Magnet Kota yang Hilang

By , Rabu, 30 September 2015 | 14:21 WIB

Begitu melihat citra lidar, Fisher sudah tertarik. Dia pernah menggunakan teknologi itu untuk memetakan Angamuco, kota kuno bangsa Purépecha (Tarascan) yang garang, yang menyaingi bangsa Aztec di Meksiko tengah sejak sekitar 1000 M sampai datangnya bangsa Spanyol pada awal 1500-an. Sementara masyarakat di dataran tinggi Meksiko di Amerika pra-Columbus padat sesak, masyarakat di daerah tropis cenderung tersebar di daratan. Namun demikian, situs di T1 dan T3 tampak besar—jelas permukiman terbesar yang dipetakan sejauh ini di Mosquitia. Area inti di T3 hampir seluas empat kilometer persegi—hampir sebesar area tengah Copán, kota Maya di sebelah barat.

Pusat T1 lebih kecil tetapi lebih padat, tampaknya terdiri atas sepuluh plaza besar, puluhan gundukan terkait, jalan, teras pertanian, saluran irigasi, waduk, dan kemungkinan piramida. Karena jelas ada arsitektur seremonial, bangunan tanah, dan banyak plaza, Fisher yakin bahwa kedua lokasi itu masuk definisi kota dalam arkeologi, permukiman yang menunjukkan tata masyarakat yang rumit, dengan pembagian ruang yang jelas, serta akrab dengan daerah sekitarnya. “Kota memiliki fungsi seremonial khusus dan berkaitan dengan pertanian intensif,” katanya kepada saya. “Dan itu biasanya melibatkan rekonstruksi lingkungan yang besar dan monumental.”

Dalam upaya heroik mereka untuk mencari Kota Putih yang (mungkin) mitos, Elkins dan Benenson rupanya telah menemukan dua kota kuno yang sangat nyata. Dengan bantuan pemerintah Honduras, mereka menghimpun tim yang melakukan “konfirmasi lapangan” terhadap wilayah citra lidar. Selain Fisher, yang paling berpengalaman menggunakan pencitraan lidar, tim itu memiliki dua arkeolog lain, termasuk Oscar Neil Cruz dari IHAH; satu antropolog; satu teknisi lidar; dua ahli etnobotani; satu ahli geokimia; dan satu geografer. Turut serta kru kamera Elkins dan tim dari National Geographic.

Logistiknya menciutkan hati—selain harus berurusan dengan ular, serangga, lumpur, dan hujan tiada henti, kami berisiko terjangkit malaria, demam berdarah, dan beraneka ragam penyakit tropis lain.Untuk memudahkan perjalanan, Elkins dan Benenson mempekerjakan tiga mantan perwira Special Air Service (SAS) Inggris yang mendirikan perusahaan yang berspesialisasi mendampingi kru film di area berbahaya. Andrew “Woody” Wood, pemimpin tim pendahulu, di kemudian hari bercerita bahwa saat mereka bekerja, hewan—tapir, ayam hutan merah, dan monyet laba-laba—berkeliaran atau berkumpul di pepohonan di atas, tampaknya tidak takut. “Saya belum pernah melihat hal seperti itu,” katanya. “Saya rasa hewan-hewan ini belum pernah melihat manusia.”

Wood memilih tanah tinggi di belakang zona pendaratan untuk tempat kemah induk, yang didirikan di tengah pepohonan raksasa, dapat diakses dengan menyeberangi jembatan batang kayu di atas kubangan, lalu mendaki tepinya. Karena adanya bahaya ular—fer de lance, yang sangat berbisa dan sering disebut sebagai “beludak pamungkas,” sangat mencemaskan—dia melarang semuanya meninggalkan kemah tanpa didampingi. Namun, Fisher tidak sabar. Sore-sore Wood bersedia meninjau reruntuhan sebentar. Tim pendahulu berkumpul di tepi sungai, mengenakan selubung kaki tahan ular dan berbau penolak serangga. Unit GPS Trimble, yang sudah diisi peta lidar oleh Fisher, menunjukkan lokasi persis dirinya, relatif terhadap tempat dugaan reruntuhan.

!break!

Dengan merujuk GPS, Fisher menyerukan petunjuk arah kepada Wood, yang merambah jalan melalui semak pisang hias. Kami menyeberangi dua kubangan, salah satunya sedalam paha, mendaki tebing di atas bantaran banjir. Lalu, kami tiba di dasar tonjolan curam yang tertutup rimba—tepi daerah yang diduga kota. “Mari kita ke atas,” kata Fisher. Kegiatan konfirmasi lapangan pun dimulai.