Magnet Kota yang Hilang

By , Rabu, 30 September 2015 | 14:21 WIB

Pada pertengahan 1990-an pembuat film dokumenter bernama Steve Elkins terpesona oleh legenda Kota Putih dan mulai berupaya mencarinya. Bertahun-tahun dia membaca laporan dari penjelajah, arkeolog, pencari emas, penyelundup narkoba, dan geolog. Dia memetakan area mana yang sudah dijelajahi dan mana yang belum. Dia mempekerjakan ilmuwan di Jet Propulsion Laboratory (JPL) di NASA, untuk menganalisis seabrek data dari citra Landsat dan radar tentang Mosquitia, mencari tanda-tanda permukiman kuno. Laporan JPL memperlihatkan gambar yang mungkin berbentuk “garis lurus dan garis lengkung” di tiga lembah, yang dilabeli Elkins sebagai T1, T2, dan T3, dengan T singkatan dari “target.”  Yang pertama adalah lembah sungai yang belum dijelajahi, dikelilingi gigir, membentuk mangkuk alami. “Saya terpikir,” kata Elkins, “andaikan saya raja, ini tempat yang tepat untuk menyembunyikan kerajaan saya.”  Tetapi, citra itu tidak pasti; dia perlu cara lebih baik untuk mengintip ke balik tajuk rimba.

Lalu, pada 2010, Elkins membaca artikel dalam majalah Archaeology yang menggambarkan cara menggunakan teknik yang disebut lidar (singkatan dari light detection and ranging, atau deteksi dan penentuan jarak dengan cahaya) untuk memetakan kota Maya bernama Caracol, di Belize. Cara kerja lidar adalah memantulkan ratusan ribu pulsa berkas laser inframerah pada hutan hujan di bawah, mencatat lokasi titik setiap pantulan. “Awan titik” tiga dimensi dapat diolah dengan perangkat lunak untuk menghapus pulsa yang mengenai pohon dan semak, menyisakan citra yang hanya tersusun dari pulsa yang mencapai medan di bawahnya—termasuk garis bentuk fitur arkeologi. Hanya setelah memindai lima hari, lidar mengungkapkan bahwa Caracol tujuh kali lipat lebih luas daripada yang diduga berdasarkan 25 tahun survei di tanah.

Salah satu kekurangan lidar adalah biayanya. Survei Caracol dilakukan oleh National Center for Airborne Laser Mapping (NCALM) . Kalau ingin NCALM memindai tiga lembah seluas 43 kilometer persegi, diperlukan biaya setara 3,5 miliar rupiah. Untungnya, pada saat itu semangat tak terbendung Elkins untuk mencari Kota Putih telah menulari Bill Benenson, pembuat film juga, yang memutuskan untuk membiayainya sendiri.

Hasil awalnya mencengangkan. Tampaknya ada reruntuhan yang berderet di sepanjang lembah T1 sejauh beberapa kilometer. Di T3 tampak situs yang dua kali lebih besar. Meski bangunan yang lebih besar bisa lebih mudah dilihat, analisis lebih terperinci soal citra itu memerlukan mata arkeolog yang terampil menggunakan lidar. Elkins dan Benenson meminta bantuan Chris Fisher, spesialis bidang Mesoamerika di Colorado State University.

Melalui jalan itulah Fisher akhirnya berdiri di tepi sungai tak bernama di T1 pada Februari 2015, menatap tembok rimba di seberang sungai dan tak sabar ingin terjun ke sana.

 !break!