Menjarah Masa Depan

By , Rabu, 25 Mei 2016 | 00:00 WIB

Suasana Museum Nasional sungguh ramai, ketika saya mengunjunginya di sebuah akhir pekan bersama matahari yang membakar. Di sela pilar-pilar bergaya neo-klasik, terdengar gelumat anak-anak berseragam sekolah dasar yang membahana hingga seantero bangunan itu. Sementara para pelancong mengagumi sederetan arca-arca kuno sembari membaca penjelasannya, mata nanar beberapa petugas keamanan sibuk memperhatikan tingkah tamu-tamu mereka dengan saksama. Roman muka para petugas keamanan itu tampak lebih waspada, setidaknya sejak tiga tahun belakangan ini.

Cikal bakal gedung bercat putih itu berawal dari lahirnya Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, sebuah komunitas pecinta seni dan sains di Batavia, pada 1778. Sejak mereka memutuskan mendirikan gedung ini pada 1862, bangunan bertingkat dua ini menjadi gudang koleksi benda cagar budaya yang diambil dari penjuru Nusantara. Bagi saya, museum ini seakan menjadi oase intelektual yang menyegarkan di tengah kebisingan kota Jakarta.

Salah satu museum tertua di Asia Tenggara ini merupakan primadona—karena koleksi dan sejarahnya—tak hanya bagi warga Jakarta, tetapi juga warga dunia. Namun bagi kawanan tertentu, bukan nilai sejarah yang membuat mereka gandrung dengan koleksi museum itu.

Empat artefak emas—tiga lempeng emas dan satu cepuk emas—dalam lemari kaca pamer telah raib dijarah sindikat pencuri. Keempatnya merupakan peninggalan zaman Mataram Kuno, sekitar abad ke-10.

Awal September 2013, sebuah peristiwa yang memecah kedamaian pagi terjadi di lantai dua Museum Nasional yang letaknya bersebelahan dengan Kementerian Pertahanan dan di seberang pos polisi. Empat artefak emas—tiga lempeng emas dan satu cepuk emas—dalam lemari kaca pamer telah raib dijarah sindikat pencuri. Keempatnya merupakan peninggalan zaman Mataram Kuno, sekitar abad ke-10. Apesnya, semua kamera pengintai sudah tidak bekerja selama beberapa bulan sebelum pencurian terjadi. Polisi bergegas menyelidiki, namun sampai saat ini kasus tersebut masih belum terpecahkan. Pengelola museum meningkatkan keamanannya dengan sigap, berharap tidak kecolongan kembali.

Ini bukan pertama kali museum menjadi bulan-bulanan sindikat pencuri. Peristiwa serupa terjadi pada 2007 di Museum Radya Pustaka, Surakarta. Koleksi arca batu museum dilaporkan hilang dan sebagian dipalsukan. Tak lama, kepala museum dan dua orang pegawainya menjadi tersangka.

Kemudian, kelima arca yang hilang ditemukan di kediaman Hashim Djojohadikusumo, seorang yang dikenal sebagai pengusaha, kolektor seni, dan filantropi dalam pelestarian budaya. Hashim, seperti dikabarkan oleh berbagai media saat itu, menyatakan membeli arca-arca tersebut secara legal dari Hugo E. Kreijger, kabarnya mantan konsultan balai lelang Christie’s, di London, Inggris. Pada 2009, Pengadilan Negeri Surakarta menyatakan bahwa Hashim tidak bersalah.

Nasib baik dari peristiwa pencurian dan pemalsuan benda cagar budaya di Museum Radya Pustaka adalah betapa polisi cepat menemukan lokasi benda yang dicuri sehingga mempermudah penyelamatan. Namun, Museum Sonobudoyo di Yogyakarta memiliki nasib yang berbeda. Sebanyak 75 koleksi museum berupa topeng emas dan perhiasan hibah dari Sultan Hamengkubowo VIII, secara mengejutkan lenyap pada awal Agustus 2010. Enam tahun telah berlalu, namun kasus ini masih menggulita.

Kasus-kasus pencurian tadi memperlihatkan dengan gamblang takdir cagar budaya di Indonesia, bahkan kabarnya sudah menjadi lahan basah penjarahan oleh mafia barang antik dan purbakala. Kematian misterius Lambang Babar Purnomo, ahli arkeologi yang gencar mengungkap perdagangan arca secara ilegal di Jawa Tengah pada 2008, seakan menegaskan bahwa kejahatan di sekitar warisan leluhur Nusantara mendesak diusut dan diakhiri segera.

Kematian misterius Lambang Babar Purnomo, ahli arkeologi yang gencar mengungkap perdagangan arca secara ilegal di Jawa Tengah pada 2008, seakan menegaskan bahwa kejahatan di sekitar warisan leluhur Nusantara mendesak diusut dan diakhiri segera.

Sekelompok mahasiswa ilmu arkeologi sibuk melakukan simulasi penggalian di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Saya melintasi mereka, berjalan ke sebuah gedung untuk menjumpai Agus Aris Munandar. Guru besar dan ahli arkeologi senior ini pernah mengalami fenomena penjarahan di lokasi penelitiannya.

Agus mengatakan artefak khas Indonesia yang kerap diincar penjarah biasanya adalah arca-arca terakota, benda megalitik, dan benda etnografi. Pahatan batu prasasti, yang umumnya bernilai historis tinggi, tampaknya rendah dalam hal ekstetik sehingga cenderung tidak diincar. “Mereka mencari yang memiliki nilai estetik dan nilai historisnya jelas.”

 “Kalau misalnya menemukan arca terakota yang relatif utuh, mereka pecahkan dulu menjadi beberapa bagian,” ujar Agus. “Jadi ketika dijual ke luar negeri, pecahan-pecahan itu disisipkan di antara barang ekspor. Di sana, [arca terakota itu] lalu direkonstruksi lagi bentuknya.”

Para pelaku penjarahan di lapangan biasanya adalah masyarakat sekitar situs ekskavasi yang sadar akan tingginya nilai ekonomi benda-benda temuan. Agus juga menceritakan pengalamannya kepada saya kala melakukan survei di dekat Candi Kedaton, situs Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.  Dia dan timnya menemukan pekarangan milik warga yang ideal untuk dijadikan situs ekskavasi baru. Warga setempat yang tertarik melihat kedatangan arkeolog tampaknya merasa penasaran dengan apa yang sejatinya telah bersemayam di pekarangan salah seorang tetangga mereka.

Dalam kesenyapan malam, beberapa warga mengendap-endap dan menggali petak-petak yang direncanakan akan diekskavasi oleh tim ahli arkeologi.