Kota misterius nan kesepian di tepian Jalan Raya Pos, yang menautkan nasib pusaka pecinan, pesantren, dan batik pesisir.
“Itoe China Town of Java, jang seanteronja tempat ditinggalin oleh orang Tionghoa meloeloe,” tulis Tan Hong Boen. Kemudian dia melanjutkan, “dengen loeroeng-loeroengnja jang soenji dimana masih kadengaran soearanja babi di sana-sini hingga membawa soemanget kita terbang ke tepi Huang Ho.”
Saya terpincut dengan pemerian Tan dalam Orang-Orang Tionghoa Jang Terkemoeka di Java, sebuah buku yang terbit pada 1935. Tan tengah menggambarkan suasana salah satu pecinan tua di pesisir utara Jawa yang samar-samar, Lasem.
Matahari sore mulai lingsir di Lasem. Sosok lelaki tua melambaikan tangan di depan pintu besi sebuah rumah kuno berlanggam arsitektur Cina dengan atap bergaya ekor walet, lambang kesejahteraan. Lelaki itu seorang penjaga yang ramah. Dia mempersilakan kami masuk ke hamparan beranda berlantai terakota. Saya menatap sekeliling dalam keremangan. Rumah itu tenar dengan nama Lawang Ombo—frasa dalam bahasa Jawa yang artinya “Pintu Besar”.
Kusen pintu utamanya sungguh besar, selebar badan saya. Tinggi dan lebarnya kira-kira hampir separuh gawang sepak bola kita. Ukuran kusen pintu dan jendelanya menjadi tengara yang membedakan dengan kusen-kusen rumah klasik di sudut-sudut Pecinan Lasem—Gambiran, Babagan, dan Karangturi.
Lawang Ombo bertetangga dengan Klenteng Cu An Kiong, klenteng utama dan tertua di Lasem. Di sekitarnya masih ada segelintir rumah serupa, sehingga kawasan ini diduga merupakan tapak permukiman awal Cina Lasem.
Saya dengar dari warga setempat bahwa Lawang Ombo sohor memiliki kisah mistis di seantero Lasem sebagai tilas rumah candu. Perdagangan candu memang pernah menggurita di pesisir utara Jawa pada awal abad ke-19. Candu dikonsumsi rakyat jelata hingga kaum ningrat di Jawa.
Sebuah sungai tua yang dikenal dengan nama Sungai Lasem mengalir tepat di depan rumah candu itu. Warga meyakini terdapat jalan bawah tanah yang menghubungkan sungai dengan rumah candu. Saya pun menyaksikan sebuah lubang di sayap kiri rumah itu, yang konon digunakan untuk menyelundupkan candu.
Saya berkesempatan untuk bermalam di rumah kuno itu. Pemiliknya bernama Soebagio Soekidjan, 53 tahun, yang nama sejatinya Tjoo Boen Hong. “Rumah Lawang Ombo itu milik keluarga Lim, dari garis mama saya,” ujar Boen Hong kepada saya ketika sarapan.
Boen Hong merupakan cucu luar keturunan Lim Cui Sun dari generasi keempat. Dia membeli dari kakak ibundanya sekitar satu dekade silam. Salah satu keinginan Boen Hong adalah bisa turut menjaga warisan keluarga. “Masih ada altar pemujaan keluarga,” ujarnya. “Saya biasa sembahyang di sana.”