.”

Dalam bukunya, dia juga menyatakan terlibat beberapa ‘operasi rahasia’ untuk membantu perjuangan Indonesia. Penyelundupan senjata Surabaya-Bali pada awal masa Jepang, Operasi Perawat di Surabaya, menangkis kudeta terhadap Bung Karno di Yogyakarta, hingga Operasi Kucing-kucingan ke Singapura menembus blokade Belanda. Misi terakhirnya, menyelundupkan utusan Mesir ke Yogyakarta. Utusan itu mewakili Liga Arab yang menyampaikan dukungan atas kedaulatan Republik ini.

Boleh jadi, Operasi Perawat merupakan operasi non-militer yang sudah terlupakan. Ibarat kisah penyamaran yang mendebarkan dalam novel detektif, Tantri dan para pejuang kita pun melakukan aksi serupa.

Tatkala serdadu-serdadu Inggris menguasai jantung Kota Surabaya sekitar November 1945, para pejuang Radio Pemberontakan menyingkir dan bergerilya hingga di barisan pegunungan di latar Mojokerto. Dalam gulita malam, mereka mengangkut peralatan pemancar radio dengan truk lalu berlanjut dengan berkuda dari bukit ke bukit. Tujuannya, menyiarkan berita ke seantero jagad, sekaligus membakar semangat para pejuang Republik. Namun, akibat sering berpindah, salah satu bagian penting dari pemancar radio itu mengalami kerusakan. Rencana untuk mengambil suku cadang pemancar ke Radio Pemberontakan di Malang, kota terdekat, dibatalkan lantaran pemancarnya juga mengalami kerusakan. Pilihan terakhir, mereka harus mengambil suku cadang pemancar itu di sebuah rumah kosong dekat pemancar lama di Surabaya—yang saat itu dikuasai tentara Inggris. Bagaimana mungkin? Para pejuang menemukan cara untuk menyusup ke pertahanan musuh di Surabaya: Menyamar sebagai awak Palang Merah Internasional lengkap dengan mobil ambulans! ”Aku merinding mendengar rencana itu,” ungkap K’tut Tantri yang turut bergerilya bersama pejuang Republik. Nama sejati perempuan itu Muriel Stuart Walker, warga negara Amerika Serikat kelahiran Inggris. Dia berada di Indonesia selama lima belas tahun, 1932-1947. Awalnya dia tinggal di Bali, diangkat sebagai anak oleh Raja Bali yang memberinya nama khas Bali tersebut. Tantri mengingatkan kepada para pejuang bahwa menggunakan identitas Palang Merah Internasional sangat berbahaya lantaran di Jawa Timur belum ada perwakilan organisasi tersebut. Namun seorang pemimpin gerilya menjawab dengan enteng, ”Prajurit Inggris tidak begitu cerdas. Pokoknya mereka melihat kata internasional, pasti langsung percaya.” Tantri yang awalnya ragu pun menyetujui siasat para gerilyawan, asalkan operasi tersebut bukan operasi militer—tanpa senjata. Dalam skenario, perempuan itu berperan sebagai perawat zaman Perang Dunia II, berbusana serba putih dengan lengan berjahit ban Palang Merah internasional. Tak hanya itu, dia dilengkapi surat-surat dan paspor dengan foto aslinya, namun bernama samaran ”Molly McTavish”. Mobil ambulans berlabel rekaan “INTERNATIONAL THE RED CROSS” telah diperoleh dari sebuah rumah sakit swasta di Mojokerto. Pengemudinya seorang pemimpin gerilyawan yang berpakaian dinas. Sementara, di dalam ambulans terdapat dua gerilyawan: Seorang menyamar sebagai dokter berbusana serba putih dan lainnya berakting sebagai korban. Sang korban terbaring dengan balutan perban penuh rembesan darah—dari ayam yang disembelih.  K’tut Tantri terkesima menyaksikan keberanian dan ketelitian para gerilyawan Republik dalam menyusun strategi, meskipun mereka adalah orang-orang yang kurang berpendidikan. ”Aku menilainya sebagai rencana gila-gilaan.”

Mendekati barikade Kota Surabaya, sirine ambulans diraungkan. Namun, satu serdadu Inggris dan dua serdadu Gurkha menahan perjalanan mereka. Sang serdadu terkejut menyaksikan ada perempuan kulit putih di dalamnya. Si serdadu pun berkenalan dengan ”Molly McTravish” dan mengajak berkencan. Namun,”Molly McTravish” menolaknya dengan alasan harus segera menyelamatkan korban di dalam ambulans. Lantaran iba dengan korban, serdadu itu melunaskan permintaan mereka untuk melaju ke dalam kota. Mobil ambulans sampai ke alamat tujuan. Di Surabaya, mereka segera memasukkan suku cadang pemancar, sekarung makanan kaleng, dan sekotak besar rokok. Akhirnya, mereka kembali ke Mojokerto dengan selamat. ”Operasi Perawat berhasil kami selesaikan dengan hasil memuaskan,” ungkap Tantri. ”Pemancar radio diperbaiki. Voice of Free Indonesia bisa berkumandang kembali di udara.”

Sungguhkah perjalanan hidupnya heroik dan penuh petualangan?

“Itu fakta. Buat apa dibikin fiksi?” ujar Bambang Sulistomo kepada saya di sebuah kedai es krim di Cilandak, Jakarta Selatan. Lelaki 65 tahun itu merupakan anak Bung Tomo, yang juga pengurus Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia. Bambang berkata, Revolt in Paradise terbit ketika Bung Tomo, Sukarno, dan tokoh-tokoh lainnya masih hidup. “Tidak mung-kin yang dia ceritakan itu bohong. Mungkin dia hanya menambahkan sisi romantismenya.”

Suatu siang, saya menemui Asvi Warman Adam, Guru Besar Riset pada Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

“Saya ingin sampaikan tentang sejarah lisan dari orang-orang yang terlibat dalam sejarah,” ujarnya. “Bahayanya, mereka mempunyai kesempatan kedua.” Asvi berkisah kepada saya tentang sederet pelaku sejarah yang mempunyai kesempatan kedua. Kesempatan pertama, mereka terlibat dalam peristiwa bersejarah. Kesempatan kedua, ketika menceritakannya kembali, mereka berpeluang untuk melebihkan sesuatu dalam cerita, atau membuat diri mereka yang pengecut menjadi pahlawan. “Ada kesempatan-kesempatan yang dimiliki oleh Si K’tut Tantri ini,” ujarnya.

Menurut Asvi, Revolt in Paradise merupakan “roman sejarah” yang menarik karena mence-ritakan peristiwa sejarah dengan sentuhan kemanusiaan. Tetapi, Asvi mengingatkan, belum tentu semua peristiwa di dalam buku itu sungguh terjadi. “Kita tidak tahu persis mana yang be-tul-betul dialami si penulisnya atau fiktif belaka.” Kalaupun turut dalam peristiwa seja-rah, Asvi berkata, “Persoalannya seberapa besar dia terlibat dalam peristiwa-peristiwa itu?”

Tanggapan lain tentang Tantri datang dari Timothy Lindsey, Guru Besar di Melbourne Law School, University of Melbourne, Australia. “Pada dasarnya, sebagian besar bukunya adalah benar,” ungkap Tim kepada saya. “K’tut adalah seorang eksentrik yang banyak maunya dan sulit dimengerti, tetapi dia juga sangat berani dan hero tulen yang sa-ngat mencintai Indonesia. Dialah salah satu orang yang paling luar biasa yang pernah saya temui.” 

Jelang akhir hayat Tantri, Tim adalah orang terdekatnya. Tim menyusun buku The Romance of K’tut Tantri and Indonesia, terbit pada 1997, yang merupakan revisi dari tesis doktoralnya. Dia mengungkap sisi yang tidak diceritakan—atau sengaja disembunyikan—dalam auto-biografi Tantri. Tampaknya, perempuan itu mengaburkan fakta tentang dirinya sendiri. “Dia terobsesi dengan cerita sendiri, dan usahanya untuk menjadikannya sebuah film, dan dia mengubah apa yang sebenarnya terjadi agar lebih sesuai dengan visi romantis hidupnya sendiri,” ungkap Tim. “Hampir semua yang diceritakan dalam buku ini memang sungguh terjadi, meskipun dia memutar-balikkan beberapa detailnya.”

Di sebuah panti jompo di Redferd, Sydney, New South Wales; Tantri wafat pada Minggu malam, 27 Juli 1997. Jelang kremasi, bendera Indonesia dan lembaran kain kuning dan putih khas Bali terhampar di atas petinya. Wasiatnya untuk diaben di Bali tak pernah terlaksana.

Pada November 1998, pemerintah Indonesia mengganjar Bintang Mahaputra Nararya kepada “Ni K’tut Tantri”. Penghargaan tertinggi kedua itu diterimanya bukan karena keterlibatan dalam Pertempuran Surabaya 1945, melainkan atas jasanya sebagai wartawan sekaligus pegawai Kementerian Penerangan pada 1950. Setidaknya, peran Tantri masih dikenang di negeri yang pernah menjadi bagian takdirnya.

Selama sekitar 30 tahun sisa hidupnya, Tantri memang mendambakan sebuah film dari buku riwayat hidupnya. Presiden Suharto pun, pada November 1968, menyatakan bahwa angkatan bersenjata menyetujui proposal film tersebut. Satu dari sekian orang yang berniat mewujudkan mimpi Tantri tentang film autobiografinya adalah Di Morrissey. Perempuan berusia 67 tahun asal Wingham, New South Wales itu kini sohor sebagai penulis fiksi populer di Australia. Di mengisahkan kepada saya tentang sebuah rencana pembuatan film Revolt in Paradise yang tertunda.

Dia bertemu K’tut Tantri pada sekitar 1980-an, dan berniat untuk membeli hak cipta film dari buku Tantri. Namun, tampaknya Tantri tidak menanggapi serius. Setelah itu Di tidak pernah mendengar lagi kabar dan filmnya.

Di mengungkapkan kepada saya bahwa suluh pembuatan film itu kembali menyala berkat kesediaan Andrew Wiseman sebagai produsernya. Di juga meminta wejangan dari Tim Lindsey dan berharap menggalang kerja sama Australia, Amerika Serikat, dan Indonesia.

Kini, Di sedang menulis naskahnya. Mereka berharap membuat film di Indonesia juga. “K’tut merupakan seorang patriot sejati dan dia mencintai Indonesia.” Dia pernah mewasiatkan sebuah yayasan yang menyiapkan pemuda-pemudi Bali untuk industri pariwisata, ungkap Di. “Sebagian keuntungan dari produksi film ini akan mewujudkan wasiatnya.”

BEBERAPA BULAN USAI Marjolein memerankan K’tut Tantri, muncul beragam tanggapan dari publik negerinya. Ketika radio pemerintah Belanda—De Nederlandse Publieke Omroep—mewawancarainya, segelintir orang berkomentar miring. Mereka menyayangkan betapa perempuan Belanda bisa satu podium dengan Bung Tomo, yang bagi orang Belanda memiliki catatan buruk saat periode Bersiap. Marjolein memakluminya. Namun, dia meyakinkan mereka bahwa dia memerankan Tantri yang seorang Amerika—bukan Belanda.

“Saya tidak membenci negara saya.” Lewat sejarah, dia mengetahui apa yang terjadi pada 1945, tentang ketimpangan dan rasisme dari sistem kolonial Belanda. Pun, Marjolein kerap merasa ada ikatan emosional kala mendengar lagu Indonesia Raya ketimbang lagu kebangsaannya sendiri. “Saya benar-benar mengutuk apa yang pemerintah saya dan orang lakukan pada saat itu,” ungkapnya kepada saya.

“Saya tidak yakin bisa memiliki keberanian untuk menjadi K’tut apabila saya hidup pada masa itu,” ungkap Marjolein. “Tetapi, dengan mengetahui kisahnya sekarang, saya dapat mengatakan bahwa dia adalah sosok yang luar biasa dan sangat inspiratif bagi saya.”

Simak kisah lengkap “Timbang Hati Si Puan Pemberani” di majalah National Geographic Indonesia edisi Agustus 2015.