Boleh jadi, Operasi Perawat merupakan operasi non-militer yang sudah terlupakan. Ibarat kisah penyamaran yang mendebarkan dalam novel detektif, Tantri dan para pejuang kita pun melakukan aksi serupa.
Tatkala serdadu-serdadu Inggris menguasai jantung Kota Surabaya sekitar November 1945, para pejuang Radio Pemberontakan menyingkir dan bergerilya hingga di barisan pegunungan di latar Mojokerto. Dalam gulita malam, mereka mengangkut peralatan pemancar radio dengan truk lalu berlanjut dengan berkuda dari bukit ke bukit. Tujuannya, menyiarkan berita ke seantero jagad, sekaligus membakar semangat para pejuang Republik. Namun, akibat sering berpindah, salah satu bagian penting dari pemancar radio itu mengalami kerusakan. Rencana untuk mengambil suku cadang pemancar ke Radio Pemberontakan di Malang, kota terdekat, dibatalkan lantaran pemancarnya juga mengalami kerusakan. Pilihan terakhir, mereka harus mengambil suku cadang pemancar itu di sebuah rumah kosong dekat pemancar lama di Surabaya—yang saat itu dikuasai tentara Inggris. Bagaimana mungkin? Para pejuang menemukan cara untuk menyusup ke pertahanan musuh di Surabaya: Menyamar sebagai awak Palang Merah Internasional lengkap dengan mobil ambulans! ”Aku merinding mendengar rencana itu,” ungkap K’tut Tantri yang turut bergerilya bersama pejuang Republik. Nama sejati perempuan itu Muriel Stuart Walker, warga negara Amerika Serikat kelahiran Inggris. Dia berada di Indonesia selama lima belas tahun, 1932-1947. Awalnya dia tinggal di Bali, diangkat sebagai anak oleh Raja Bali yang memberinya nama khas Bali tersebut. Tantri mengingatkan kepada para pejuang bahwa menggunakan identitas Palang Merah Internasional sangat berbahaya lantaran di Jawa Timur belum ada perwakilan organisasi tersebut. Namun seorang pemimpin gerilya menjawab dengan enteng, ”Prajurit Inggris tidak begitu cerdas. Pokoknya mereka melihat kata internasional, pasti langsung percaya.” Tantri yang awalnya ragu pun menyetujui siasat para gerilyawan, asalkan operasi tersebut bukan operasi militer—tanpa senjata. Dalam skenario, perempuan itu berperan sebagai perawat zaman Perang Dunia II, berbusana serba putih dengan lengan berjahit ban Palang Merah internasional. Tak hanya itu, dia dilengkapi surat-surat dan paspor dengan foto aslinya, namun bernama samaran ”Molly McTavish”. Mobil ambulans berlabel rekaan “INTERNATIONAL THE RED CROSS” telah diperoleh dari sebuah rumah sakit swasta di Mojokerto. Pengemudinya seorang pemimpin gerilyawan yang berpakaian dinas. Sementara, di dalam ambulans terdapat dua gerilyawan: Seorang menyamar sebagai dokter berbusana serba putih dan lainnya berakting sebagai korban. Sang korban terbaring dengan balutan perban penuh rembesan darah—dari ayam yang disembelih. K’tut Tantri terkesima menyaksikan keberanian dan ketelitian para gerilyawan Republik dalam menyusun strategi, meskipun mereka adalah orang-orang yang kurang berpendidikan. ”Aku menilainya sebagai rencana gila-gilaan.”
Mendekati barikade Kota Surabaya, sirine ambulans diraungkan. Namun, satu serdadu Inggris dan dua serdadu Gurkha menahan perjalanan mereka. Sang serdadu terkejut menyaksikan ada perempuan kulit putih di dalamnya. Si serdadu pun berkenalan dengan ”Molly McTravish” dan mengajak berkencan. Namun,”Molly McTravish” menolaknya dengan alasan harus segera menyelamatkan korban di dalam ambulans. Lantaran iba dengan korban, serdadu itu melunaskan permintaan mereka untuk melaju ke dalam kota. Mobil ambulans sampai ke alamat tujuan. Di Surabaya, mereka segera memasukkan suku cadang pemancar, sekarung makanan kaleng, dan sekotak besar rokok. Akhirnya, mereka kembali ke Mojokerto dengan selamat. ”Operasi Perawat berhasil kami selesaikan dengan hasil memuaskan,” ungkap Tantri. ”Pemancar radio diperbaiki. Voice of Free Indonesia bisa berkumandang kembali di udara.”
Sungguhkah perjalanan hidupnya heroik dan penuh petualangan?
“Itu fakta. Buat apa dibikin fiksi?” ujar Bambang Sulistomo kepada saya di sebuah kedai es krim di Cilandak, Jakarta Selatan. Lelaki 65 tahun itu merupakan anak Bung Tomo, yang juga pengurus Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia. Bambang berkata, Revolt in Paradise terbit ketika Bung Tomo, Sukarno, dan tokoh-tokoh lainnya masih hidup. “Tidak mung-kin yang dia ceritakan itu bohong. Mungkin dia hanya menambahkan sisi romantismenya.”
Suatu siang, saya menemui Asvi Warman Adam, Guru Besar Riset pada Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
“Saya ingin sampaikan tentang sejarah lisan dari orang-orang yang terlibat dalam sejarah,” ujarnya. “Bahayanya, mereka mempunyai kesempatan kedua.” Asvi berkisah kepada saya tentang sederet pelaku sejarah yang mempunyai kesempatan kedua. Kesempatan pertama, mereka terlibat dalam peristiwa bersejarah. Kesempatan kedua, ketika menceritakannya kembali, mereka berpeluang untuk melebihkan sesuatu dalam cerita, atau membuat diri mereka yang pengecut menjadi pahlawan. “Ada kesempatan-kesempatan yang dimiliki oleh Si K’tut Tantri ini,” ujarnya.
Menurut Asvi, Revolt in Paradise merupakan “roman sejarah” yang menarik karena mence-ritakan peristiwa sejarah dengan sentuhan kemanusiaan. Tetapi, Asvi mengingatkan, belum tentu semua peristiwa di dalam buku itu sungguh terjadi. “Kita tidak tahu persis mana yang be-tul-betul dialami si penulisnya atau fiktif belaka.” Kalaupun turut dalam peristiwa seja-rah, Asvi berkata, “Persoalannya seberapa besar dia terlibat dalam peristiwa-peristiwa itu?”
Tanggapan lain tentang Tantri datang dari Timothy Lindsey, Guru Besar di Melbourne Law School, University of Melbourne, Australia. “Pada dasarnya, sebagian besar bukunya adalah benar,” ungkap Tim kepada saya. “K’tut adalah seorang eksentrik yang banyak maunya dan sulit dimengerti, tetapi dia juga sangat berani dan hero tulen yang sa-ngat mencintai Indonesia. Dialah salah satu orang yang paling luar biasa yang pernah saya temui.”
Jelang akhir hayat Tantri, Tim adalah orang terdekatnya. Tim menyusun buku The Romance of K’tut Tantri and Indonesia, terbit pada 1997, yang merupakan revisi dari tesis doktoralnya. Dia mengungkap sisi yang tidak diceritakan—atau sengaja disembunyikan—dalam auto-biografi Tantri. Tampaknya, perempuan itu mengaburkan fakta tentang dirinya sendiri. “Dia terobsesi dengan cerita sendiri, dan usahanya untuk menjadikannya sebuah film, dan dia mengubah apa yang sebenarnya terjadi agar lebih sesuai dengan visi romantis hidupnya sendiri,” ungkap Tim. “Hampir semua yang diceritakan dalam buku ini memang sungguh terjadi, meskipun dia memutar-balikkan beberapa detailnya.”
Di sebuah panti jompo di Redferd, Sydney, New South Wales; Tantri wafat pada Minggu malam, 27 Juli 1997. Jelang kremasi, bendera Indonesia dan lembaran kain kuning dan putih khas Bali terhampar di atas petinya. Wasiatnya untuk diaben di Bali tak pernah terlaksana.
Pada November 1998, pemerintah Indonesia mengganjar Bintang Mahaputra Nararya kepada “Ni K’tut Tantri”. Penghargaan tertinggi kedua itu diterimanya bukan karena keterlibatan dalam Pertempuran Surabaya 1945, melainkan atas jasanya sebagai wartawan sekaligus pegawai Kementerian Penerangan pada 1950. Setidaknya, peran Tantri masih dikenang di negeri yang pernah menjadi bagian takdirnya.
Selama sekitar 30 tahun sisa hidupnya, Tantri memang mendambakan sebuah film dari buku riwayat hidupnya. Presiden Suharto pun, pada November 1968, menyatakan bahwa angkatan bersenjata menyetujui proposal film tersebut. Satu dari sekian orang yang berniat mewujudkan mimpi Tantri tentang film autobiografinya adalah Di Morrissey. Perempuan berusia 67 tahun asal Wingham, New South Wales itu kini sohor sebagai penulis fiksi populer di Australia. Di mengisahkan kepada saya tentang sebuah rencana pembuatan film Revolt in Paradise yang tertunda.
Dia bertemu K’tut Tantri pada sekitar 1980-an, dan berniat untuk membeli hak cipta film dari buku Tantri. Namun, tampaknya Tantri tidak menanggapi serius. Setelah itu Di tidak pernah mendengar lagi kabar dan filmnya.
Di mengungkapkan kepada saya bahwa suluh pembuatan film itu kembali menyala berkat kesediaan Andrew Wiseman sebagai produsernya. Di juga meminta wejangan dari Tim Lindsey dan berharap menggalang kerja sama Australia, Amerika Serikat, dan Indonesia.
Kini, Di sedang menulis naskahnya. Mereka berharap membuat film di Indonesia juga. “K’tut merupakan seorang patriot sejati dan dia mencintai Indonesia.” Dia pernah mewasiatkan sebuah yayasan yang menyiapkan pemuda-pemudi Bali untuk industri pariwisata, ungkap Di. “Sebagian keuntungan dari produksi film ini akan mewujudkan wasiatnya.”
BEBERAPA BULAN USAI Marjolein memerankan K’tut Tantri, muncul beragam tanggapan dari publik negerinya. Ketika radio pemerintah Belanda—De Nederlandse Publieke Omroep—mewawancarainya, segelintir orang berkomentar miring. Mereka menyayangkan betapa perempuan Belanda bisa satu podium dengan Bung Tomo, yang bagi orang Belanda memiliki catatan buruk saat periode Bersiap. Marjolein memakluminya. Namun, dia meyakinkan mereka bahwa dia memerankan Tantri yang seorang Amerika—bukan Belanda.
“Saya tidak membenci negara saya.” Lewat sejarah, dia mengetahui apa yang terjadi pada 1945, tentang ketimpangan dan rasisme dari sistem kolonial Belanda. Pun, Marjolein kerap merasa ada ikatan emosional kala mendengar lagu Indonesia Raya ketimbang lagu kebangsaannya sendiri. “Saya benar-benar mengutuk apa yang pemerintah saya dan orang lakukan pada saat itu,” ungkapnya kepada saya.
“Saya tidak yakin bisa memiliki keberanian untuk menjadi K’tut apabila saya hidup pada masa itu,” ungkap Marjolein. “Tetapi, dengan mengetahui kisahnya sekarang, saya dapat mengatakan bahwa dia adalah sosok yang luar biasa dan sangat inspiratif bagi saya.”
Simak kisah lengkap “Timbang Hati Si Puan Pemberani” di majalah National Geographic Indonesia edisi Agustus 2015.