Menjarah Masa Depan

By , Rabu, 25 Mei 2016 | 00:00 WIB

Suasana Museum Nasional sungguh ramai, ketika saya mengunjunginya di sebuah akhir pekan bersama matahari yang membakar. Di sela pilar-pilar bergaya neo-klasik, terdengar gelumat anak-anak berseragam sekolah dasar yang membahana hingga seantero bangunan itu. Sementara para pelancong mengagumi sederetan arca-arca kuno sembari membaca penjelasannya, mata nanar beberapa petugas keamanan sibuk memperhatikan tingkah tamu-tamu mereka dengan saksama. Roman muka para petugas keamanan itu tampak lebih waspada, setidaknya sejak tiga tahun belakangan ini.

Cikal bakal gedung bercat putih itu berawal dari lahirnya Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, sebuah komunitas pecinta seni dan sains di Batavia, pada 1778. Sejak mereka memutuskan mendirikan gedung ini pada 1862, bangunan bertingkat dua ini menjadi gudang koleksi benda cagar budaya yang diambil dari penjuru Nusantara. Bagi saya, museum ini seakan menjadi oase intelektual yang menyegarkan di tengah kebisingan kota Jakarta.

Salah satu museum tertua di Asia Tenggara ini merupakan primadona—karena koleksi dan sejarahnya—tak hanya bagi warga Jakarta, tetapi juga warga dunia. Namun bagi kawanan tertentu, bukan nilai sejarah yang membuat mereka gandrung dengan koleksi museum itu.

Empat artefak emas—tiga lempeng emas dan satu cepuk emas—dalam lemari kaca pamer telah raib dijarah sindikat pencuri. Keempatnya merupakan peninggalan zaman Mataram Kuno, sekitar abad ke-10.

Awal September 2013, sebuah peristiwa yang memecah kedamaian pagi terjadi di lantai dua Museum Nasional yang letaknya bersebelahan dengan Kementerian Pertahanan dan di seberang pos polisi. Empat artefak emas—tiga lempeng emas dan satu cepuk emas—dalam lemari kaca pamer telah raib dijarah sindikat pencuri. Keempatnya merupakan peninggalan zaman Mataram Kuno, sekitar abad ke-10. Apesnya, semua kamera pengintai sudah tidak bekerja selama beberapa bulan sebelum pencurian terjadi. Polisi bergegas menyelidiki, namun sampai saat ini kasus tersebut masih belum terpecahkan. Pengelola museum meningkatkan keamanannya dengan sigap, berharap tidak kecolongan kembali.

Ini bukan pertama kali museum menjadi bulan-bulanan sindikat pencuri. Peristiwa serupa terjadi pada 2007 di Museum Radya Pustaka, Surakarta. Koleksi arca batu museum dilaporkan hilang dan sebagian dipalsukan. Tak lama, kepala museum dan dua orang pegawainya menjadi tersangka.

Kemudian, kelima arca yang hilang ditemukan di kediaman Hashim Djojohadikusumo, seorang yang dikenal sebagai pengusaha, kolektor seni, dan filantropi dalam pelestarian budaya. Hashim, seperti dikabarkan oleh berbagai media saat itu, menyatakan membeli arca-arca tersebut secara legal dari Hugo E. Kreijger, kabarnya mantan konsultan balai lelang Christie’s, di London, Inggris. Pada 2009, Pengadilan Negeri Surakarta menyatakan bahwa Hashim tidak bersalah.

Nasib baik dari peristiwa pencurian dan pemalsuan benda cagar budaya di Museum Radya Pustaka adalah betapa polisi cepat menemukan lokasi benda yang dicuri sehingga mempermudah penyelamatan. Namun, Museum Sonobudoyo di Yogyakarta memiliki nasib yang berbeda. Sebanyak 75 koleksi museum berupa topeng emas dan perhiasan hibah dari Sultan Hamengkubowo VIII, secara mengejutkan lenyap pada awal Agustus 2010. Enam tahun telah berlalu, namun kasus ini masih menggulita.

Kasus-kasus pencurian tadi memperlihatkan dengan gamblang takdir cagar budaya di Indonesia, bahkan kabarnya sudah menjadi lahan basah penjarahan oleh mafia barang antik dan purbakala. Kematian misterius Lambang Babar Purnomo, ahli arkeologi yang gencar mengungkap perdagangan arca secara ilegal di Jawa Tengah pada 2008, seakan menegaskan bahwa kejahatan di sekitar warisan leluhur Nusantara mendesak diusut dan diakhiri segera.

Kematian misterius Lambang Babar Purnomo, ahli arkeologi yang gencar mengungkap perdagangan arca secara ilegal di Jawa Tengah pada 2008, seakan menegaskan bahwa kejahatan di sekitar warisan leluhur Nusantara mendesak diusut dan diakhiri segera.

Sekelompok mahasiswa ilmu arkeologi sibuk melakukan simulasi penggalian di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Saya melintasi mereka, berjalan ke sebuah gedung untuk menjumpai Agus Aris Munandar. Guru besar dan ahli arkeologi senior ini pernah mengalami fenomena penjarahan di lokasi penelitiannya.

Agus mengatakan artefak khas Indonesia yang kerap diincar penjarah biasanya adalah arca-arca terakota, benda megalitik, dan benda etnografi. Pahatan batu prasasti, yang umumnya bernilai historis tinggi, tampaknya rendah dalam hal ekstetik sehingga cenderung tidak diincar. “Mereka mencari yang memiliki nilai estetik dan nilai historisnya jelas.”

 “Kalau misalnya menemukan arca terakota yang relatif utuh, mereka pecahkan dulu menjadi beberapa bagian,” ujar Agus. “Jadi ketika dijual ke luar negeri, pecahan-pecahan itu disisipkan di antara barang ekspor. Di sana, [arca terakota itu] lalu direkonstruksi lagi bentuknya.”

Para pelaku penjarahan di lapangan biasanya adalah masyarakat sekitar situs ekskavasi yang sadar akan tingginya nilai ekonomi benda-benda temuan. Agus juga menceritakan pengalamannya kepada saya kala melakukan survei di dekat Candi Kedaton, situs Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.  Dia dan timnya menemukan pekarangan milik warga yang ideal untuk dijadikan situs ekskavasi baru. Warga setempat yang tertarik melihat kedatangan arkeolog tampaknya merasa penasaran dengan apa yang sejatinya telah bersemayam di pekarangan salah seorang tetangga mereka.

Dalam kesenyapan malam, beberapa warga mengendap-endap dan menggali petak-petak yang direncanakan akan diekskavasi oleh tim ahli arkeologi.

Keesokan paginya, Agus dan timnya hanya bisa terheran-heran. Mereka melihat lokasi yang mereka tunjuk telah digali warga. “Mungkin saja tidak apa-apa di situ, tapi reaksi mereka cepat juga,” ujarnya dengan getir.

Metode pencurian di Trowulan dapat dirunutkan secara sederhana, ungkap Agus. Para penemu artefak di lapangan, ujarnya, mereka justru melapor kepada seorang pengepul—alih-alih melapor kepada Badan Pelestarian Cagar Budaya setempat. Para pengepul itu kerap berkeliling ke tempat pembuatan batu bata tradisional untuk mencari temuan antik. Agar barangnya cepat terjual, pengepul mengirimkan artefak temuan warga ke tempat yang digandrungi banyak wisatawan luar negeri, seperti Bali. Atau,  mereka mengirim temuan barang antik itu ke kota besar yang sudah memiliki peminat, seperti Jakarta dan Surabaya.

Agar barangnya cepat terjual, pengepul mengirimkan artefak temuan warga ke tempat yang digandrungi banyak wisatawan luar negeri, seperti Bali.

Fenomena penjarahan barang antik telah marak di Nusantara. Di Palembang, artefak yang dicuri biasanya terkait dengan peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Barang Muatan Kapal Tenggelam yang berada di sekitar perairan Kepulauan Riau, juga kerap menjadi sasaran penjarahan. Bahkan di Bali, patung-patung pratima yang disakralkan masyarakat setempat seringkali dicuri dan diselundupkan oleh wisatawan asing. Semua tinggalan leluhur nan tak ternilai ini kemudian menyebar ke penjuru dunia—tak hanya ke tangan kolektor dalam negeri, tetapi juga  kolektor di Eropa dan Amerika Serikat.

Sudah sejak lama artefak-artefak khas negeri tropis Indonesia berpindah ke negeri-negeri di Eropa yang dingin dan bersalju, terutama di masa pemerintahan kolonial Inggris (1811-1816). Di bawah komando Letnan Gubernur Jendral Inggris di Jawa, Thomas Stamford Raffles, pemugaran dan pendataan terhadap reruntuhan di Jawa, terutama di Jawa Tengah, dilakukan dengan gencar. Di antaranya yang dipugar adalah Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Sewu, dan Candi Gedong Songo.

Namun, semangat intelektual Raffles sama besar dengan ambisi politiknya. Kala Keraton Yogyakarta jatuh setelah diserang pasukan Inggris pada tahun 1812, Raffles melancarkan pukulan penghinaan terakhir. “Mereka mencuri seluruh isi arsip keraton, setiap naskah yang dijilid, setiap tulisan di daun lontar, setiap babad, setiap teks dalam Bahasa Kawi, Jawi, Arab, dan Sanskerta,” ungkap Tim Hannigan, jurnalis asal Inggris, dalam bukunya, Raffles and the British Invasion of Java, yang juga diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Agus lalu mengingatkan saya tentang kisah dua prasasti penting yang dijarah dan dihadiahkan oleh Raffles kepada atasannya di India, Lord Minto. Pertama, Prasasti Pucangan yang menjelaskan tentang naik tahtanya Airlangga sebagai raja Kerajaan Kahuripan pada abad ke-11 di Jawa Timur. Prasasti itu sohor dengan julukan Prasasti Calcutta. Kini, warisan leluhur itu masih tersimpan di gudang Museum India yang terletak di Kota Calcutta. Kedua, Prasasti Sanggurah, atau Prasasti Minto yang dibawa pulang ke kampung halaman sang Gubernur Jenderal India tersebut di wilayah Hawick, Roxburgshire, Skotlandia. Prasasti itu mengabarkan tentang perpindahan Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada abad ke-10 tersebut.  

“Mereka mencuri seluruh isi arsip keraton, setiap naskah yang dijilid, setiap tulisan di daun lontar, setiap babad, setiap teks dalam Bahasa Kawi, Jawi, Arab, dan Sanskerta,” ungkap Tim Hannigan.

“Sekarang kita tidak bisa protes. Kalau mau protes seharusnya waktu dulu, kepada nenek moyang mereka yang mengambil,” ujar Agus sembari berkelakar.

Sejak 2004, sejatinya pemerintah Indonesia mulai melakukan negosiasi dengan pihak keluarga Minto untuk memulangkannya. Namun upaya itu gagal karena mereka meminta biaya kompensasi yang besar. Dua peneliti asal Inggris, Peter Carey dan Nigel Bullough, pernah mengungkapkan bahwa prasasti itu kini terlantar di pekarangan rumah keluarga Minto, dengan kondisi penuh lumut.

Pada masa Hindia Belanda, semakin banyak warisan budaya Nusantara yang didata dan dikoleksi, bahkan dikirim ke Eropa. Sampai akhirnya pada 1931, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan khusus menyangkut masalah kepurbakalaan melalui pengesahan undang-undang Monumenten Ordonnatie. Kelak, akar payung hukum utama terkait masalah cagar budaya di Indonesia ditarik dari peraturan tinggalan kolonial ini.

Peraturan itu melindungi segala pusaka. Tidak hanya warisan tradisi Nusantara, tetapi juga warisan para arsitek sohor zaman Hindia Belanda seperti bangunan sekolah, perkantoran, pasar, hingga stasiun kereta.  

Ramai penumpang di Stasiun Jakarta Kota, sebuah stasiun yang diresmikan pada 1929. Dari gerbang stasiun lawas yang masih memesona ini saya berjalan menuju jantung Kota Tua, sehamparan kawasan pusaka Kota Batavia. Kota ini menyimpan jejak sejarah keemasan VOC—kongsi dagang Hindia Timur. Namun, pada hari ini saya justru menyaksikan segalanya terlihat begitu miris: bangunan-bangunan tua merepih tak terawat, sungai beraroma jamban, dan lapak-lapak pedagang liar yang menyita hak pejalan kaki seperti saya.

Bagaimana sejatinya upaya pelestarian Kota Tua Jakarta, dibanding pelestarian kota di negeri tetangga?

“Sayang, jika Jakarta itu sebagai kota besar dan tua, pendobrak peradaban Eropa di Asia, kalah dengan Georgetown, Malaka, di Malaysia,” ujar Djauhari Sumintardja yang saya jumpai di Universitas Tarumanegara, Jakarta Barat. Dia merupakan arsitek senior yang menjabat sebagai Ketua Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta.

“Kalau bangunan itu ambruk [atau] roboh karena ditelantarkan pemilik atau pengelolanya,” kata Djuhari, “sebenarnya melanggar hukum dan bisa dituntut.”

Selain membandingkan upaya pelestarian di Indonesia dan Malaysia, Djauhari juga menceritakan banyak hal tentang perkembangan pelestarian cagar budaya di wilayah Jakarta kepada saya. Pemugaran dan revitalisasi bangunan cagar budaya kawasan ini mulai gencar pada pertengahan 1970-an, era Gubernur Ali Sadikin.

Pemaparan Djauhari menyadarkan saya perihal kepemilikan warga terhadap bangunan di kawasan cagar budaya. Kepemilikan itu harus disertai dengan tanggung jawab moral—juga ekonomi—yang besar. “Kalau bangunan itu ambruk [atau] roboh karena ditelantarkan pemilik atau pengelolanya,” kata Djuhari, “sebenarnya melanggar hukum dan bisa dituntut.”

Meski sejauh ini penerapannya masih belum maksimal, undang-undang tentang pelestarian cagar budaya telah memperjelas upaya pelestarian pusaka di Indonesia. Baru-baru ini Pusat Dokumentasi Arsitektur berupaya melakukan dokumentasi, penelitian dan inventarisasi kerusakan bangunan kediaman Raden Saleh di Cikini, Jakarta Pusat. Penyelamatan kediaman Pelukis Sang Raja itu turut didanai program Ambassador Funds for Cultural Preservation dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.

Namun, sekadar selamat pun belumlah mencukupi. Upaya penyelamatan dan pelestarian wajib dilindungi hukum dan harus memiliki misi pemanfaatan yang jelas. Pada akhirnya semua pemangku kepentingan memang harus terlibat dalam persoalan ini.

“Kalau kita bicara pelestarian cagar budaya, awalnya memang arkeolog yang punya banyak data,” ujar Catrini Pratihari Kubontubuh kepada saya pada kesempatan lain. “Namun belakangan ini kita juga butuh tenaga dari disiplin ilmu yang berbeda, seperti arsitek, sejarawan, ahli hukum, dan ahli ekonomi.”

“Sebagai komunitas pelestari,” ujarnya, “saya melihat bahwa kekuatan yang lebih besar itu ada di masyarakat.” Itulah kunci pelestarian cagar budaya Indonesia, demikian hematnya.

Catrini merupakan Direktur Eksekutif Yayasan Arsari Djojohadikusumo, dan sekaligus Ketua Dewan Pimpinan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia.

“Sebagai komunitas pelestari,” ujarnya, “saya melihat bahwa kekuatan yang lebih besar itu ada di masyarakat.” Itulah kunci pelestarian cagar budaya Indonesia, demikian hematnya.

Pernyataan Catrini tampaknya ada benarnya. Titik akhir pelestarian warisan cagar budaya adalah menjadikan kandungan ilmu pengetahuan di dalamnya sebagai konsumsi publik—entah di museum, kawasan terbuka, atau ruang-ruang kelas tempat belajar dan mengajar. Semua itu melibatkan masyarakat sebagai pelaku aktif. Dia mengatakan, “Pemerintah pun akan dimudahkan jika masyarakatnya telah peduli terhadap warisan cagar budaya.”

Ketika mendung bergelayut di angkasa Jakarta Pusat, saya tengah menapaki pekarangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jalan Jenderal Sudirman. Saya menjumpai Harry Widianto di ruang kerjanya. Dia merupakan ahli Paleoanthropologi yang juga menjabat sebagai Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.

Harry, yang pernah menjabat sebagai Kepala Museum Purbakala Sangiran, menceritakan tentang masyarakat di sekitar kawasan cagar budaya Sangiran. Situs keramat warisan dunia yang mengekalkan penggalan kisah evolusi manusia itu terletak di tiga kecamatan yang dihuni lebih dari 200 ribu orang. Saat ini, penemuan di sana terjadi terus-menerus, ujarnya, dan kualitasnya semakin bagus. “Kita ajarkan kepada mereka tentang prosedur penyerahan, dan apa yang dapat mereka harapkan dari penyerahan itu,” kata Harry. “Mereka diberikan imbalan sertifikat dan uang.”

Sebagai contoh upaya pemerintah, Harry menambahkan, ketika fosil kepala Homo erectus arkaik ditemukan oleh warga setempat pada akhir April 2016. Setu Wiryorejo, sang penemu, melaporkan kepada balai pelestarian setempat. Atas penemuannya, pemerintah memberikan imbalan kepada Setu. Temuan fosil Homo erectus arkaik ini sama spektakulernya dengan temuan serupa oleh ahli Paleontologi asal Belanda, Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald pada 1936.

Cagar budaya berdasarkan undang-undang di Indonesia merupakan pusaka yang terdiri atas lima rupa: benda, bangunan, struktur, situs dan kawasan cagar budaya. Harry mengatakan bahwa kelimanya—baik yang berasal dari bawah air maupun darat—perlu dilestarikan karena memiliki arti penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, agama, pendidikan dan kebudayaan. Semuanya melalui proses penetapan.

Harry mengungkapkan dengan rasa menyesal, “Apa boleh buat, untuk mengawasi situs-situs itu kita tidak berdaya. Faktor-faktor kecolongan itu memang di luar kekuatan kita.”

Sekitar 90.000 cagar budaya telah terdaftar di Indonesia, ujar Harry. Cagar budaya ini disusun dalam sebuah peringkat, dari daerah sampai nasional. Dan penetapannya kini dapat dilakukan oleh penguasa daerah, melalui rekomendasi dari tim ahli cagar budaya setempat.

Namun demikian, permasalahan seputar penetapan sebagai kawasan atau benda pusaka selalu ada. “Kawasan biasanya bermasalah dengan regulasi setempat,” kata Harry. “Bangunan, struktur, dan situs, berhadapan dengan masalah pengembangan wilayah. Sedangkan, Benda-benda cagar budaya bermasalah dengan pencurian.”

Belum lama ini, Harry menghadiri sebuah pertemuan di Paris, Perancis, untuk membahas Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air. Dia menjelaskan kepada saya tentang fenomena cagar budaya bawah air di Indonesia yang pernah menjadi polemik beberapa kementerian di internal pemerintahan.

Sekujur perairan Nusantara memang telah menjadi ajang penjarahan oleh pemburu-pemburu harta karun yang umumnya dari luar negeri. Pada akhir 1989, sebuah Panitia Nasional—yang anggotanya berasal dari berbagai kementerian dan lembaga pemerintah—pernah memberikan rekomendasi kepada para pemburu Barang Muatan Kapal Tenggelam. Kepada para pemburu harta karun, pemerintah membolehkan mereka untuk mengangkat harta karun dari dasar lautan. Namun, pengangkatan itu memiliki prasyarat bahwa “uang yang didapat dari hasil lelangnya 50 persen diserahkan pemerintah, dan 50 persen untuk para eksplorer.”

Kebijakan ini menuai hasil: lebih dari selusin lokasi harta karun yang bersemayam di dasar lautan telah dieskplorasi dan diangkat. Namun, Harry menyayangkan karena “pengambilan ini memberikan aspek negatif dalam hal konservasinya, sehingga barang-barang itu mudah rusak.”

Kebijakan yang dirumuskan oleh Panitia Nasional ini diperkuat oleh UU Cagar Budaya No.5 tahun 1992, namun semua itu berubah ketika UU No. 11 Tahun 2010 diresmikan.

Perundangan baru itu menyatakan bahwa pengangkatan hanya diperbolehkan melalui konteks penelitian dan pelestarian. Sejak terbit perundangan ini temuan harta karun di perairan Indonesia tidak boleh lagi dijual di luar negeri, demikian Harry mengingatkan. “Urusan ke luar negeri hanya untuk penelitian dan promosi, dan barangnya harus kembali ke Indonesia.”

Saya menyinggung tentang perusakan atau penjarahan terhadap pusaka bangsa ini, bahkan kian bertubi-tubi sampai hari ini. Harry mengungkapkan dengan rasa menyesal, “Apa boleh buat, untuk mengawasi situs-situs itu kita tidak berdaya. Faktor-faktor kecolongan itu memang di luar kekuatan kita.”

“Dampak dari pencurian dan perusakan cagar budaya tentu sangat besar bagi generasi mendatang,” demikian pesan dari Hilmar. “karena akan kehilangan kesempatan untuk melihat dan berinteraksi langsung dengan bangunan, situs, atau benda cagar budaya.”

Saya bertanya-tanya, bagaimana sikap pemerintah dalam menghadapi kejahatan terhadap benda cagar budaya belakangan ini? Pertanyaan itu saya tujukan kepada Hilmar Farid lewat pesan dari gawai saya. Hilmar merupakan Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, juga seorang yang gemar memasak, berenang, dan bermusik di waktu senggangnya.

Beberapa saat kemudian gawai saya berdering. Di sela-sela kesibukannya yang luar biasa, Hilmar begitu berbaik hati menanggapi rasa penasaran saya.

“Dampak dari pencurian dan perusakan cagar budaya tentu sangat besar bagi generasi mendatang,” demikian pesan dari Hilmar. “karena akan kehilangan kesempatan untuk melihat dan berinteraksi langsung dengan bangunan, situs, atau benda cagar budaya.”

Jika kita hanya mengeluh tentang menipisnya kesadaran publik akan sejarah yang tergambar dari perusakan dan pencurian yang terus menerus, demikian kata Hilmar, bisa dipastikan kesadaran itu akan semakin tipis saja. Apabila kita tidak bergerak untuk menyelamatkan warisan leluhur, “di masa depan kita akan menghasilkan masa depan tanpa sejarah,” ungkap Hilmar. “Dan itu sangat berbahaya.”

“Aksi tanggap untuk mencegah pencurian dan tindak perusakan adalah memperkuat pengawasan,” ungkap Hilmar. Namun, dia juga menyadari adanya sumber daya yang terbilang tak longgar. “Di Indonesia, ada ribuan bangunan, situs, dan benda yang merupakan cagar budaya,  sementara petugas yang tersedia masih terbatas.”

Selama ini orang menganggap kejahatan terhadap benda cagar budaya—entah penelantaran, penjarahan, bahkan perusakan —hanya berkaitan masa silam. Padahal dampaknya justru lebih besar terhadap masa depan tentang pemahaman dan kebanggaan warga terhadap sejarah dan jati dirinya. Kejahatan terhadap cagar budaya tidak hanya melenyapkan ingatan kita tentang masa lalu, tetapi juga menjarah tumpuan pijakan generasi masa depan tentang jati diri mereka.

Butuh hasrat nan kuat untuk melestarikan masa lalu. Mencederai cagar budaya dengan tindak kriminal—entah perusakan, penjarahan, bahkan penelantaran—bukan hanya menunjukkan sikap tidak hormat terhadap warisan masa lalu, tetapi juga menghilangkan tumpuan bagi pijakan generasi masa depan. 

“Kita perlu perkuat barisan penyidik pegawai negeri sipil yang ahli dalam soal pengawasan dan perlindungan. Tapi yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan kesadaran masyarakat agar turut melindungi dan mengawasi cagar budaya kita.”

“Kita perlu perkuat barisan penyidik pegawai negeri sipil yang ahli dalam soal pengawasan dan perlindungan. Tapi yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan kesadaran masyarakat agar turut melindungi  dan mengawasi cagar budaya kita.”

Saya teringat gelumat anak-anak berseragam sekolah dasar yang berkunjung ke Museum Nasional. Tiga tahun setelah pencurian benda-benda pusaka Nusantara, museum ini telah banyak berbenah. Tidak hanya petugas keamanan yang sigap, peranti sinyal tanda bahaya dan kamera keamanan, tetapi juga semakin banyak warga terlibat dalam berbagai kegiatan budaya di museum. Kian hari, museum ini kian ramai.

Di sudut museum, saya menyaksikan seorang gadis kecil berseragam sekolah dasar tengah melihat arca batu sembari mencatat keterangannya. Matanya tampak berbinar-binar, mungkin antara keheranan dan penasaran. Saya membayangkan sebuah imaji satire: mungkin bukan di tangan generasi saya, atau bahkan generasi gadis kecil tadi, cagar budaya di Indonesia akan benar-benar lestari sepenuhnya.

Jalan pelestarian memang masih panjang dan berliku, namun harus diawali dari sekarang.

!break!

Selintas Penjarahan dan Perusakan Warisan Leluhur

Cagar budaya kita bertubi-tubi didera perusakan dan penjarahan. Membiarkan kejahatan terjadi, mungkin merupakan kejahatan pula.

2007September Museum Radya Pustaka, Surakarta, melaporkan pencurian dan pemalsuan koleksi arca batu. Berkat kesigapan kepolisian, arca-arca  itu ditemukan di Jakarta, dan telah kembali ke museum.2008Februari Lambang B. Purnomo, arkeolog dan saksi kasus pencurian di Radya Pustaka, tewas misterius. Agustus Petugas bandara di Palangkaraya, menggagalkan penyelundupan dua patung Sapundu.2009Maret Museum Balaputra Dewa, Palembang kehilangan arca Buddha dari perunggu asal masa Sriwijaya. Tiga hari kemudian empat tersangka diamankan. Arca kembali ke museum.Maret Rumah Cina-Hindia milik Kapitan Oey Dji San di Tangerang dibongkar untuk kompleks perkantoran.November Dua buah kepala arca Buddha Candi Plaosan, dicuri. Pelaku tertangkap beserta puluhan arca lain.2010Agustus Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, kehilangan 75 koleksinya berupa topeng emas dan perhiasan. Koleksi itu belum kembali, dan kini terancam dihapus dari daftar BCB.2011Pada tahun ini warga Li­yangan, Temanggung, selamatkan singa perunggu berusia seribu tahun dari penjarah Candi Liyangan. Agustus Enam wayang koleksi Radya Pustaka hilang, delapan dipalsukan.2012MeiMakam Sultan Hasanuddin, Makassar, dirusak dengan linggis.Kendati tidak ada benda yang dicuri, kondisi makam rusak parah pada tiang nisan dan papan prasasti.AprilUsai Pusat Arkeologi Nasional mengekskavasi Gua Harimau, sebuah gelang perunggu yang melekat di rangka perempuan telah hilang. Pencuri mengaku, gelang dibagikan ke teman-temannya sebagai jimat.2013MeiGedung SMA “17” 1 di Yogyakarta dirusak. Perusakan bangunan bargaya Hindia Baru ini bermula dari perselisihan antara yayasan dan pihak ahli waris bangunan. Lebih dari separuhnya rusak. 

SeptemberMuseum Nasional, Jakarta, kehilangan empat artefak kuno yang terbuat dari emas. Kamera pengintai tidak berfungsi. Kini, kasus masih dalam penyelidikan kepolisian.2014NovemberTNI Angkatan Laut menggagalkan upaya penyelundupan harta karun barang muatan kapal tenggelam di perairan Kep. Riau. Sejumlah 3.000-an keramik diamankan.2015JuniSebagian Pasar Peterongan Semarang yang di bangun awal abad ke-20 di Semarang, telanjur dibongkar. Namun Tim Ahli Cagar Budaya dan Kelompok Pegiat Sejarah berhasil menghentikannya.2016April Penggusuran permukiman di Pasar Ikan, Jakarta Utara, menyebabkan rusaknya cagar budaya Bastion Zeeburg, bagian tembok kota Batavia yang dibangun pada abad ke-17.MeiRumah Radio Pemberontakan di Surabaya telah rata dengan tanah. Cagar budaya ini pernah digunakan Bung Tomo dan K’tut Tantri untuk membakar semangat warga Surabaya jelang November 1945.

Data ini hanyalah sebagian kasus penjarahan dan perusakan. Sumber: Berbagai pemberitaan di media; Truman Simanjuntak, Pusat Arkeologi Nasional; Sofiudin, Tim Peduli Liyangan.