Menjarah Masa Depan

By , Rabu, 25 Mei 2016 | 00:00 WIB

Keesokan paginya, Agus dan timnya hanya bisa terheran-heran. Mereka melihat lokasi yang mereka tunjuk telah digali warga. “Mungkin saja tidak apa-apa di situ, tapi reaksi mereka cepat juga,” ujarnya dengan getir.

Metode pencurian di Trowulan dapat dirunutkan secara sederhana, ungkap Agus. Para penemu artefak di lapangan, ujarnya, mereka justru melapor kepada seorang pengepul—alih-alih melapor kepada Badan Pelestarian Cagar Budaya setempat. Para pengepul itu kerap berkeliling ke tempat pembuatan batu bata tradisional untuk mencari temuan antik. Agar barangnya cepat terjual, pengepul mengirimkan artefak temuan warga ke tempat yang digandrungi banyak wisatawan luar negeri, seperti Bali. Atau,  mereka mengirim temuan barang antik itu ke kota besar yang sudah memiliki peminat, seperti Jakarta dan Surabaya.

Agar barangnya cepat terjual, pengepul mengirimkan artefak temuan warga ke tempat yang digandrungi banyak wisatawan luar negeri, seperti Bali.

Fenomena penjarahan barang antik telah marak di Nusantara. Di Palembang, artefak yang dicuri biasanya terkait dengan peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Barang Muatan Kapal Tenggelam yang berada di sekitar perairan Kepulauan Riau, juga kerap menjadi sasaran penjarahan. Bahkan di Bali, patung-patung pratima yang disakralkan masyarakat setempat seringkali dicuri dan diselundupkan oleh wisatawan asing. Semua tinggalan leluhur nan tak ternilai ini kemudian menyebar ke penjuru dunia—tak hanya ke tangan kolektor dalam negeri, tetapi juga  kolektor di Eropa dan Amerika Serikat.

Sudah sejak lama artefak-artefak khas negeri tropis Indonesia berpindah ke negeri-negeri di Eropa yang dingin dan bersalju, terutama di masa pemerintahan kolonial Inggris (1811-1816). Di bawah komando Letnan Gubernur Jendral Inggris di Jawa, Thomas Stamford Raffles, pemugaran dan pendataan terhadap reruntuhan di Jawa, terutama di Jawa Tengah, dilakukan dengan gencar. Di antaranya yang dipugar adalah Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Sewu, dan Candi Gedong Songo.

Namun, semangat intelektual Raffles sama besar dengan ambisi politiknya. Kala Keraton Yogyakarta jatuh setelah diserang pasukan Inggris pada tahun 1812, Raffles melancarkan pukulan penghinaan terakhir. “Mereka mencuri seluruh isi arsip keraton, setiap naskah yang dijilid, setiap tulisan di daun lontar, setiap babad, setiap teks dalam Bahasa Kawi, Jawi, Arab, dan Sanskerta,” ungkap Tim Hannigan, jurnalis asal Inggris, dalam bukunya, Raffles and the British Invasion of Java, yang juga diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Agus lalu mengingatkan saya tentang kisah dua prasasti penting yang dijarah dan dihadiahkan oleh Raffles kepada atasannya di India, Lord Minto. Pertama, Prasasti Pucangan yang menjelaskan tentang naik tahtanya Airlangga sebagai raja Kerajaan Kahuripan pada abad ke-11 di Jawa Timur. Prasasti itu sohor dengan julukan Prasasti Calcutta. Kini, warisan leluhur itu masih tersimpan di gudang Museum India yang terletak di Kota Calcutta. Kedua, Prasasti Sanggurah, atau Prasasti Minto yang dibawa pulang ke kampung halaman sang Gubernur Jenderal India tersebut di wilayah Hawick, Roxburgshire, Skotlandia. Prasasti itu mengabarkan tentang perpindahan Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada abad ke-10 tersebut.  

“Mereka mencuri seluruh isi arsip keraton, setiap naskah yang dijilid, setiap tulisan di daun lontar, setiap babad, setiap teks dalam Bahasa Kawi, Jawi, Arab, dan Sanskerta,” ungkap Tim Hannigan.

“Sekarang kita tidak bisa protes. Kalau mau protes seharusnya waktu dulu, kepada nenek moyang mereka yang mengambil,” ujar Agus sembari berkelakar.

Sejak 2004, sejatinya pemerintah Indonesia mulai melakukan negosiasi dengan pihak keluarga Minto untuk memulangkannya. Namun upaya itu gagal karena mereka meminta biaya kompensasi yang besar. Dua peneliti asal Inggris, Peter Carey dan Nigel Bullough, pernah mengungkapkan bahwa prasasti itu kini terlantar di pekarangan rumah keluarga Minto, dengan kondisi penuh lumut.

Pada masa Hindia Belanda, semakin banyak warisan budaya Nusantara yang didata dan dikoleksi, bahkan dikirim ke Eropa. Sampai akhirnya pada 1931, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan khusus menyangkut masalah kepurbakalaan melalui pengesahan undang-undang Monumenten Ordonnatie. Kelak, akar payung hukum utama terkait masalah cagar budaya di Indonesia ditarik dari peraturan tinggalan kolonial ini.

Peraturan itu melindungi segala pusaka. Tidak hanya warisan tradisi Nusantara, tetapi juga warisan para arsitek sohor zaman Hindia Belanda seperti bangunan sekolah, perkantoran, pasar, hingga stasiun kereta.  

Ramai penumpang di Stasiun Jakarta Kota, sebuah stasiun yang diresmikan pada 1929. Dari gerbang stasiun lawas yang masih memesona ini saya berjalan menuju jantung Kota Tua, sehamparan kawasan pusaka Kota Batavia. Kota ini menyimpan jejak sejarah keemasan VOC—kongsi dagang Hindia Timur. Namun, pada hari ini saya justru menyaksikan segalanya terlihat begitu miris: bangunan-bangunan tua merepih tak terawat, sungai beraroma jamban, dan lapak-lapak pedagang liar yang menyita hak pejalan kaki seperti saya.

Bagaimana sejatinya upaya pelestarian Kota Tua Jakarta, dibanding pelestarian kota di negeri tetangga?