Menjarah Masa Depan

By , Rabu, 25 Mei 2016 | 00:00 WIB

“Sayang, jika Jakarta itu sebagai kota besar dan tua, pendobrak peradaban Eropa di Asia, kalah dengan Georgetown, Malaka, di Malaysia,” ujar Djauhari Sumintardja yang saya jumpai di Universitas Tarumanegara, Jakarta Barat. Dia merupakan arsitek senior yang menjabat sebagai Ketua Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta.

“Kalau bangunan itu ambruk [atau] roboh karena ditelantarkan pemilik atau pengelolanya,” kata Djuhari, “sebenarnya melanggar hukum dan bisa dituntut.”

Selain membandingkan upaya pelestarian di Indonesia dan Malaysia, Djauhari juga menceritakan banyak hal tentang perkembangan pelestarian cagar budaya di wilayah Jakarta kepada saya. Pemugaran dan revitalisasi bangunan cagar budaya kawasan ini mulai gencar pada pertengahan 1970-an, era Gubernur Ali Sadikin.

Pemaparan Djauhari menyadarkan saya perihal kepemilikan warga terhadap bangunan di kawasan cagar budaya. Kepemilikan itu harus disertai dengan tanggung jawab moral—juga ekonomi—yang besar. “Kalau bangunan itu ambruk [atau] roboh karena ditelantarkan pemilik atau pengelolanya,” kata Djuhari, “sebenarnya melanggar hukum dan bisa dituntut.”

Meski sejauh ini penerapannya masih belum maksimal, undang-undang tentang pelestarian cagar budaya telah memperjelas upaya pelestarian pusaka di Indonesia. Baru-baru ini Pusat Dokumentasi Arsitektur berupaya melakukan dokumentasi, penelitian dan inventarisasi kerusakan bangunan kediaman Raden Saleh di Cikini, Jakarta Pusat. Penyelamatan kediaman Pelukis Sang Raja itu turut didanai program Ambassador Funds for Cultural Preservation dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.

Namun, sekadar selamat pun belumlah mencukupi. Upaya penyelamatan dan pelestarian wajib dilindungi hukum dan harus memiliki misi pemanfaatan yang jelas. Pada akhirnya semua pemangku kepentingan memang harus terlibat dalam persoalan ini.

“Kalau kita bicara pelestarian cagar budaya, awalnya memang arkeolog yang punya banyak data,” ujar Catrini Pratihari Kubontubuh kepada saya pada kesempatan lain. “Namun belakangan ini kita juga butuh tenaga dari disiplin ilmu yang berbeda, seperti arsitek, sejarawan, ahli hukum, dan ahli ekonomi.”

“Sebagai komunitas pelestari,” ujarnya, “saya melihat bahwa kekuatan yang lebih besar itu ada di masyarakat.” Itulah kunci pelestarian cagar budaya Indonesia, demikian hematnya.

Catrini merupakan Direktur Eksekutif Yayasan Arsari Djojohadikusumo, dan sekaligus Ketua Dewan Pimpinan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia.

“Sebagai komunitas pelestari,” ujarnya, “saya melihat bahwa kekuatan yang lebih besar itu ada di masyarakat.” Itulah kunci pelestarian cagar budaya Indonesia, demikian hematnya.

Pernyataan Catrini tampaknya ada benarnya. Titik akhir pelestarian warisan cagar budaya adalah menjadikan kandungan ilmu pengetahuan di dalamnya sebagai konsumsi publik—entah di museum, kawasan terbuka, atau ruang-ruang kelas tempat belajar dan mengajar. Semua itu melibatkan masyarakat sebagai pelaku aktif. Dia mengatakan, “Pemerintah pun akan dimudahkan jika masyarakatnya telah peduli terhadap warisan cagar budaya.”

Ketika mendung bergelayut di angkasa Jakarta Pusat, saya tengah menapaki pekarangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jalan Jenderal Sudirman. Saya menjumpai Harry Widianto di ruang kerjanya. Dia merupakan ahli Paleoanthropologi yang juga menjabat sebagai Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.

Harry, yang pernah menjabat sebagai Kepala Museum Purbakala Sangiran, menceritakan tentang masyarakat di sekitar kawasan cagar budaya Sangiran. Situs keramat warisan dunia yang mengekalkan penggalan kisah evolusi manusia itu terletak di tiga kecamatan yang dihuni lebih dari 200 ribu orang. Saat ini, penemuan di sana terjadi terus-menerus, ujarnya, dan kualitasnya semakin bagus. “Kita ajarkan kepada mereka tentang prosedur penyerahan, dan apa yang dapat mereka harapkan dari penyerahan itu,” kata Harry. “Mereka diberikan imbalan sertifikat dan uang.”

Sebagai contoh upaya pemerintah, Harry menambahkan, ketika fosil kepala Homo erectus arkaik ditemukan oleh warga setempat pada akhir April 2016. Setu Wiryorejo, sang penemu, melaporkan kepada balai pelestarian setempat. Atas penemuannya, pemerintah memberikan imbalan kepada Setu. Temuan fosil Homo erectus arkaik ini sama spektakulernya dengan temuan serupa oleh ahli Paleontologi asal Belanda, Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald pada 1936.