Menjarah Masa Depan

By , Rabu, 25 Mei 2016 | 00:00 WIB

Cagar budaya berdasarkan undang-undang di Indonesia merupakan pusaka yang terdiri atas lima rupa: benda, bangunan, struktur, situs dan kawasan cagar budaya. Harry mengatakan bahwa kelimanya—baik yang berasal dari bawah air maupun darat—perlu dilestarikan karena memiliki arti penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, agama, pendidikan dan kebudayaan. Semuanya melalui proses penetapan.

Harry mengungkapkan dengan rasa menyesal, “Apa boleh buat, untuk mengawasi situs-situs itu kita tidak berdaya. Faktor-faktor kecolongan itu memang di luar kekuatan kita.”

Sekitar 90.000 cagar budaya telah terdaftar di Indonesia, ujar Harry. Cagar budaya ini disusun dalam sebuah peringkat, dari daerah sampai nasional. Dan penetapannya kini dapat dilakukan oleh penguasa daerah, melalui rekomendasi dari tim ahli cagar budaya setempat.

Namun demikian, permasalahan seputar penetapan sebagai kawasan atau benda pusaka selalu ada. “Kawasan biasanya bermasalah dengan regulasi setempat,” kata Harry. “Bangunan, struktur, dan situs, berhadapan dengan masalah pengembangan wilayah. Sedangkan, Benda-benda cagar budaya bermasalah dengan pencurian.”

Belum lama ini, Harry menghadiri sebuah pertemuan di Paris, Perancis, untuk membahas Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air. Dia menjelaskan kepada saya tentang fenomena cagar budaya bawah air di Indonesia yang pernah menjadi polemik beberapa kementerian di internal pemerintahan.

Sekujur perairan Nusantara memang telah menjadi ajang penjarahan oleh pemburu-pemburu harta karun yang umumnya dari luar negeri. Pada akhir 1989, sebuah Panitia Nasional—yang anggotanya berasal dari berbagai kementerian dan lembaga pemerintah—pernah memberikan rekomendasi kepada para pemburu Barang Muatan Kapal Tenggelam. Kepada para pemburu harta karun, pemerintah membolehkan mereka untuk mengangkat harta karun dari dasar lautan. Namun, pengangkatan itu memiliki prasyarat bahwa “uang yang didapat dari hasil lelangnya 50 persen diserahkan pemerintah, dan 50 persen untuk para eksplorer.”

Kebijakan ini menuai hasil: lebih dari selusin lokasi harta karun yang bersemayam di dasar lautan telah dieskplorasi dan diangkat. Namun, Harry menyayangkan karena “pengambilan ini memberikan aspek negatif dalam hal konservasinya, sehingga barang-barang itu mudah rusak.”

Kebijakan yang dirumuskan oleh Panitia Nasional ini diperkuat oleh UU Cagar Budaya No.5 tahun 1992, namun semua itu berubah ketika UU No. 11 Tahun 2010 diresmikan.

Perundangan baru itu menyatakan bahwa pengangkatan hanya diperbolehkan melalui konteks penelitian dan pelestarian. Sejak terbit perundangan ini temuan harta karun di perairan Indonesia tidak boleh lagi dijual di luar negeri, demikian Harry mengingatkan. “Urusan ke luar negeri hanya untuk penelitian dan promosi, dan barangnya harus kembali ke Indonesia.”

Saya menyinggung tentang perusakan atau penjarahan terhadap pusaka bangsa ini, bahkan kian bertubi-tubi sampai hari ini. Harry mengungkapkan dengan rasa menyesal, “Apa boleh buat, untuk mengawasi situs-situs itu kita tidak berdaya. Faktor-faktor kecolongan itu memang di luar kekuatan kita.”

“Dampak dari pencurian dan perusakan cagar budaya tentu sangat besar bagi generasi mendatang,” demikian pesan dari Hilmar. “karena akan kehilangan kesempatan untuk melihat dan berinteraksi langsung dengan bangunan, situs, atau benda cagar budaya.”

Saya bertanya-tanya, bagaimana sikap pemerintah dalam menghadapi kejahatan terhadap benda cagar budaya belakangan ini? Pertanyaan itu saya tujukan kepada Hilmar Farid lewat pesan dari gawai saya. Hilmar merupakan Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, juga seorang yang gemar memasak, berenang, dan bermusik di waktu senggangnya.

Beberapa saat kemudian gawai saya berdering. Di sela-sela kesibukannya yang luar biasa, Hilmar begitu berbaik hati menanggapi rasa penasaran saya.

“Dampak dari pencurian dan perusakan cagar budaya tentu sangat besar bagi generasi mendatang,” demikian pesan dari Hilmar. “karena akan kehilangan kesempatan untuk melihat dan berinteraksi langsung dengan bangunan, situs, atau benda cagar budaya.”

Jika kita hanya mengeluh tentang menipisnya kesadaran publik akan sejarah yang tergambar dari perusakan dan pencurian yang terus menerus, demikian kata Hilmar, bisa dipastikan kesadaran itu akan semakin tipis saja. Apabila kita tidak bergerak untuk menyelamatkan warisan leluhur, “di masa depan kita akan menghasilkan masa depan tanpa sejarah,” ungkap Hilmar. “Dan itu sangat berbahaya.”

“Aksi tanggap untuk mencegah pencurian dan tindak perusakan adalah memperkuat pengawasan,” ungkap Hilmar. Namun, dia juga menyadari adanya sumber daya yang terbilang tak longgar. “Di Indonesia, ada ribuan bangunan, situs, dan benda yang merupakan cagar budaya,  sementara petugas yang tersedia masih terbatas.”

Selama ini orang menganggap kejahatan terhadap benda cagar budaya—entah penelantaran, penjarahan, bahkan perusakan —hanya berkaitan masa silam. Padahal dampaknya justru lebih besar terhadap masa depan tentang pemahaman dan kebanggaan warga terhadap sejarah dan jati dirinya. Kejahatan terhadap cagar budaya tidak hanya melenyapkan ingatan kita tentang masa lalu, tetapi juga menjarah tumpuan pijakan generasi masa depan tentang jati diri mereka.

Butuh hasrat nan kuat untuk melestarikan masa lalu. Mencederai cagar budaya dengan tindak kriminal—entah perusakan, penjarahan, bahkan penelantaran—bukan hanya menunjukkan sikap tidak hormat terhadap warisan masa lalu, tetapi juga menghilangkan tumpuan bagi pijakan generasi masa depan. 

“Kita perlu perkuat barisan penyidik pegawai negeri sipil yang ahli dalam soal pengawasan dan perlindungan. Tapi yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan kesadaran masyarakat agar turut melindungi dan mengawasi cagar budaya kita.”

“Kita perlu perkuat barisan penyidik pegawai negeri sipil yang ahli dalam soal pengawasan dan perlindungan. Tapi yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan kesadaran masyarakat agar turut melindungi  dan mengawasi cagar budaya kita.”

Saya teringat gelumat anak-anak berseragam sekolah dasar yang berkunjung ke Museum Nasional. Tiga tahun setelah pencurian benda-benda pusaka Nusantara, museum ini telah banyak berbenah. Tidak hanya petugas keamanan yang sigap, peranti sinyal tanda bahaya dan kamera keamanan, tetapi juga semakin banyak warga terlibat dalam berbagai kegiatan budaya di museum. Kian hari, museum ini kian ramai.

Di sudut museum, saya menyaksikan seorang gadis kecil berseragam sekolah dasar tengah melihat arca batu sembari mencatat keterangannya. Matanya tampak berbinar-binar, mungkin antara keheranan dan penasaran. Saya membayangkan sebuah imaji satire: mungkin bukan di tangan generasi saya, atau bahkan generasi gadis kecil tadi, cagar budaya di Indonesia akan benar-benar lestari sepenuhnya.

Jalan pelestarian memang masih panjang dan berliku, namun harus diawali dari sekarang.

!break!

Selintas Penjarahan dan Perusakan Warisan Leluhur

Cagar budaya kita bertubi-tubi didera perusakan dan penjarahan. Membiarkan kejahatan terjadi, mungkin merupakan kejahatan pula.

2007September Museum Radya Pustaka, Surakarta, melaporkan pencurian dan pemalsuan koleksi arca batu. Berkat kesigapan kepolisian, arca-arca  itu ditemukan di Jakarta, dan telah kembali ke museum.2008Februari Lambang B. Purnomo, arkeolog dan saksi kasus pencurian di Radya Pustaka, tewas misterius. Agustus Petugas bandara di Palangkaraya, menggagalkan penyelundupan dua patung Sapundu.2009Maret Museum Balaputra Dewa, Palembang kehilangan arca Buddha dari perunggu asal masa Sriwijaya. Tiga hari kemudian empat tersangka diamankan. Arca kembali ke museum.Maret Rumah Cina-Hindia milik Kapitan Oey Dji San di Tangerang dibongkar untuk kompleks perkantoran.November Dua buah kepala arca Buddha Candi Plaosan, dicuri. Pelaku tertangkap beserta puluhan arca lain.2010Agustus Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, kehilangan 75 koleksinya berupa topeng emas dan perhiasan. Koleksi itu belum kembali, dan kini terancam dihapus dari daftar BCB.2011Pada tahun ini warga Li­yangan, Temanggung, selamatkan singa perunggu berusia seribu tahun dari penjarah Candi Liyangan. Agustus Enam wayang koleksi Radya Pustaka hilang, delapan dipalsukan.2012MeiMakam Sultan Hasanuddin, Makassar, dirusak dengan linggis.Kendati tidak ada benda yang dicuri, kondisi makam rusak parah pada tiang nisan dan papan prasasti.AprilUsai Pusat Arkeologi Nasional mengekskavasi Gua Harimau, sebuah gelang perunggu yang melekat di rangka perempuan telah hilang. Pencuri mengaku, gelang dibagikan ke teman-temannya sebagai jimat.2013MeiGedung SMA “17” 1 di Yogyakarta dirusak. Perusakan bangunan bargaya Hindia Baru ini bermula dari perselisihan antara yayasan dan pihak ahli waris bangunan. Lebih dari separuhnya rusak. 

SeptemberMuseum Nasional, Jakarta, kehilangan empat artefak kuno yang terbuat dari emas. Kamera pengintai tidak berfungsi. Kini, kasus masih dalam penyelidikan kepolisian.2014NovemberTNI Angkatan Laut menggagalkan upaya penyelundupan harta karun barang muatan kapal tenggelam di perairan Kep. Riau. Sejumlah 3.000-an keramik diamankan.2015JuniSebagian Pasar Peterongan Semarang yang di bangun awal abad ke-20 di Semarang, telanjur dibongkar. Namun Tim Ahli Cagar Budaya dan Kelompok Pegiat Sejarah berhasil menghentikannya.2016April Penggusuran permukiman di Pasar Ikan, Jakarta Utara, menyebabkan rusaknya cagar budaya Bastion Zeeburg, bagian tembok kota Batavia yang dibangun pada abad ke-17.MeiRumah Radio Pemberontakan di Surabaya telah rata dengan tanah. Cagar budaya ini pernah digunakan Bung Tomo dan K’tut Tantri untuk membakar semangat warga Surabaya jelang November 1945.

Data ini hanyalah sebagian kasus penjarahan dan perusakan. Sumber: Berbagai pemberitaan di media; Truman Simanjuntak, Pusat Arkeologi Nasional; Sofiudin, Tim Peduli Liyangan.