Magnet Kota yang Hilang

By , Rabu, 30 September 2015 | 14:21 WIB

Pada 18 Februari 2015 sebuah helikopter militer terbang dari landasan udara bobrok di dekat kota Catacamas, Honduras, dan menuju pegunungan La Mosquitia. Di bawahnya, pertanian perlahan berganti menjadi lereng terjal yang diterangi matahari, sebagian diselimuti hutan hujan yang tak terputus, sebagian sudah dibuka untuk beternak.

Sang pilot menuju celah berbentuk V di gigir kejauhan. Di baliknya terdapat lembah yang dikelilingi puncak bergerigi: pemandangan zamrud dan emas yang tak ternoda, diperciki bayangan awan melayang. Kawanan burung kuntul beterbangan di bawah, dan puncak pepohonan berguncang akibat gerakan monyet yang tak terlihat. Si pilot memiringkan helikopter lalu turun, ke arah lapangan terbuka di tepi sungai.

Di antara orang-orang yang turun dari helikopter, terdapat arkeolog bernama Chris Fisher. Lembah itu berada di suatu wilayah yang sudah lama didesas-desuskan menyembunyikan “Ciudad Blanca”—metropolis mitos yang dibangun dari batu putih, juga dikenal sebagai Kota Hilang Dewa Monyet. Fisher tidak percaya legenda seperti itu. Namun, dia percaya bahwa lembah itu, yang dikenal olehnya dan teman-temannya sebagai T1 saja, ditempati reruntuhan kota hilang sungguhan, yang terbengkalai selama setidaknya setengah alaf.

!break!

Wilayah Mosquitia di Honduras dan Nikaragua ditumbuhi hutan hujan terbesar di Amerika Tengah, meliputi sekitar 50.000 kilometer persegi berupa tumbuhan lebat, rawa, dan sungai. Dari atas pemandangannya mungkin menarik, tetapi siapa pun yang memasukinya menghadapi berbagai bahaya: ular mematikan, jaguar lapar, dan serangga berbisa, sebagian membawa penyakit yang dapat berakibat fatal. Langgengnya mitos tentang Kota Putih tersembunyi ini terutama disebabkan oleh alam liar yang sulit ditembus ini. Namun, asal-usul legenda itu tidak jelas.

Penjelajah, pencari emas, dan penerbang zaman dulu mengaku melihat sekilas benteng putih reruntuhan kota yang mencuat dari rimba; orang-orang lain menyampaikan kisah, yang pertama dicatat oleh Hernán Cortés pada 1526, tentang kota kaya-raya yang tersembunyi di pedalaman Honduras. Para antropolog yang melewatkan waktu bersama suku Indian Miskito, Pech, dan Tawahka di Mosquitia pernah mendengar cerita tentang “Rumah Putih,” tempat perlindungan suku pribumi yang menghindari penaklukan Spanyol, dan tak pernah terlihat lagi.

Mosquitia terletak di garis depan Mesoame­rika, bersebelahan dengan wilayah bangsa Maya. Sementara bangsa Maya termasuk budaya kuno yang paling banyak dipelajari di benua Amerika, bangsa di Mosquitia termasuk yang paling misterius. Seiring waktu, mitos itu menjadi bagian dari kesadaran nasional orang Honduras. Pada 1930-an Ciudad Blanca juga sudah menyulut imajinasi masyarakat Amerika. Beberapa ekspedisi diluncurkan untuk mencarinya, termasuk tiga oleh Museum of the American Indian di New York City yang dibiayai George Gustav Heye, kolektor artefak Amerika Pribumi. Dua ekspedisi pertama membawa desas-desus tentang kota hilang yang berisi patung raksasa dewa monyet, yang menanti digali.

Ekspedisi ketiga museum itu, yang dipimpin oleh wartawan eksentrik bernama Theodore Morde, mendarat di Honduras pada 1940. Morde keluar dari rimba itu lima bulan kemudian, membawa berpeti-peti artefak. “Kota Dewa Monyet itu dikelilingi tembok,” tulis Morde. “Kami menyusuri satu tembok sampai tembok itu menghilang di bawah gundukan yang jelas dulunya merupakan bangunan besar.” Morde tidak mau mengungkapkan lokasinya, katanya karena cemas akan penjarahan, tetapi dia berjanji akan kembali tahun berikutnya untuk menggali. Dia tak pernah kembali, dan pada 1954 dia menggantung diri. Kotanya, jika memang ada, tetap tidak teridentifikasi.

!break!

Pada dasawarsa-dasawarsa berikutnya, arkeologi Mosquitia tidak hanya terhambat oleh medan berat, tetapi juga keyakinan yang diterima umum bahwa tanah hutan hujan Amerika Selatan dan Tengah terlalu tandus untuk menopang kehidupan lebih dari pemburu-peramu yang jarang. Ini memang benar meskipun ketika para arkeolog mulai menjelajahi Mosquitia pada 1930-an, mereka mengungkap beberapa permukiman, menandakan bahwa area itu pernah dihuni oleh budaya yang canggih dan meluas. Tidak mengherankan, menimbang bahwa wilayah itu terletak di persimpangan antara bangsa Maya dan bangsa Mesoamerika lainnya di utara dan barat, dengan budaya-budaya berbahasa Chibcha yang berkuasa di sebelah selatan.

Bangsa Mosquitia meniru beberapa aspek budaya Maya, menata kota dengan gaya yang mirip-mirip Maya. Mereka mungkin meniru permainan bola Mesoamerika yang terkenal, lomba ritual yang kadang melibatkan kurban manusia. Namun, hubungan mereka persisnya dengan tetangganya yang berjaya masih belum diketahui. Sebagian arkeolog mengemukakan dugaan bahwa sekelompok pendekar Maya dari Copán mungkin menduduki Mosquitia. Sebagian berpendapat bahwa budaya lokal sekadar meniru ciri-ciri peradaban tetangga yang mengesankan.

Perbedaan penting antara kedua budaya ini adalah jenis bahan bangunan yang dipilih orang Mosquitia. Belum ada bukti bahwa me­reka membangun dengan batu potongan. Alih-alih, mereka mendirikan bangunan dari batu sungai, tanah, kayu, serta anyaman ranting dan lem.

Setelah dihias dan dilukis, bangunan itu mungkin sama megahnya dengan beberapa kuil besar bangsa Maya. Setelah terbengkalai, bangunan itu larut oleh hujan dan membusuk, menyisakan gundukan tanah dan puing. Hilang­nya arsitektur ini dapat menjelaskan mengapa budaya ini tetap begitu “termarginalisasi,” menurut Christopher Begley, yang melakukan survei arkeologi di Mosquitia. Budayanya sa­ngat kurang dipelajari sehingga belum diberi nama formal. “Ada begitu banyak yang tidak kita ketahui tentang budaya besar ini,” ujar Oscar Neil Cruz, kepala arkeologi di Instituto

Hondureño de Antropología e Historia (IHAH). “Bahkan, sesuatu yang tidak kita ketahui itu hampir semuanya.”

 !break!

Pada pertengahan 1990-an pembuat film dokumenter bernama Steve Elkins terpesona oleh legenda Kota Putih dan mulai berupaya mencarinya. Bertahun-tahun dia membaca laporan dari penjelajah, arkeolog, pencari emas, penyelundup narkoba, dan geolog. Dia memetakan area mana yang sudah dijelajahi dan mana yang belum. Dia mempekerjakan ilmuwan di Jet Propulsion Laboratory (JPL) di NASA, untuk menganalisis seabrek data dari citra Landsat dan radar tentang Mosquitia, mencari tanda-tanda permukiman kuno. Laporan JPL memperlihatkan gambar yang mungkin berbentuk “garis lurus dan garis lengkung” di tiga lembah, yang dilabeli Elkins sebagai T1, T2, dan T3, dengan T singkatan dari “target.”  Yang pertama adalah lembah sungai yang belum dijelajahi, dikelilingi gigir, membentuk mangkuk alami. “Saya terpikir,” kata Elkins, “andaikan saya raja, ini tempat yang tepat untuk menyembunyikan kerajaan saya.”  Tetapi, citra itu tidak pasti; dia perlu cara lebih baik untuk mengintip ke balik tajuk rimba.

Lalu, pada 2010, Elkins membaca artikel dalam majalah Archaeology yang menggambarkan cara menggunakan teknik yang disebut lidar (singkatan dari light detection and ranging, atau deteksi dan penentuan jarak dengan cahaya) untuk memetakan kota Maya bernama Caracol, di Belize. Cara kerja lidar adalah memantulkan ratusan ribu pulsa berkas laser inframerah pada hutan hujan di bawah, mencatat lokasi titik setiap pantulan. “Awan titik” tiga dimensi dapat diolah dengan perangkat lunak untuk menghapus pulsa yang mengenai pohon dan semak, menyisakan citra yang hanya tersusun dari pulsa yang mencapai medan di bawahnya—termasuk garis bentuk fitur arkeologi. Hanya setelah memindai lima hari, lidar mengungkapkan bahwa Caracol tujuh kali lipat lebih luas daripada yang diduga berdasarkan 25 tahun survei di tanah.

Salah satu kekurangan lidar adalah biayanya. Survei Caracol dilakukan oleh National Center for Airborne Laser Mapping (NCALM) . Kalau ingin NCALM memindai tiga lembah seluas 43 kilometer persegi, diperlukan biaya setara 3,5 miliar rupiah. Untungnya, pada saat itu semangat tak terbendung Elkins untuk mencari Kota Putih telah menulari Bill Benenson, pembuat film juga, yang memutuskan untuk membiayainya sendiri.

Hasil awalnya mencengangkan. Tampaknya ada reruntuhan yang berderet di sepanjang lembah T1 sejauh beberapa kilometer. Di T3 tampak situs yang dua kali lebih besar. Meski bangunan yang lebih besar bisa lebih mudah dilihat, analisis lebih terperinci soal citra itu memerlukan mata arkeolog yang terampil menggunakan lidar. Elkins dan Benenson meminta bantuan Chris Fisher, spesialis bidang Mesoamerika di Colorado State University.

Melalui jalan itulah Fisher akhirnya berdiri di tepi sungai tak bernama di T1 pada Februari 2015, menatap tembok rimba di seberang sungai dan tak sabar ingin terjun ke sana.

 !break!

Begitu melihat citra lidar, Fisher sudah tertarik. Dia pernah menggunakan teknologi itu untuk memetakan Angamuco, kota kuno bangsa Purépecha (Tarascan) yang garang, yang menyaingi bangsa Aztec di Meksiko tengah sejak sekitar 1000 M sampai datangnya bangsa Spanyol pada awal 1500-an. Sementara masyarakat di dataran tinggi Meksiko di Amerika pra-Columbus padat sesak, masyarakat di daerah tropis cenderung tersebar di daratan. Namun demikian, situs di T1 dan T3 tampak besar—jelas permukiman terbesar yang dipetakan sejauh ini di Mosquitia. Area inti di T3 hampir seluas empat kilometer persegi—hampir sebesar area tengah Copán, kota Maya di sebelah barat.

Pusat T1 lebih kecil tetapi lebih padat, tampaknya terdiri atas sepuluh plaza besar, puluhan gundukan terkait, jalan, teras pertanian, saluran irigasi, waduk, dan kemungkinan piramida. Karena jelas ada arsitektur seremonial, bangunan tanah, dan banyak plaza, Fisher yakin bahwa kedua lokasi itu masuk definisi kota dalam arkeologi, permukiman yang menunjukkan tata masyarakat yang rumit, dengan pembagian ruang yang jelas, serta akrab dengan daerah sekitarnya. “Kota memiliki fungsi seremonial khusus dan berkaitan dengan pertanian intensif,” katanya kepada saya. “Dan itu biasanya melibatkan rekonstruksi lingkungan yang besar dan monumental.”

Dalam upaya heroik mereka untuk mencari Kota Putih yang (mungkin) mitos, Elkins dan Benenson rupanya telah menemukan dua kota kuno yang sangat nyata. Dengan bantuan pemerintah Honduras, mereka menghimpun tim yang melakukan “konfirmasi lapangan” terhadap wilayah citra lidar. Selain Fisher, yang paling berpengalaman menggunakan pencitraan lidar, tim itu memiliki dua arkeolog lain, termasuk Oscar Neil Cruz dari IHAH; satu antropolog; satu teknisi lidar; dua ahli etnobotani; satu ahli geokimia; dan satu geografer. Turut serta kru kamera Elkins dan tim dari National Geographic.

Logistiknya menciutkan hati—selain harus berurusan dengan ular, serangga, lumpur, dan hujan tiada henti, kami berisiko terjangkit malaria, demam berdarah, dan beraneka ragam penyakit tropis lain.Untuk memudahkan perjalanan, Elkins dan Benenson mempekerjakan tiga mantan perwira Special Air Service (SAS) Inggris yang mendirikan perusahaan yang berspesialisasi mendampingi kru film di area berbahaya. Andrew “Woody” Wood, pemimpin tim pendahulu, di kemudian hari bercerita bahwa saat mereka bekerja, hewan—tapir, ayam hutan merah, dan monyet laba-laba—berkeliaran atau berkumpul di pepohonan di atas, tampaknya tidak takut. “Saya belum pernah melihat hal seperti itu,” katanya. “Saya rasa hewan-hewan ini belum pernah melihat manusia.”

Wood memilih tanah tinggi di belakang zona pendaratan untuk tempat kemah induk, yang didirikan di tengah pepohonan raksasa, dapat diakses dengan menyeberangi jembatan batang kayu di atas kubangan, lalu mendaki tepinya. Karena adanya bahaya ular—fer de lance, yang sangat berbisa dan sering disebut sebagai “beludak pamungkas,” sangat mencemaskan—dia melarang semuanya meninggalkan kemah tanpa didampingi. Namun, Fisher tidak sabar. Sore-sore Wood bersedia meninjau reruntuhan sebentar. Tim pendahulu berkumpul di tepi sungai, mengenakan selubung kaki tahan ular dan berbau penolak serangga. Unit GPS Trimble, yang sudah diisi peta lidar oleh Fisher, menunjukkan lokasi persis dirinya, relatif terhadap tempat dugaan reruntuhan.

!break!

Dengan merujuk GPS, Fisher menyerukan petunjuk arah kepada Wood, yang merambah jalan melalui semak pisang hias. Kami menyeberangi dua kubangan, salah satunya sedalam paha, mendaki tebing di atas bantaran banjir. Lalu, kami tiba di dasar tonjolan curam yang tertutup rimba—tepi daerah yang diduga kota. “Mari kita ke atas,” kata Fisher. Kegiatan konfirmasi lapangan pun dimulai.

Sambil berpegangan pada akar dan tanaman merambat, kami mendaki lereng licin yang berserak daun. Di puncak yang penuh tumbuhan lebat, Fisher menunjuk lekuk tanah persegi yang dangkal tetapi jelas, yang dia yakini sebagai bekas batas bangunan. Sambil berlutut untuk melihat lebih jelas, Neil menemukan sesuatu yang tampaknya merupakan bukti konstruksi tanah-padatan, mendukung interpretasi bahwa itu dahulunya sebuah piramida tanah. Fisher sangat gembira. “Persis seperti dugaan saya,” ujarnya. “Semua medan ini pernah diolah oleh tangan manusia.”

Fisher dan Wood membawa tim turun dari piramida ke tempat yang diharapkan Fisher merupakan salah satu dari sepuluh “plaza”, atau alun-alun kota itu. Ketika sampai ke tempat itu, terlihat hamparan hutan hujan yang rata karena ditangani manusia, seperti lapangan sepak bola. Gundukan berjajar lurus di ketiga sisinya, sisa-sisa dinding dan bangunan. Di tengah alun-alun itu terdapat galur yang terbentuk oleh aliran air, memperlihatkan permukaan yang berlapis batu. Setelah menyeberangi alun-alun, kami menemukan deretan batu datar yang mirip altar di atas tripod batu putih. Sayangnya, hutan lebat menghalangi kami memahami tata letak atau skala kota kuno itu. Diiringi surya yang masuk ke peraduannya, kami kembali ke kemah.

Kami terbangun keesokan harinya dan berangkat untuk menjelajah lagi. Dikelilingi pepohonan besar dan gundukan senyap, saya merasa menjauh dari masa kini. Suara ramai di tajuk pohon mengabarkan datangnya hujan. Baru beberapa menit kemudian tetes hujan sampai ke tanah. Kami basah kuyup.

Fisher, sambil memegang parang, mendaki ke utara bersama Neil dan Juan Carlos Fernández-Diaz, teknisi lidar tim, untuk memetakan alun-alun lain kota itu. Anna Cohen, kandidat doktor dari University of Washington, dan Alicia González, antropolog ekspedisi, tinggal di belakang untuk menyiangi barisan batu. Jelang sore Fisher dan kelompoknya kembali, setelah memetakan tiga plaza lainnya dan banyak gundukan. Kami berjalan beriringan. Tiba-tiba juru kamera Lucian Read, di bagian belakang iring­an, berseru kepada kami.

!break!

“Hei, di sini ada beberapa batu aneh.”

Di bagian dasar piramida, mencuat sedikit di atas tanah, terlihat bagian atas puluhan arca batu yang terukir indah. Arca tersebut, terlihat samar di antara daun dan tanaman merambat, dan berlapis lumut, perlahan tampak dalam senja hutan: kepala jaguar yang menggeram, wadah batu yang berhias kepala burung nazar, guci besar dengan ukiran ular, dan sekumpulan benda yang mirip takhta atau meja berhias, yang disebut ahli arkeologi sebagai metate. Semua artefak tersebut dalam kondisi sempurna, mungkin tidak pernah disentuh manusia sejak ditinggalkan beberapa abad lalu.

Beberapa orang berteriak takjub. Semua berkerumun, saling bertabrakan. Fisher segera mengatur, memerintahkan semua orang mundur dan memasang pita polisi di sekeliling tempat itu. Meskipun benda serupa sudah terkenal dari wilayah lain di Mosquitia, sebagian besar ditemukan dulu sekali dalam bentuk satuan oleh Morde dan pihak lainnya atau digali dan diangkut oleh penduduk setempat atau penjarah. Belum pernah ada temuan sebanyak ini dalam catatan. Ada 52 benda yang terlihat di atas permukaan—dan entah berapa yang masih terkubur.

“Ini pemajangan ritual yang luar biasa,” kata Fisher, “menyisihkan benda berharga seperti ini dan meninggalkannya di sini, mungkin sebagai sesajen.”

Beberapa hari berikutnya, tim arkeolog merekam setiap benda langsung di tempatnya. Dengan peralatan lidar yang dipasang di tripod, Fernández memindai setiap artefak, membuat citra tiga dimensinya. Tidak ada yang disentuh, tidak ada yang dipindahkan: Harus menunggu lain waktu, ketika tim bisa kembali dengan peralatan yang tepat dan waktu yang cukup untuk melakukan penggalian.

 !break!

Saat artikel ini ditulis, sedang direncana­kan ekspedisi lain yang lebih luas, dengan dukungan penuh dari pemerintah Honduras. Negara itu, yang miskin dan dirundung masalah narkoba dan kekerasan yang menyertainya, membutuhkan kabar baik. Ciudad Blanca, Kota Putih, mungkin cuma legenda—tetapi apa pun yang mendekatkan cerita itu dengan kenyataan menimbulkan kegembiraan besar; itu hal yang bisa dibanggakan bersama, menegaskan hubungan bangsa itu dengan masa lalu pra-Columbus mereka. Setelah mendengar kabar penemuan kumpulan artefak itu, Juan Orlando Hernández, presiden Honduras, memerintahkan militer menjaga situs itu siang-malam terhadap penjarah.

Beberapa minggu kemudian dia datang naik helikopter untuk melihat langsung, dan berjanji bahwa pemerintahannya akan mengerah­kan “segenap daya upaya” tidak hanya mendukung penelitian dan perlindungan warisan budayanya, tetapi juga warisan ekologi di wilayah sekitarnya.

Penyelidikan baru saja di mulai. Sebagian besar lembah T1 masih belum disurvei, sementara reruntuhan T3 yang lebih luas belum mulai digarap. Dan entah apa yang tersimpan di balik tajuk hutan yang menutupi area lain di Mosquitia? Dalam beberapa tahun terakhir terjadi perubahan mendasar dalam pendapat arkeolog tentang pemukiman orang pra-Columbus di lanskap tropis. Dalam pandangan lama, permukiman manusia yang jarang penduduknya tersebar di daratan yang umumnya kosong. Dalam pandangan baru, permukiman itu padat penduduk, di sela ruang kosong yang jumlahnya jauh lebih sedikit.

“Bahkan di wilayah hutan terpencil ini,” Fisher berkata, “di tempat yang tidak disangka-sangka, terdapat populasi padat yang tinggal di kota—ribuan orang. Ini besar sekali artinya.”

!break!

Masih banyak sekali yang harus kita pelajari tentang  penduduk Mosquitia dahulu. Namun, mungkin waktunya tidak cukup. Pada Februari, saat kami terbang dari T1 kembali ke Catacamas, baru beberapa kilometer saja hamparan hutan hujan sudah berubah menjadi lereng yang dibuka untuk peternakan. Virgilio Paredes, direktur Instituto Hondureño de Antropología e Historia, yang menaungi operasi ekspedisi ini, menghitung bahwa dengan laju saat ini, penebangan hutan akan mencapai lembah T1 dalam delapan tahun atau kurang.

Hal itu akan menghancurkan kekayaan budaya yang mungkin ada dan membuatnya mudah dijarah. Presiden Hernández berjanji untuk melindungi wilayah ini dari penggundulan hutan serta penjarahan, sebagian dengan cara membentuk Cagar Pusaka Mosquitia, wilayah seluas 2.030 kilometer persegi yang mengelilingi lembah-lembah yang disurvei dengan lidar.

Namun, masalahnya rumit. Meskipun pem­bukaan hutan melanggar hukum—kawasan itu seharusnya dilindungi dalam Cagar Biosfer Tawahka Asagni dan Río Plátano—peternakan sapi merupakan penggerak ekonomi dan tradisi yang dijunjung tinggi di wilayah Honduras ini.

Jika penemuan di T1 menjadikan situasi lebih berpihak pada pelestarian, tidak penting lagi Kota Putih itu benar-benar ada atau sekadar mitos. Pencariannya telah menghasilkan kekayaan.

Dave Yoder sangat menyukai kota kuno—dia juga memotret untuk kisah sampul Agustus mengenai Paus Fransiskus. “Dalam banyak hal,” katanya, “Vatikan lebih sulit ditembus daripada rimba.”