Magnet Kota yang Hilang

By , Rabu, 30 September 2015 | 14:21 WIB

Sambil berpegangan pada akar dan tanaman merambat, kami mendaki lereng licin yang berserak daun. Di puncak yang penuh tumbuhan lebat, Fisher menunjuk lekuk tanah persegi yang dangkal tetapi jelas, yang dia yakini sebagai bekas batas bangunan. Sambil berlutut untuk melihat lebih jelas, Neil menemukan sesuatu yang tampaknya merupakan bukti konstruksi tanah-padatan, mendukung interpretasi bahwa itu dahulunya sebuah piramida tanah. Fisher sangat gembira. “Persis seperti dugaan saya,” ujarnya. “Semua medan ini pernah diolah oleh tangan manusia.”

Fisher dan Wood membawa tim turun dari piramida ke tempat yang diharapkan Fisher merupakan salah satu dari sepuluh “plaza”, atau alun-alun kota itu. Ketika sampai ke tempat itu, terlihat hamparan hutan hujan yang rata karena ditangani manusia, seperti lapangan sepak bola. Gundukan berjajar lurus di ketiga sisinya, sisa-sisa dinding dan bangunan. Di tengah alun-alun itu terdapat galur yang terbentuk oleh aliran air, memperlihatkan permukaan yang berlapis batu. Setelah menyeberangi alun-alun, kami menemukan deretan batu datar yang mirip altar di atas tripod batu putih. Sayangnya, hutan lebat menghalangi kami memahami tata letak atau skala kota kuno itu. Diiringi surya yang masuk ke peraduannya, kami kembali ke kemah.

Kami terbangun keesokan harinya dan berangkat untuk menjelajah lagi. Dikelilingi pepohonan besar dan gundukan senyap, saya merasa menjauh dari masa kini. Suara ramai di tajuk pohon mengabarkan datangnya hujan. Baru beberapa menit kemudian tetes hujan sampai ke tanah. Kami basah kuyup.

Fisher, sambil memegang parang, mendaki ke utara bersama Neil dan Juan Carlos Fernández-Diaz, teknisi lidar tim, untuk memetakan alun-alun lain kota itu. Anna Cohen, kandidat doktor dari University of Washington, dan Alicia González, antropolog ekspedisi, tinggal di belakang untuk menyiangi barisan batu. Jelang sore Fisher dan kelompoknya kembali, setelah memetakan tiga plaza lainnya dan banyak gundukan. Kami berjalan beriringan. Tiba-tiba juru kamera Lucian Read, di bagian belakang iring­an, berseru kepada kami.

!break!

“Hei, di sini ada beberapa batu aneh.”

Di bagian dasar piramida, mencuat sedikit di atas tanah, terlihat bagian atas puluhan arca batu yang terukir indah. Arca tersebut, terlihat samar di antara daun dan tanaman merambat, dan berlapis lumut, perlahan tampak dalam senja hutan: kepala jaguar yang menggeram, wadah batu yang berhias kepala burung nazar, guci besar dengan ukiran ular, dan sekumpulan benda yang mirip takhta atau meja berhias, yang disebut ahli arkeologi sebagai metate. Semua artefak tersebut dalam kondisi sempurna, mungkin tidak pernah disentuh manusia sejak ditinggalkan beberapa abad lalu.

Beberapa orang berteriak takjub. Semua berkerumun, saling bertabrakan. Fisher segera mengatur, memerintahkan semua orang mundur dan memasang pita polisi di sekeliling tempat itu. Meskipun benda serupa sudah terkenal dari wilayah lain di Mosquitia, sebagian besar ditemukan dulu sekali dalam bentuk satuan oleh Morde dan pihak lainnya atau digali dan diangkut oleh penduduk setempat atau penjarah. Belum pernah ada temuan sebanyak ini dalam catatan. Ada 52 benda yang terlihat di atas permukaan—dan entah berapa yang masih terkubur.

“Ini pemajangan ritual yang luar biasa,” kata Fisher, “menyisihkan benda berharga seperti ini dan meninggalkannya di sini, mungkin sebagai sesajen.”

Beberapa hari berikutnya, tim arkeolog merekam setiap benda langsung di tempatnya. Dengan peralatan lidar yang dipasang di tripod, Fernández memindai setiap artefak, membuat citra tiga dimensinya. Tidak ada yang disentuh, tidak ada yang dipindahkan: Harus menunggu lain waktu, ketika tim bisa kembali dengan peralatan yang tepat dan waktu yang cukup untuk melakukan penggalian.

 !break!