Dahulu, ibundanya yang bernama Lim Mertjies Nio kerap bersembahyang di rumah ini. Sejak lima tahun silam Boen Hong meneruskan tradisi sembahyang di Lawang Ombo, menggantikan kebiasaan mamanya yang kini telah berusia 90 tahun. “Saya sembayang untuk keluarga mama dan juga sembahyang untuk keluarga papa,” kata Boen.
Boen Hong sempat membawa kami mengunjungi tiga rumah kuno lain miliknya, salah satunya bergaya Indische Empire dengan empat pilar. Dia membelinya dari orang lain, tidak ada hubungan keluarga. “Saya kok nggak tega lihat bangunan itu nggak ditempati,” ujarnya. “Setidaknya saya mau supaya bangunan-bangunan kuno di Lasem tidak habis.”
Saya memperkirakan rumah Lawang Ombo ini dibangun pada akhir abad ke-18. Pemiliknya adalah seorang pejabat rendah asal Cina yang bergelar dengshilang bernama Lim Cui Sun. Ketika saya membaca aksara Cina di batu kubur—atau bong—makam Lim, saya menduga dia adalah pemilik Lawang Ombo yang pertama. Lim terbaring di tempat peristirahatannya yang terakhir tepat di pekarangan samping rumahnya.
Bong tersebut bertarikh 1827, dan meyuratkan bahwa Lim berasal dari Hu Shan di Provinsi Shandong. Saya memadukan informasi itu dengan keterangan pada papan arwah yang tersimpan di altar keluarga Lim. Papan arwah menyebutkan bahwa Lim lahir pada 1778, dan meninggal pada 1827 dalam usia 50 tahun. Salah satu anak laki-lakinya bernama Lim Ki Siong adalah Kapitan Cina pertama di Lasem yang menjabat dari 1837 hingga 1855. Dia tercatat dalam Almanak van Nederlandsch Indië voor 1837.