Kisah Penjarah Makam

By , Rabu, 25 Mei 2016 | 00:00 WIB

Perempuan dengan rambut palsu dan mata nyalang itu terbujur di atas meja yang terang-benderang sementara sang profesor mengamati pada jarak satu telapak dari muka perempuan itu. “Kondisinya masih luar biasa bagus…terawetkan dengan sangat baik,” gumam profesor itu. Saat pandangannya beralih ke tubuh korban, yang dilukis pada tutup peti matinya, profesor menunjuk sayatan baru yang melintang di paha atas, dan simbol dewa Amun, seekor burung ibis, dan mantra sihir dari Kitab Orang Mati. “Dan ini nama dan gelarnya: Shesep-amun-tayesher, Nyonya Rumah. Dengan membacakannya, saya memenuhi keinginannya untuk dikenang di alam baka.”

Perempuan bangsawan Mesir itu sudah mati selama sekitar 2.600 tahun. Sarah Parcak, ahli Egiptologi, sedang memeriksa bagian dalam sarkofagusnya, salah satu dari tiga peti kayu yang tersusun berlapis  dan dulu mewadahi jasad muminya. Penjarah menggergaji sarkofagus itu menjadi empat bagian dan mengirimnya ke Amerika Serikat, lalu disatukan kembali oleh pemugar barang antik di sana. Berbulan-bulan kemudian agen bea cukai menemukan peti mati itu disembunyikan di rumah pedagang barang antik Brooklyn. Peti itu kini berada di gudang di lokasi rahasia di Kota New York, tempat pihak berwenang federal menyimpan artefak sitaan: patung batu Buddha raksasa dari India, penunggang kuda terakota dari Tiongkok, relief dari Irak, Suriah, dan Yaman. Semuanya pengungsi dalam perdagangan barang antik ilegal, korban perang internasional yang memperebutkan warisan budaya.

Dari maling kuil berdarah dingin di India hingga penyamun gereja di Bolivia hingga kawanan perampok makam di Tiongok, penjarah sedang menambang masa lalu kita. Penjarahan sulit dihitung jumlahnya. Tetapi pencitraan satelit, penyitaan polisi, dan laporan saksi dari lapangan semuanya mengindikasikan bahwa perdagangan harta curian sedang berkembang pesat di seluruh dunia.

Di Mesir, Parcak memelopori penggunaan citra satelit untuk mengukur penjarahan dan kerusakan akibat pengembangan properti di sekeliling situs. Seperempat dari 1.100 area arkeologi yang diketahui di negara itu telah mengalami kerusakan besar. “Dengan kecepatan perusakan seperti saat ini, semua situs yang diketahui di Mesir akan rusak parah sebelum 2040,” katanya. “Memilukan.”

Selama dua dasawarsa terakhir serangkaian kasus pengadilan dan pengembalian yang menyedot perhatian masyarakat telah menguak sisi gelap perdagangan barang antik, menyingkapkan jaringan kriminal yang menjual artefak jarahan ke galeri-galeri dan museum-museum ternama. Pada 2002 Frederick Schultz, pedagang karya seni kuno dari Manhattan yang terkemuka, dijatuhi hukuman 33 bulan di penjara federal untuk konspirasi menerima benda Mesir curian. Pada 2006 Metropolitan Museum of Art, di bawah tekanan pemerintah Italia, menyanggupi mengembalikan krater Euphronios yang terkenal—mangkuk pencampur anggur yang dijarah dari makam Etruskan di dekat Roma. Deram genderang perang dan prahara di banyak negara yang kaya barang antik, yang berpuncak dengan perampokan Mesopotamia kuno oleh ISIS, memicu kecemasan bahwa perdagangan barang antik membantu mendanai terorisme.

Namun, perdebatan tentang cara menghentikan penjarahan sudah mencapai kebuntuan. Para arkeolog menyalahkan perdagangan barang antik atas terjadinya penjarahan, mengklaim bahwa banyak artefak yang beredar di pasar itu curian. Para kolektor, pedagang, dan banyak kurator museum membalas bahwa sebagian besar penjualan barang antik itu legal. Sebagian berargumen bahwa tujuan akhirnya adalah menjaga warisan seni umat manusia dan tujuan itu mewajibkan mereka “menyelamatkan” barang antik dari negara yang tidak stabil—sekalipun itu berarti membelinya dari penjarah.

Kisah Shesepamuntayesher menyajikan kejelasan yang pahit bagi pertanyaan abstrak ini. Dengan merangkai petunjuk dari ahli Egiptologi, kurator museum, dan agen federal, saya akan melacak perjalanannya dari suatu makam di suatu tempat di Mesir, melalui jaringan rumit penyelundup, perantara, pedagang barang antik, ke gudang dengan keamanan tingkat tinggi ini di Kota New York.

Langkah pertama adalah mencari ke-mungkinan kuburan Shesepamuntayesher. Berdasarkan gaya seni dan hieroglif pada peti matinya, para ahli Egiptologi di University of Pennsylvania menyimpulkan bahwa dia hidup sekitar tahun 600 SM. Penelusuran melalui buku peti mati Mesir dan situs web barang antik menghasilkan sarkofagus yang mirip, milik perempuan dengan nama langka yang sama, yang dilaporkan ditemukan di Abu Sir al Malaq, situs yang terletak 100 kilometer di selatan Kairo.

Pada zaman kuno Abu Sir al Malaq, yang kala itu bernama Busiris, merupakan kota makmur yang menghadap ke bantaran banjir. Kota itu terkenal karena memiliki kuil-kuil Osiris, dewa kesuburan dan alam baka, dan makam-makam megah selama sejarahnya yang merentang selama 4.000 tahun. Kini, Abu Sir mirip medan perang yang baru dibom. Kawah dan lubang lorong bertebaran di hamparan pasir bergelombang, tempat penjarah mengubrak-abrik di dalam tanah dengan sekop, mesin gali, dan dinamit. Sambil melakukan itu, mereka merusak entah berapa makam, meninggalkan tumpukan tengkorak dan tulang patah di sekitar banyak lubang penjarahan.

Amal Farag, pejabat kepala Kementerian Barang Antik di Abu Sir dan situs sekitar, mengajak saya berkeliling situs itu bersama lima pengawal yang membawa senapan Kalashnikov. Farag, perempuan 49 tahun, memungut serpih-serpih kayu cedar dengan paku kayu dan sisa pigmen merah—fragmen sarkofagus kuno. “Penjarah hanya mengambil barang bagus dan menghancurkan atau membuang sisanya,” katanya. “Untuk setiap benda bagus, mereka menghancurkan ratusan.”

Farag mengajak saya ke kuburan di lereng bukit dengan lubang masuk yang dalam, miring ke ruangan gelap di bawah. Di sini, pada bulan April 2012, dia menghadapi tiga penjarah.

“Saya berkata kepada rekan saya, ‘Kalau Anda merasa takut, pura-pura saja Anda sangat angkuh,’ ” kata Farag. Setelah melotot kepada mereka sejenak tanpa berkata-kata, ketiga lelaki itu naik taksi dan pergi. Sekarang Farag mengajak saya masuk ke makam itu dan menunjuk titik di lantai tempat dia menemukan dua sarkofagus megah yang disembunyikan penjarah di balik selimut. Saya melihat beberapa relung yang dipahat pada dinding batu ruangan itu dan beberapa terowongan yang menuju ruangan lain yang lebih dalam di lereng.

Mungkin Shesepamuntayesher dijarah dari makam seperti ini. Dia mungkin terbaring di relung seperti ini, dikelilingi benda yang disayanginya selama hidup: perhiasan, tongkat jalan, papirus berisi mantra sihir, peti yang dihiasi dengan dewa-dewa orang mati. Leluhur dan keturunannya menghuni relung-relung di sekitarnya, bersama harta mereka sendiri. Jika ditemukan utuh, makam keluarga seperti itu dapat membuka jendela yang benderang ke masa lalu. Meskipun sudah diculik oleh penjarahan, Shesepamuntayesher tetap berharga karena memiliki hieroglif dan lukisan, tetapi andai digali dengan benar, dia tentu tak ternilai—bedanya ibarat halaman yang dirobek dari buku dan keseluruhan buku itu, diletakkan di dalam perpustakaan besar.