Corong Candu di Tepian Jawa

By , Jumat, 29 Januari 2016 | 09:00 WIB

Rumah-rumah itu berlantai terakota atau tegel bermotif ala Perancis, yang diimpor dari Eropa, Vietnam, atau Tiongkok. Berlangit-langit tinggi, berpintu dan jendela besar, serta kadang memiliki loteng. Arsitekturnya telah beradaptasi dengan wilayah pesisir yang panas.

Saya berkesempatan memasuki sebuah bangunan bergaya Indische Empire paling besar di Lasem. Rumah ini bekas rumah milik Lim Hong Hoen—pesohor Lasem awal abad ke-20 yang juga keturunan Lim Cui Sun. Konon, rumah megah ini disebut-sebut juga pernah sebagai tempat penyelundupan candu.

Rumah megah milik Hoen telah diakuisisi kepolisian pada 1965, kini Kantor Polisi Sektor Lasem. Begitu cantiknya bangunan-bangunan itu sehingga membuat Lasem fotogenik. Umumnya, bangunan-bangunan cantik di Lasem dibangun pada awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Ketika itu Lasem jaya sebagai corong candu dan pengekspor batik!

Pecinan ini pernah menjadi tempat pendaratan penyelundupan candu terbesar di Pulau Jawa, bersama kota pesisir di sisi baratnya—Juwana. Perdagangan candu di Jawa sejatinya telah ada dan dilakukan oleh orang Cina sejak abad ke-17. Menjadi ramai pada saat Daendels membuat struktur formal bandar candu pada 1809. Tingginya keuntungan dan perputaran uang di jalur candu di Juwana dan Lasem mengakibatkan maraknya penyelundupan candu! Hampir seratusan tahun, Lasem tumbuh dan bergelimang kekayaan sebagai pusat dagang candu di Jawa. Salah satu tempat penyimpanan candu selundupan sekaligus rumah candu adalah rumah Lawang Ombo. Menurut tutur lisan, rumah Lim Cui Sun itu merupakan tempat penyimpanan candu yang merangkap rumah candu, surganya penikmat candu Lasem lebih dari seabad silam. Tampaknya, Lasem pernah memiliki tengara sebagai kota candu.

Masa keemasan ini berakhir ketika perekonomian Lasem mati suri pasca pemerintah Belanda memberangus usaha perdagangan candu ilegal di Jawa. Belanda mengambil hak monopoli perdagangan candu mulai 1880 dan 1894 lewat Regi Opium Hindia Belanda. Pada awal abad ke-20, orang-orang kaya Lasem berputar halauan dengan membuka usaha baru, diantaranya pabrik garam, pembuatan kapal, kuningan, dan batik. Bagi yang frustasi, mereka meninggalkan Lasem dan berkarya di Semarang, Surabaya dan kota-kota lainnya.

Selain terkenal perdagangan candu, Lasem juga memiliki pesona batik pesisir. Perkembangan batik di Lasem, konon dimulai sejak masa Na Li Ni atau Si Putri Campa istri Bi Nang Un, seorang anggota ekspedisi Cheng He (1405-1433) yang memperkenalkan teknik membatik pada abad ke-15. Masa keemasan perusahaan batik yang dibangun oleh orang-orang Cina Lasem mulai naik pamornya sekitar 1860-an. Perusahaan batik saat itu merupakan usaha yang paling menguntungkan setelah perdagangan candu.

Pengusaha batik Lasem mengandalkan 2.000-an pekerja untuk proses artistik dan 4.000-an pekerja untuk proses lainnya. Langgam batik Lasem pun mendapat pengaruh corak simbolik tradisi Cina. Saya menyaksikan patron naga perlambang kekuatan dan keagungan, patron phoenix (burung hong) perlambang kecantikan, dan aneka patron bunga-bunga perlambang keindahan dan kesejahteraan. Namun, mereka juga menambahkan corak lokal seperti satwa, puspa laut, dan corak kricakan yang melambangkan masyarakat Lasem saat bekerja rodi membangun Jalan Raya Pos. Mereka pun membuat kain batik panjang dan kain tokwi sebagai penutup meja altar persembahan. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, batik Lasem diekspor secara besar-besaran ke Singapura dan Sri Lanka. Jelang 1970-an, perlahan pesona sinar batik Lasem pudar. Kini, hanya segelintir nama orang Cina Lasem yang masih berjuang melanjutkan usaha batik warisan keluarganya.

Saat saya memasuki beberapa rumah kuno di Pecinan Lasem, saya menjumpai peralatan tinggalan perusahaan batik rumahan. Setumpuk surat-menyurat perdagangan batik, nota jual beli pewarna, surat pemesanan pembelian lilin dari Atapupu-Timor, botol-botol pewarna, bak pencucian, pidangan, bahkan cap batik, kini hanya teronggok menjadi kenangan.

Tengara terpenting Pecinan Lasem adalah tiga buah klenteng yang menjadi poros pesonanya. Klenteng Cu An Kiong di Dasun, Klenteng Bao An Bio di Karangturi, dan Klenteng Gio Yong Bio di Babagan.

Cu An Kiong adalah klenteng yang tertua dengan dewa utamanya adalah Dewi Samudra—Ma Zu atau Thian Siang Sing Bo—sering disebut Mak Co. Klenteng ini berdiri pada abad 14, namun tiada catatan pasti mengenai peletakan batu pertama klenteng ini. Beberapa catatan inskripsi menyebutkan bahwa klenteng tersebut dipugar pada tahun 1838. Klenteng Cu An Kiong memiliki bentuk bangunan khas daerah Cina bagian selatan. Bangunan itu berbentuk persegi empat atau siheyuan yang memiliki atap atap ekor walet. Bangunan utama klenteng ini dipenuhi oleh aneka ragam hias simbolik penuh makna yang menggambarkan prinsip Yin dan Yang serta harapan hidup penuh kebajikan-dan-kesejahteraan. Terdapat pula mural dewa-dewa dan mural monokrom 100 panel kisah Fangshen Yanyi, sebuah kisah terciptanya dewa-dewi pada bagian utama klenteng tersebut.

Dua klenteng lainnya tak kalah penting. Bao An Bio yang terletak di daerah Karangturi didirikan untuk menghormati Kong Tik Cun Ong (Guangze Zunwang). Masa pembangunannya pun tidak diketahui. Klenteng ini dipugar pada 1919 dan 1927. Klenteng Gie Yong Bio (Yi Yong Miao) dibangun untuk menghormati dua pahlawan zaman Dinasti Ming yaitu Chen Sixian dan Huang Daozhou. Klenteng ini juga dipercaya merupakan klenteng yang menghormati dua orang Cina yang pertama kali mendarat di Lasem, yaitu pria bermarga Chen (Tan) dan Huang (Oey). Bahkan, keduanya juga dipuja di Rembang dan Juwana. Cerita versi lain yang saya dengar, kedua tokoh Cina ini adalah pahlawan Lasem yang turut berperang bersama orang-orang Jawa melawan VOC pada 1740-1743. Orang Jawa mengenang peristiwa di zaman itu dengan sebutan “Geger Pacinan”.

Ketiga klenteng ini memiliki peran penting dalam konstelasi kehidupan sosial budaya di Pecinan Lasem. Saya bertemu Gandor Sugiharto (70), seorang sesepuh penggiat tata sembahyang di ketiga klenteng tadi. Dia mengatakan bahwa secara rutin bergantian ketiganya digunakan untuk melakukan ritual tradisi sembahyang tanggal 1 dan 15 penanggalan Imlek dan sembahyang lainnya, seperti sembahyang tahun baru Imlek dan Sembahyang Cioko atau Sembahyang Rebutan. “Klenteng masih berperan penting menjaga tradisi,” ujar Gandor. “Klenteng itu tempat berkumpulnya orang-orang beragama, kami tidak membedakan, siapapun boleh masuk. Yang Budhis, yang Konghucu juga banyak sembayang di sini.”